Semua Ilmu, Ada manfaatnya

 Semua Ilmu, Ada manfaatnya


Ketika kamu mengetahui bahwa ada ilmu yang tidak bermanfaat, maka itulah manfaatnya, kamu akhirnya tau kalau itu tidak bermanfaat. Bingung?

Aku semakin sering tertawa geli ketika memahami bahwa ada banyak hal yang tidak didapatkan dari bangku perguruan tinggi. Ada banyak skill yang didapatkan justru setelah menemukan kasus di pekerjaan, menguliknya, mencari tau, mencari guru, lalu menemukan jawabannya. Tapi kalau aku tidak kuliah, bahkan aku tidak akan bertemu dengan kasus itu. Bingung?

Aku tertawa miris kala melihat pedagang yang berbekal pengalaman turun temurun sama bahkan bisa menghasilkan uang lebih banyak dari seorang bergelar doktoral setelah belasan tahun. Tapi kalau tidak kuliah, aku tidak tau bahwa pedangang bisa gulung tikar tapi ketajaman berpikir tak bisa hilang begitu saja. Bingung?

Aku melihat gambar-gambar dan membaca sekilas ratusan tulisan yang telah ku hasilkan. Banyak yang sampah. Tapi aku tidak tau kalau tulisan dan karya ini sampah kalau aku tidak melihat hal yang lebih baik saat mencari referensi bagi karya-karya sampahku. Bingung?


366 Hari Bersajak - 157. Seperti Ini Saja Maunya

Jalanan pulang dihiasi titik-titik cahaya meredup

Maju kedepan, suasana semakin kelam

Memang sudah malam, ditambah dengan gulita


Toko-toko lebih cepat tutup

mesin kasir sudah hitam

takut ada yang gelap mata


Sssshuushh, shuush, seorang ibu dengan lembut meniup

anak dipangkuanya tak kunjung terpejam

Terbiasa gawai pintar, sang ibu tak lagi pintar bercerita


Sudah dua jam gawai pintar tertelungkup

karena baterainya sudah padam

anaknya takkan mengerti, masih balita


Mati listrik, semua menunggu hidup

Padahal mati, tak menunggu datangnya malam


Kita tak menunggu, nanti juga dipanggil sang pencipta



366 Hari Bersajak - 155. Kembali Pulang (Cerpen)

Bandara Polonia, 2012
Aldi menghembuskan napasnya saat turun dari pesawat. "Medan," gumamnya. Dengan lambat ia menyusuri pintu keluar kedatangan luar negeri, mencari taksi setelah mengambil bagasinya.


Tak lama seorang supir taksi menghampiri Aldi. Dengan menunjukkan alamat dari gawainya, pak supir langsung melaju menyusuri jalanan kota Medan. Aldi tak peduli pemandangan Medan yang banyak berubah. Pikirannya menerawang entah ke mana. Enam tahun setelah ia meninggalkan kota kelahirannya ini. Tak ada sebenarnya yang ia rindukan dari kota ini. Sejak ia menjadi yatim piatu ketika kelas 2 SMA, ia menjadi ambisius menyelesaikan pendidikannya. Ketika itu, Aldi yang anak tunggal hanya ditemani omnya yang belum menikah di rumah mendiang orang tua Aldi. Bulan lalu omnya menikah. Karena itu, omnya meminta Aldi untuk pulang dan menempati rumah warisan orang tuanya sendiri.

Di dalam taksi, Aldi merasa matanya panas. Ia seakan ketakutan untuk kembali ke rumah itu. Ia takut kembali menjadi sendirian. Selama di National University of Singapore, ia tinggal di apartemen dengan 3 temannya yang lain sehingga tak merasakan kesepian. Dan masih bersama mereka hingga bekerja. Kini ia harus bersiap akan kembali sendiri jika harus menempati rumah orangtuanya.

Akhirnya taksi berhenti di depan rumah yang cukup besar. Tak banyak yang berubah. Pekarangannya tetap bersih karena selalu dirawat Bang Torang yang dibawa omnya untuk merawat rumah ini sejak omnya menemani dia 6 tahun lalu. Tapi Bang Torang tidak tinggal di rumah itu. Empat tahun lalu Bang Torang menikah dengan Kak Sari yang jual bumbu di pasar Simpang Limun dan tinggal di rumah istrinya sejak itu.

"Wey Di! Dah sampek ko rupanya. Kok gak bilang abang tadi biar abang jemput ko," tiba-tiba sesosok pemuda cungkring namun berotot menepuk Aldi dari belakang.

"Eh Bang Torang? Ah, bikin saya kaget saja," kata Aldi menyapa pemuda yang ternyata Bang Torang.

"Alamak, 6 taon ko di negeri singa itu ngajarkan kau jadi sungkan sama ku gini ya? Sok kali ko pake saya-saya. Hahahaha." Bang Torang lalu mengangkat koper Aldi ke dalam rumah. Aldi mengikutinya.

"Enggak gitu bang." Balas Aldi ramah. "Aku masih pakai nomer di Singapur. Roaming kalau nelpon abang. Aku komunikasi sama Om lewat BBM." Jelas Aldi.

"Haa, iya, iya. Adapun duitku beli be be em- be be em itu nanti malah dipake kakakmu apdet-apdet status." Canda Bang Torang sambil mempersilahkan Aldi untuk duduk dulu.

"Jadi, apa kabar abang sekarang Bang? Makasih ya rumah ini dirawat tetap seperti dulu," ujar Aldi setelah duduk di ruang tamu dan tak ada sedikit pun perabot berubah bentuk. Foto keluarganya pun masih tergantung rapi di dinding ruang tamu.

"Kabar ku ya gini-gini aja la. Anak abang udah 2 sekarang, besok kalo ko belum sibuk ku ajak orang tu ke sini ya. Eh maunya aku la ya nanyak kabar ko udah 6 taon di negeri orang. Cemana? Dapat cewek cantik ko di sana?" Kumis tipis Bang Torang bergerak-gerak jenaka kalau pengen tahu sesuatu.

"Apanya ko Bang! Kurang cantik kali aku rupanya hah?!" Tiba-tiba Kak Sari muncul di pintu rumah Aldi dengan membawa rantang makanan.

"Bah? Apanya ko dek. Masuk-masuk merepet pulak. Bukannya ngasi salam selamat datang sama si Aldi ini." Bang Torang mendengus sambil mengajak istrinya masuk.

"Hehe. Assalamualaikum dek Aldi. Apa kabarnya kau?" Kak Sari menyapa Aldi sambil nyengir.

"Aldi baik kak, duduklah dulu kak." Aldi mempersilakan. Sari pun duduk.

"Nah, ini ku bawakan makanan buat kau. Pasti lapar setelah perjalanan." Kak Sari membuka rantang dan mengeluarkan berbagai jenis makanan. Ada rendang, sambal terasi, dan sayur asam. Sungguh sambutan Bang Torang dan Rantang kak Sari terasa begitu hangat menyambutnya.


"Terima kasih banyak, Kak. Masakannya wangi sekali," Aldi mencoba tersenyum. Namun, di dalam hatinya, ia masih merasa hampa.


Bang Torang dan Kak Sari mencoba menciptakan suasana nyaman, namun Aldi masih merasa terjebak dalam kenangan masa lalu. Setiap sudut rumah ini menyimpan bayangan kedua orang tuanya. Malam itu, setelah Bang Torang dan Kak Sari pulang, Aldi berjalan mengelilingi rumah, menyentuh perabotan dan foto-foto yang tersusun rapi di dinding.


"Ma, Pa, Aldi sudah pulang," bisiknya pelan.


Di kamarnya, Aldi duduk di atas ranjang yang dulu sering ia tiduri. Ia merasa beban berat di dadanya perlahan mulai mengendur. Mungkin, dengan kembali ke rumah ini, ia bisa belajar menghadapi rasa kesepian yang selama ini menghantui.


Malam itu, Aldi menatap langit-langit kamarnya. Ia tahu, meskipun berat, kembali ke Medan adalah langkah pertama untuk berdamai dengan masa lalunya. Aldi menutup matanya, membiarkan kehangatan nostalgia menyelimuti dirinya.




-------------------------------
Cerpen ini ditulis di tahun 2014. Aku menemukannya saat sedang membereskan file di Hardisk lama.

366 Hari Bersajak - 151. Mengerti Apa

Terus, menyelam, dalam, dunia, maya
Padahal, ini saja, sudah, di dalam, dunia, fana

Aku mempelajari setiap ilmu dengan seksama
selain ilmu agama

Aku membaca habis setiap buku fiksi terbaru
selain satu buku

dua dekade sudah dilewati
diajari sejak sedari dini
tapi mengapa sulit mengerti
sekadar membaca tanpa tau arti

Kamu telah melihat orang-orang pergi
meninggalkan dunia yang penuh tipu muslihat
Namun tidak mengambil pelajaran pada diri sendiri
kemana mereka pergi setelah liang lahat

Hari ini aku berfikir begini
besok aku melakukan lagi begitu

hari ini aku mengasihani diri
besok seolah tak pernah menulis ini

Padahal, ini saja, sudah, di dalam, dunia, fana
Terus, menyelam, dalam, dunia, maya

366 Hari Bersajak - 149. Takdir

Aku tau kamu sedang menikmati dunia

Hidup, kesenengan, berlebih harta

Tidak apa, karena tak semua berpunya


Parasmu indah, organmu lengkap

fisik bisa bergerak sempurna

berkat genetik dari orangtua


Kau dirawat dengan penuh kasih sayang

welas asih, meski kadang lewat pengasuh

Tidak apa, karena tak semua disayang


Dan berhenti menikmati seluruh kebebasan

bebas dalam belajar dan mengasah segala hal yang kau suka

tak apa, karena tak semua bisa pergi


Kau dan aku sama-sama bersyukur

aku dan kau sama-sama paham atas nikmat ini

dan aku serta kau, tidak apa-apa kita menikmati ini bersama


mereka yang tidak berpunya

mereka yang tidak disayang

mereka yang bukan kita


Tuhan pilih, ku nikmati

kenapa pusing-pusing melihat kanan-kiri?

tak ada yang mampu menukar nasib, kan?


(tentu tidak begitu)

Review Novel dan Film Bukan Cinderella (Dhety Azmi)

        Aku gak tau sih kenapa tiba-tiba aku nulis review buku sekaligus film disini, hehe. Karena biasanya aku sering buat review film di blog utama. Blog ini khusus tulisan aku dan juga review khusus karya-karya yang berbentuk tulisan. Tapi kali ini aku gak bisa pisahin untuk review sekaligus keduanya setelah aku menonton filmnya dan lanjut membaca novelnya di wattpad. Padahal Film-nya banyak dihujat karena katanya akting Fuji lah, cuma memanfaatkan keteranan Fuji saat itulah, tapi ternyata dari pandanganku, ini bukan cuma karena Fuji aja sampe filmnya dapat rating 1,4/10 di IMDb. 


        Awalmulanya aku iseng nonton sih karena.. biasalaah~ dari Twitter atau X. Warga cicicuit itu liar dan logis sekali kalau mengomentari sesuatu. Langsung heboh tuh ngomentarin ni film yang udah tayang dari tahun 2022 setelah bisa dimasukkan kedalam tontonan di aplikasi Vidio. Kalau pengguna telkomsel gampang banget lah beli paket-paketan buat nonton di aplikasi itu. Ga mahal juga. Eits ini bukan lagi promoin aplikasi streaming film ya. Jadi balik lagi ke warga cicicuit, komentarnya bikin aku ngakak sekaligus penasaran seburuk apa sih film ini? Padahal aku tuh selalu berprinsip 'engga perlu makan kotoran untuk tau itu gak enak', jadi kalau udah ada banyak orang yang ngasi tau faktanya, enggak usah malah ga percayaan dan nyobain sendiri. hahaha. Tapi untuk kali ini, aku mau membuang waktuku sejenak, hahahah! Ampuni hamba, Tuhaaan


Review Film Bukan Cinderella (2022)

Aku akan review ini lebih dulu karena memang aku lebih dulu nonton filmnya.Film dibuka dengan monolog suara Fuji yang menjelaskan tentnag sekolahnya, bahwa sulit untuk masuk ke sekolah itu dan dia berada di kelas paling akhir. Lalu ada scene sepatu converse yang ketinggalan sebelah, di rel pagar sekolah, saat anak-anak pada berlarian masuk karena gerbang udah mau ditutup. Aku gak ngerti itu sepatu siapa karena enggak dijelasin di monolog itu, dan ga tau juga scene itu buat apaan.


Terus masuk ke suasana kelas Amora, si tokoh utama yang diperankan oleh Fuji. Enggak ngerti kenapa itu kelas yang dibilang kelas buangan lebih kayak kelas anak-anak hm... butuh perhatian khusus? Karena kesan anak rebel nya itu gaada. Cuma di scene awal-awal di ceritain kalau Ayahnya Amora ini petinju (gak keliatan dari bodinya T_T) dan Amoranya juga seneng tinju.


Alur ceritanya sangat lompat-lompat sehingga sulit mereview setiap scenenya disini.


Jadi anak kelas buangan sejak dulu ga suka dengan anak kelas unggulan yang didominasi oleh anak-anak OSIS. Ketua OSIS-nya bernama Adam, selalu aja dengan karakter ala wattpad, cowok dingin dengan aura membunuh. Kulbet banget lah pokoke. Dengan dua temennya, si Ardi dan Juna. Terus disekitar mereka ada cewek-cewek dengan rambut nyalon abis plus pirang-pirang. Apakah sekarang anak SMA di Jakarta begitu, aku ga tau.


Pada suatu hari, si Adam ini keluar dari ruang Laboratorium buru-buru, dan gak sengaja sebelah sepatunya malah ketuker sama sepatu barunya si Amora. Dengan perbedaan tinggi mereka, aku yakin itu kaki si Fuji banter ukuran 36-38 lah, sementara si Adamnya itu pasti diatas 41. Jauh banget!


Marahlah si Amora saat mengetahui sepatunya ketuker sama si Adam, di pijak pula belakang sepatunya. Dipukulkan si Amora sepatunya Adam ke pemiliknya. Serius deh.. mending mereka ketuker topi sekolah atau botol minum yang serupa lah masih masuk akal...


Masalah diselesaikan diruang BK, dan itu adalah penyelesaian masalah paling cringgggggggeeeeeeee. Mual banget nontonnya (terus kenapa masih ditonton?). Aku tuh pernah SMA, dan aku yakin sutradara serta penulis cerita juga pasti pernah SMA. Gaada perkara berantem kecil terus dikasih surat peringatan ke sekolah. Apalagi ceritanya si Adam ini anak yayasan. Gubrak, gubrak, gubrak, jeng, jeng, jeng!


Bete-lah si Adam, terus mau di bully si Amora ini oleh geng anak OSIS buat ngasih pelajaran supaya si Amora ini pahak dia gak boleh seenaknya ke si Adam. Muncul si Ardi sebagai ketua kedisiplinan, dengan alasan itu mereka mau nyeret Amora (padahal ini udah selesai di BK woy), terus di hadang dong oleh teman-temannya Amora. Nah temennya Amora ini rame juga dan gaada gunanya dalam frame itu. Serius deh. Si Eka, temen Amora, nunjukkin ke Ardi video Adam cs sedang merokok sebagai kartu AS. Ardi minta itu dihapus, kata si Eka ada syaratnya, si Adam harus nembak anak kelas buangan, yaitu Amora. Dengan dalih buat menghancurkan harga diri anak unggulan dan geng OSIS. Iya, ini OSIS udah jadi geng, bukan organisasi kesiswaan lagi. Habisnya gaada kerjaan si OSIS ini selain haha-hihi di lorong sekolah.


Adam nembak - Amora dipaksa menerima - Keluarga Adam broken home - Juna deketin Amora - Adam cemburu - Adam digebukin Preman - Amora nolong Adam - Eka dan Ardi sparing tinju (?) - Sekolah geger soal mereka pacaran boongan - Adam nyium Amora di depan banyak siswa - Mereka jadi pacaran beneran - keluarga Adam kembali rukun. 


Udah deh, kayaknya itu aja jalan cerita yang aku tangkap. ini udah kayak potongan-potongan video di satukan tanpa ada jembatan ceritanya. Mending kalau monolog di awal itu terus ada sampai akhir untuk memperjelas cerita. Ini cuma ada di awal dan akhir dan tidak mempengaruhi isi cerita juga. Haddeeeuuh...


Pemainnya rame banget, aku pusing liat layarnya. Enggak nyaman. Padahal secara visual, Fujinya udah cukup enak dilihat sih. Yang jadi Adam juga gak buruk aktingnya. Cuma memang si penulis skenario dan tim editing nya yang parah banget. Apakah digarap oleh fresh graduated semua aku juga ga ngerti. Aku udha ga minat lagi cari tau latar belakang sutradara dan penulis ceritanya. Ini itu kayak seluruh isi novel dimasukkan ke dalam AI untuk ngeresume setiap bab, terus di jadiin skenario. Gitu.


Pokoknya ini bukan karya dikerjakan pakai perasaan manusia. Asal jadi banget. Manfaatin hypenya Fuji doang.


Udah gitu aja review filmnya.



Review Novel Bukan Cinderella (2018)

Kalian bisa baca novel yang best seller ini di Ipusnas. Novel yang sebelumnya ditulis melalui platform wattpad, seperti yang sudah aku duga ditulis dengan gaya ala teenlit 2010-an. Karena ketika aku nonton filmnya, aku ngerasa ada aura dikiitt Dealova didalamnya. 


Novel ini tebalnya 450 halaman. Cukup tebal untuk sebuah novel teenlit pada umumnya. Di goodreads, mendapatkan rating 3.59 dari 5. Tidak terlalu buruk, ya?



Novel dibuka dengan cerita inti langsung, soal sepatu yang gak sengaja ketuker. Ceritanya ini sepatu converse yang baru di beli Amora pakai uang tabungannya. Nah aku gak ngerti kenapa ilustrasi di buku adalah converse yang high, bagian sepatunya sampai nutup mata kaki. padahal di jelaskan kalau si Adam mijek bagian belakang sepatu.


Amora digambarkan sebagai anak yang belum pernah masuk BK sebelumnya meski berada di kelas anak-anak buangan dan bandel. Anaknya cuek galak manis gitu. Kalau dari gambaran novelnya, aku nangkep ini anak yang kebetulan gak terlalu pandai disekolah tapi secara pergaulan dengan teman-temannya cukup bagus. Tau siapa sosok yang aku pikirkan saat membaca karakter awal si Amora ini? Chateez -___- iya, di BA e-sport itu.



Alur ceritanya sama persis dengan film, beberapa deskripsi yang lebih panjang pada novel menjelaskan beberapa plot hole di film. Meski enggak semuanya, karena tetap masih banyak plot hole dalam novelnya (padahal udah 400-an halaman woy)


Ada Juna si wakil ketua OSIS yang enggak suka sebenarnya dnegan kegiatan OSIS jadi suka sama Amora karena ngeliat tingkah cueknya Amora. Karena kebetulan ketemu Amora di tukang martabak manis, jadi dia suka beliin Amora makanan. Masuk akal.


Cuma mantanya si Juna ini Sasa, Sekertaris OSIS, cantik. Jadi semua ngerasa jomplang kali kalau si Juna malah suka sama Amora. Tapi akhirnya mereka jadian lagi sih. Terus ada konflik ternyata Junanya suka sama Dinda teman Amora. Pusing deh.


Lama kelamaan pacaran pura-pura itu malah menumbuhkan rasa di hati Adam terhadap Amora. Dia selalu bilang kalau Amora masih statusnya pacar dia dan milik dia. Ala-ala pacaran anak SMA lah. Masuk akal.


Jadi pernah satu kejadian si Juna dan Adam sama-sama jemput Amora dari rumah ke sekolah. Masa mereka ga tau kalau biasanya Amora itu berangkat sekolah sama Keenan? Jadi rebutan kan. Si Keenan malas ikutan, jadi ditinggalin deh Amora.


Pokoknya konfliknya masih berputar di situ-situ aja. Semua anak unggulan dan anak kelas buangan ini saling punya pasangan untuk 'belajar bareng' katanya. Terus tambahan cerita broken homenya keluarga Adam.


Terus di novel tetap ga dijelasin apakah video itu akhirnya dihapus apa enggak.


Kenapa si Adam digebukin. Siapa sebenarnya yang bagian dari yayasan, Ayahnya atau Ibunya Adam. Ga dijelasin kenapa Amora suka tinju dan kenapa Eka juga suka tinju. Padahal mereka bukan atlit tinju. Kenapa Keenan bisa gak pernah punya rasa sama Amora, kenapa Juna dan Adam ga pernah cemburu ke Keenan. Dan banyak lagi cerita serta tokoh ekstras yang enggak menjelaskan cerita.


Udah deh, aku mual nulis reviewnya. Maaf ya pembaca.



Tadinya di penutup aku mau nulis tentang apa aja yang sebaiknya dikurangi di film biar lebih smooth jalan ceritanya. Ternyata setelah baca novelnya juga engga terselamatkan. Perutku mual banget sekarang. Leherku kayak kecekik dan kepala ku puyeng.


Literasi anak bangsa boleh jadi meningkat, tapi penulis dan sutradara yang sudah lebih dewasa gak cuma mikirin cuan. Kasihlah karya berkualitas dikit, pakai hati buatnya. Membangun karakter bangsa memang seolah bukan tanggung jawab bersama, tapi aku enggak ingin jika punya anak mereka harus membaca dan menonton karya seperti ini. Semoga kelak anakku bisa bedain mana karya mana prakarya.


Beneran kapok deh coba-coba nonton hal yang udah direview cinecrib dan berbagai reviewer lainnya. Mereka udah berkorban terus aku ikutan jadi korban. Ampuuun, Ampuuun!

366 Hari Bersajak - 138. Tugas

buah kelapa terombang-ambing di lautan
tanpa dayung, tanpa sampan

tujuannya? tidak tahu berlabuh kemana
sampai kapan? 5-10 tahun lebih tak mengapa


ia bertahan dengan daging buahnya
sendirian, tanpa harapan ada yang membantunya

demi bertemu daratan
dan bertumbuh disana

akarnya akan muncul ketika bertemu daratan
meski ia tahu nantinya ada gangguan

sebelum bertunas, bisa jadi dimakan kepiting
sebelum bertunas, bisa jadi ditarik ombak kembali

demi menuntaskan tugas
demi menghasilkan lagi buah kelapa

yang jika tidak manusia makan
maka ia akan kembali terombang-ambing di lautan

tanpa dayung, tanpa sampan
demi bertemu daratan.



366 Hari Bersajak - 137. (Cerpen) Naskah Opera Sabun

Di salah satu cafe yang berada di kawasan perkantoran, Tania duduk sendiri asik mengetik di laptopnya. Ia menikmati suasana pagi menjelang siang di dalam ruangan dengan musik Lo-Fi yang diputar oleh pemiliknya. Tak ada orang lain di sekitarnya, hanya ada dua-tiga pengunjung yang menunggu pesannya untuk mereka bawa pergi. Kadang tangannya berhenti sejenak memikirkan lanjutan kalimat yang akan ia ketik berikutnya. Menghapus, lalu lanjut mengetik lagi. Sedang asik berimajinasi, tiba-tiba seseorang menumpahkan minuman di atas laptopnya. Refleks ia langsung membalikkan laptop untuk meminimalisir air yang masuk. Jantungnya langsung berdegup keras, bibirnya terkatup, syok menjalar keseluruh tubuh hingga tak mampu mengeluarkan suara. 


"Seru sekali ya menjadikanku terus-menerus bahan cerita." Suara berat seorang laki-laki, pelaku penyiraman itu menyadarkan Tania dari tubuhnya yang tiba-tiba kaku. Dengan cepat ia menoleh dengan perasaan ingin marah besar kepada manusia itu. Matanya menyipit tajam, menghujam mata lawan bicara. Namun itu hanya terjadi sepersekian detik. Saat menyadari sosok di samping nya itu, sorot matanya perlahan meredup dan mengarah kebawah, menunduk.


"Kenapa? mau marah? aset mu itu kan kau dapat dari menjual kisah ku." Lanjut lelaki berkaus polo itu sambil meletakkan gelas plastik kosong di meja yang berceceran Americano. Dengan tangan bergetar, Tania mengambil tisu dan masih berusaha mengelap untuk menyelamatkan laptopnya. Laptopnya masih menyala, tapi ia belum berani membalikkannya kembali, takut masih ada air. 


"Aah, sial sekali aku baru pulang ke kota ini kemarin dan langsung bertemu denganmu. Memang ada aku rasa hal yang kurang dikepala mu itu. Bisa-bisanya kamu masih fokus dengan harta haram itu!"


Sementara itu, pelayan cafe yang sedari melihat kericuhan itu berusaha mendekat dan perlahan mengeringkan meja dan membersihkan lantai perlahan. Manajer mereka sedang tidak ditempat, antara takut harus terlibat percek-cokan ini atau justru harus lebih ekstra tenaga membersihkan tumpahan kopi yang mengering.


Tania perlahan mengangkat kepalanya dan menghadap ke Sutan, seseorang dari sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas yang sama dengan Tania. "Aku tidak mengerti maksudmu, dan aku juga tidak mengenal kamu siapa." Jawab Tania tegas. Ia tidak salah, sejatinya ia tidak pernah benar-benar mengenal Sutan. Meski satu sekolah, mereka tidak pernah terlibat apapun. Selama enam tahun diantara mereka hanya mengenal wajah saja.


"Kamu..., kamu kan? kamu mengintipku dari seluruh sosial media milikku, mengintip sosial media keluarga ku juga, menyimpulkan status saudaraku yang mengeluhkan masalah keluarga dan kamu jadikan bahas cerita untuk kamu jual menjadi cerita sampah ditelevisi!" Amarah Sutan lepas dengan jelas.


Si pelayan menyela "Maaf mbak, mas, mau pindah meja atau mau keluar dulu sembari saya bersihkan mejanya?"


"Kalau saya keluar atau pindah meja repot, barang-barang saya masih disini semua." Jawab Tania.


"Kalau mau keluar dulu juga enggak apa-apa, barangnya terawasi cctv itu ya mbak." Tunjuk Pelayan laki-laki yang sangat pemberani tapi terlihat tidak tau situasi itu ke arah CCTV terdekat.


"Oke, Sutan, kita mau keluar dulu?" Tawar Tania.


Sutan menarik napas dalam-dalam, matanya melirik ke arah pelayan yang menunggu jawaban. "Iya, kita keluar dulu," jawabnya akhirnya. Tania masih membawa laptopnya terbalik dengan hati-hati, lalu mengikuti Sutan menuju pintu keluar kafe. Di luar, angin sepoi-sepoi bertiup, sedikit menenangkan suasana yang tegang.


Di trotoar, mereka berdiri berhadapan. Tania bisa melihat sorot mata Sutan yang penuh dengan kemarahan. "Aku benar-benar tidak tahu apa yang kamu bicarakan," Tania membuka percakapan, suaranya masih gemetar.


Sutan menggelengkan kepala, "Jangan bohong. Aku tahu cerita-cerita itu persis. Kamu menulisnya dengan detail yang hanya bisa diketahui oleh orang yang benar-benar stalking keluargaku."


Tania menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Dengar, aku memang seorang penulis, hal yang wajar aku mengambil inspirasi dari kehidupan pribadi orang lain. Jika ada kesamaan, itu hanya kebetulan. Lagipula, kenapa aku harus menghabiskan waktu untuk mengintip kehidupanmu, Sutan."


Mata Sutan menyipit, skeptis. "Jadi kamu bilang semua ini hanya kebetulan?"


"Jika memang ada kesamaan, aku minta maaf. Tapi aku yakin, tidak pernah menulis sesuatu yang secara spesifik mengarah pada kehidupan pribadimu."


Sutan terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Tania. Amarahnya perlahan mereda, meskipun masih ada sisa-sisa ketidakpercayaan. "Kalau begitu, kenapa cerita-ceritamu sangat mirip dengan kejadian yang pernah keluargaku alami? ibuku sampai jadi bahan tertawaan di arisannya. Semua perempuan kurang kerjaan yang menghabiskan waktunya dirumah pasti menonton drama murahan produksi PH -mu itu!"


"Sebelum aku menjawab, aku punya satu pertanyaan," Tania menatap mata Sutan dengan tegas, "Dari mana kamu tau aku bekerja untuk PH itu?"


Sutan terdiam sejenak, menatap Tania dengan kebingungan yang perlahan berubah menjadi kebingungan. "Aku... Aku melihat namamu di kredit akhir episode. Itu saja."


 "Oh begitu. Bagaimana kalau kita berbicara dengan tim produksiku? Kita bisa melihat naskah aslinya dan kamu bisa menilai sendiri."


Sutan menghela napas, dilema apakah penilaiannya sebulan terakhir memang salah. Ia Tampak mulai mempertimbangkan tawaran itu. "Baiklah, mungkin kita perlu bicara lebih lanjut, Mungkin itu bisa membantu menjernihkan semua ini." katanya akhirnya.


"Aku akan atur pertemuan dengan timku secepat mungkin." kata Tania dingin,"Dan untuk sekarang tolong kamu pergi dari sini, aku tidak mau memperpanjang penyeranganmu ini terhadapku."


Sutan mengangguk pelan. "Oke. Aku tunggu kabar darimu."


****


Beberapa hari kemudian, di kantor PH, Sutan duduk dengan gelisah di ruang rapat kedap suara. Ia dihubungi melalui nomer kantor PH Tania. Ia bertanya-tanya bagaimana mereka mendapatkan kontak dirinya. "Ah mungkin perempuan itu menemukan nomerku dari grup Alumni." gumamnya.


Tania masuk sendirian, membawa setumpuk naskah. "Sutan, ini naskah-naskah yang sudah kami produksi. Kamu bisa memeriksanya," kata Tania dengan nada ramah namun dingin.


Sutan mulai membaca naskah-naskah itu satu per satu. Semakin lama membaca, wajahnya semakin pucat. Setiap detail dalam naskah itu memang sangat mirip dengan kejadian yang menimpa keluarganya, bahkan ada beberapa yang tidak mungkin diketahui orang luar.


Tania memperhatikan reaksi Sutan dengan hati-hati. "Bagaimana? Apakah kamu melihat ada niat buruk di sini?" tanyanya, pura-pura polos.


Sutan meletakkan naskah terakhir dengan tangan gemetar. "Kamu... kamu tahu terlalu banyak. Ini tidak mungkin hanya kebetulan."


Tania tersenyum tipis, mengunci mata Sutan dengan tatapan tajam. "Kamu benar, Sutan. Ini tidak kebetulan. Aku tahu semuanya karena aku memang sejak dulu keluargamu rela melakukan apapun demi uang. Apalagi sejak pabrik rokok lokal yang dikelola turun temurun oleh keluargamu itu bangkrut. Semua cerita ini aku dapat setelah membayar adik tirimu. Untuk seseorang yang tak acuh dengan sekitarnya, kau dan keluargamu layak mendapatkan hukuman publik seperti ini."


Sutan membelalakkan mata, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Kenapa? Apa yang keluargaku pernah lakukan padamu?"

Tania mengambil napas dalam-dalam, menatap Sutan dengan mata yang penuh kebencian dan kepuasan. "Memang tidak ada hubungannya langsung denganku dan denganmu. Keluargamu merusak lingkungan dengan limbah B3 hasil pengolahan rokok. Air di kampung kita tercemar, membuat banyak perkebunan rusak. Setiap kali ada protes, keluargamu yang berkuasa selalu berdalih bahwa pabrik rokok lokal kalian membantu daerah itu dengan memperkerjakan orang-orang sana. Padahal, dulunya masyarakat hidup mandiri tanpa harus bergantung pada pabrik kalian."


Sutan menelan ludah, mencoba memproses informasi yang baru saja ia terima. "Tapi... bukankah pabrik itu memberikan pekerjaan bagi banyak orang?"


Tania mengepalkan tangannya, kemarahan terpendam selama bertahun-tahun muncul di permukaan. "Pekerjaan? Kalian merampas kehidupan kami! Dulu, kami hidup dari pertanian yang subur. Setelah pabrik kalian mencemari air, lahan rusak, panen gagal, dan banyak yang terpaksa bekerja di pabrik karena tidak ada pilihan lain. Itu bukan bantuan, Sutan, itu penjajahan modern."


Sutan terdiam, tatapan matanya penuh penyesalan. "Aku tidak tahu... Aku tidak pernah sadar tentang semua ini."


"Karena kamu tidak peduli," potong Tania tajam. "Kamu hidup dalam kemewahan tanpa peduli pada penderitaan orang lain. Aku sengaja menjatuhkan mental keluargamu agar pabrik itu bangkrut dan segera tutup. Aku ingin melakukannya dalam diam, tapi sialnya kau tiba-tiba mengenal namaku."


Sutan duduk kembali, lemas. "Lalu apa yang harus aku lakukan? Ibuku malu keluar rumah karena kamu membuat cerita perceraian ibu dan ayahku karena masalah ranjang. Ayahku pergi, ibuku menikah lagi dengan seorang lelaki muda pembual yang pernah menikahi seorang janda yang sudah memiliki anak usia remaja. Dan kini setelah ibu kandungnya mati, dia justru menjual cerita kepada kalian untuk membeli sabu. Apa kau pikir tindakanmu itu sungguh heroik?!"Cecar Sutan tak beraturan. Sebenanrya masih banyak sekali aib keluarganya yang ditulis mentah-mentah menjadi bahan cerita. Ia bingung dengan semua hal yang bukan berasal dari kesalahannya tapi sekarang hidupnya jadi hancur. Ia harus resign dari pekerjaannya di ibukota dan pulang mengurus ibunya. Saudara ibunya yang ikut mengurus pabrik warisan kakek mereka semua lepas tangan karena malu dengan saudaranya sendiri. Pabrik itu memang perlahan terbengkalai, hanya memproduksi seadanya setahun terakhir ini sejak sinetron-sinetron itu muncul.


"Aku akan terus berjuang, sampai pabrikmu itu tutup" jawab Tania tegas. "Melalui tulisan, melalui media picisan. Aku akan membuka mata semua orang tentang azab apa yang bisa terjadi atas ketidakpedulian itu. Meski azab itu tidak ada, maka aku yang mebuat kalian merasakannya."


"Kamu...kamu buka Tuhan, Tania." jawab Sutan menanggapi. "Aku... aku tidak tahu harus berkata apa. dan aku juga tidak punya kuasa untuk memperbaiki ini."


Tania menatap Sutan dengan skeptis. "Aku sudah tau. Karenanya aku tidak pernah menyentuhmu langsung. Sialnya kau melihat dan mengenal namaku. Padahal aku hanya ingin menghancurkan semuanya dalam diam. Sekarang kamu mau apa? menuntut kami?" Tantang Tania.


"Tidak. Aku tidak gegabah memulai perkara baru yang akan menghabiskan banyak uang. Saat ini keluargaku sudah hancur seperti tujuanmu. Luar biasa kamu merencanakan semua ini. Pantas saja kamu mengelak saat di cafe kemarin. Kalau disini aku tidak bisa menyerangmu sembarangan."


"Kau kira aku sekolah hanya untuk mengejar gelar? hanya sekedar bekerja? Tidak Sutan, kelakuan yang kau lihat licik ini adalah hasil pola pikir seorang sarjana komunikasi."Tania menjawab dengan pongah.


Sutan sudah tak punya jawaban apapun untuk menanggapi. Dengan tertunduk ia menatap mata Tania yang menatapnya percaya diri. Berbeda sekali dengan sorot mata saat ia menyerang Tania di Cafe pekan lalu. Tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun, Sutan meninggalkan ruangan dan pergi dari sana. Entah apa yang akan ia lakukan pada keluarganya yang sudah hancur. Kemarahannya sama Tania murni karena ia terkejut mengetahui ada seseorang yang ia kenal terlibat dalam karya itu. Ia tidak menyangka ada hal seperti ini. Tania benar, ini bukan dendam antara Tania dan dirinya.


Tania menutup naskah yang tadi ia tunjukkan pada Sutan. Meski kemarin ia terkejut saat Sutan menyerangnya. Kini ia tersenyum puas. "Hmm, cari bahan baru ah." Gumamnya. Sambil berjalan kembali ke ruang kerjanya. Laptop tersiram kopi kemarin bertengger di mejanya dan masih bisa ia gunakan. Benda itu akan menjadi saksi bisu bagaimana media bisa berpengaruh dengan baik dan jahat.

366 Hari Bersajak - 136. Siklus

Kadang kita Naik - Turun
Bukan soal hidup, itu nyatanya
Kadang naik tangga lalu turun dengan lift
sudah sulit menggapai atas, mulus sekali turun kembali

Kadang kita harus memilih Kanan - Kiri
Bukan soal hidup, itu nyatanya
Akan ketemu dijalan utama yang sama
Hanya resikonya saja yang berbeda

Kadang kita akan merasakan Ramai - Sepi
Bukan soal hidup, itu nyatanya
Siang hari, terdengar ramai sekali dari segala sisi
Malam hari, terdengar jangkrik memecah sepi

Kadang kita akan mencicipi Manis - Pahit
Bukan soal hidup, itu nyatanya
Pisang masak rasanya manis sekali
Tapi yang mentah, getir, kecut

Dan semua bisa terjadi Cepat - Lambat
Ini soal hidup, itu nyatanya
kita khawatir dengan hal-hal yang sudah berpasangan
kita khawatir saat di sisi terburuk

Mengelola hati,
Mengelola emosi,
untuk sampai ke sisi lainnya
memang bukan hal yang mudah

Makanya, kita selamanya butuh sandaran
Makanya, kita selamanya butuh tuntunan
Makanya, kita selamanya butuh, Tuhan

366 Hari Bersajak - 135. Lihat Kanan-Kiri Sebelum Menyebrang

Coba lihat pohon itu. yang di ujung sana
betul daunnya rindang, ujar si tinggi
betul batangnya besar, kata perempuan yang sedang duduk
betul akarnya besar sekali, dia sambil tiduran berucap

Coba lihat pohon itu, yang di ujung sana
iya, yang daunnya melebar itu kan?
iya, yang batangnya berurat besar kan?
iya, yang akarnya muncul anakan pohon kan?

Coba lihat pohon itu, yang di ujung sana
bukan yang itu ya? maksudmu yang daunnya meruncing?
bukan yang itu ya? maksudmu yang batangnya coklat terang?
bukan yang itu ya? maksudmu yang permukaan tanahnya bersih?

Coba lihat, ada seekor burung elang sedang memantau mangsa di pucuknya
Astaga, katakan lah dari tadi. Kenapa harus memberi petunjuk tanpa arah
Astaga, jelaskan saja objek yang harus dilihat
Astaga, aku dari tadi melihat ke bawah!

366 Hari Bersajak - 134. Pikiranku

Aku tidak menyukai sesuatu yang bersambung,
cerita berseri, novel berjilid, cerita menggantung,
Aku tidak menyukai ketidakpastian dalam akhir cerita
drama berjilid, film bernomor, akhir tak terduga

Itulah seni dalam menyusun cerita
menarik perhatian pemirsa
membuat kita penasaran
dengan emosi dipermainkan

Itulah seni dalam berkarya
penonton terbawa dalam suasana
kepikiran sampai dunia nyata
kalau ada tokoh jahat ingin tonjok langsung rasanya

Itu cerita, terbatas dalam lembaran kertas
berhenti dalam dimensi yang berbeda
mudah sekali untuk menarik batas
berhenti lihat dan kembali ke kehidupan nyata

Lalu layar kacaku memunculkan segmen perang
Durasinya berhari-hari, berbulan-bulan
Tokohnya berganti-ganti, menjadi korban
Yang pergi tak bisa kembali pulang

Lalu media bacaku menarasikan tak habis-habis
setiap hari ada alinea baru yang membuat hari teriris
mempengaruhi ku didunia nyata secara psikis
diam sejenak saja dan mengingat, mataku menangis

Itu adalah cerita yang sudah ada bocorannya 1500 tahun silam
itu adalah skenario terencana dengan melibatkan seluruh umat manusia
seharusnya begitu, semua punya peran didalam
kalau tidak, kamu akan terombang-ambing tanpa kuasa

Aku tidak menyukai sesuatu yang bersambung
meski sudah tau akhir ceritanya
meski sudah tau harus berbuat apa
masih ada yang berhenti dalam pertengahn dimensi sambil memangis bingung

366 Hari Bersajak - 133. Juri

Dalam perlombaan, dalam kompetisi
sebelum kita mengikutinya secara sadar
ada hal yang biasanya kita lihat dahulu
siapa yang akan jadi penilainya

Dalam perlombaan, dalam kompetisi
dari penilainya, kita melihat referensinya
agar kita bisa membaca kriteria
untuk masuk dalam perhatian dan jadi pemenangnya

dalam perlombaan, dalam kompetisi
kita tau peraturannya, kita tidak tau penilainya
tapi tetap kita berani ikuti
karena membaca hadiahnya begitu besar.

366 Hari Bersajak - 132. Daur

Suara hujan terdengar deras menderu

di dalam istanaku, aku mengintip dari jendela

seseorang memegang payung rusak

tak mampu melindunginya dari basah

tapi ia terus berjalan, perlahan hilang dari pandangan


udara bergerak semakin kuat

tekanan suhu membuatnya semakin liar

seseorang memeluk dirinya sendiri erat

badan ringkih itu seolah tak mampu menahan

ia tetap berjalan perlahan, hilang dari pandangan


Terlihat penuh kesulitan dan kegetiran,

namun mataku melihat esensi kehidupan

entitas itu melebur dalam hujan

ia bebas membaur dalam kompetisi bertujuan


sementara putri kecil di istananya yang megah

aku tak perlu risau dengan hujan badai tak terarah

sejatinya aku tak kemana-mana

terpenjara dalam tembok dan atap yang indah


sekarang, siapa pemenangnya?

366 Hari Bersajak - 131. Tidak ada Imajinasi

dengan riang gembira aku katakan

kita akan pergi ke benua bernama eropa,

ia bertanya, benua itu apa?


dengan riang gembira aku beritahu

nanti kubawakan oleh-oleh dari Kathmandu

ia bertanya, toko apa itu?


dengan riang gembira ku beri kabar

kau bisa jadi dokter saat sudah besar,

ia menjawab lirih, tidak mungkin, kemarin temanku saja tak sempat menjadi besar... perut dan matanya kulihat keluar


366 Hari Bersajak - 130. Batu

Hari ini hujan tidak lagi mengagetkan di bulan Juni

Karena kebohongan di bulan April sudah berulang

Mei menjadi mediator rasa sakit yang sempurna


Cuaca tak memperhitungkan perasaan

Kekejaman hanya memetingkan tujuan

Disini yang mengerti hanya mampu terdiam


Perubahan apapun yang terjadi

Tak membuat banyak bergeming isi hati

mungkin sudah lama berubah jadi batu, tak tahu


Ternyata benar, tidak mudah sudah menjadi terlahir.

dengan wujud yang belum terlahir sudah berakhir.


.

.

.

Maaf, Rafah.


366 Hari Bersajak - 129. Besar Kecil

Dulu menjadi semut kecil
mampu menghancurkan yang besar hingga berkeping-keping

Kini menjadi paus penguasa lautan
hanya mampu memakan hal-hal yang kecil

366 Hari Bersajak - 128. Ramalan-Nya

Sulit rasanya harus menahan isak tangis

Sulit rasanya raga tak bergetar setiap mendengar kabar

Hari ini, Rafah luluh lantah


Hari ini,


             kenapa pasrah...


Jumlah pembela banyak

tapi seperti buih dipermukaan


diriakkan, muncul terang-terangan

lalu hilang dibawa angin, lalu hilang digulung ombak

diriakkan, muncul kembali semakin banyak,

lalu... apa?


Buih itu tak ada pertahanannya. Ia hanya bentuk dari tegangan permukaan


Dulu, kita bingung kenapa begitu sulit membedakan air dan api

Kini, untuk melihat saudara kita, masih harus menggunakan produk y*hudi


Sulit.

Pahit.

Sakit.


Apa... Tuhan... hamba takut... tak bisa menjadi bagian dari perlawanan... hamba takut... hanya menjadi buih lautan....


Apa yang harusnya kita lakukan...


366 Hari Bersajak - 127. Putar Balik

Dulu miskin ilmu, tapi pengamalannya penuh

setitik saja terlihat penjelmaannya

terasah dan bercahaya


Kini ilmunya banyak, tapi layas mencari pembenaran

hati terperangkap, dalam labirin berputar-putar

Dalam pertanyaan, mencari jawaban



366 Hari Bersajak - 123. Guna Guna Guna

Apa gunanya sekolah, jika tak menjamin hidupmu mudah

Apa gunanya belajar, jika tak menjamin kita menjadi kaya raya

Apa gunanya pendidikan, jika hanya untuk memajang ijazah

Apa gunanya nalar, jika tetap memakai jejaring keluarga


Guna, dari berguna

guna-guna, kelenik punya bahasa

jadi manusia harus berguna

terjebak dalam guna-guna


Ya itu, gunanya.


jangan seperti guru yang berguna tapi harus masuk dalam guna-guna.

366 Hari Bersajak - 122. Aneh betul piramida ini

didalam hutan, semua punya peran
penyubur, perusak, penanam, penumbang
tanpa dominansi
semua menjadi berimbang

tikus beranak banyak, karena ia kecil
jika gajah beranak banyak, bayangkan
tikus beranak banyak, karena ia mangsa
jika harimau beranak banyak, bayangkan

ada yang bergerak disiang hari
ada yang bergerak dimalam hari
jika mereka beradu waktu
betapa riuhnya hutan kala itu

manusia bukan hewan dan tak tinggal di hutan
manusia berbeda, hebat punya akal
manusia memiliki peraturan elegan
manusia tak pakai hukum rimba brutal

nyatanya dihutan tak ada penduduk kelaparan
karena pangannya dikuasai spesies lainnya
nyatanya dihutan tak ada penduduk tanpa rumah
karena lahannya dikuasai spesies lainnya

didalam hutan, semua punya peran
penyubur, perusak, penanam, penumbang
tanpa dominansi
semua menjadi berimbang

366 Hari Bersajak - 22. Jangan Mati

Mengerikan membayangkan akhir kehidupan

Saat diam dan tak ingin tahu

mengikuti tarikan nafas tanpa pengertian

kenapa sejatinya kita diciptakan


dikira dua kalimat saja sudah menyelamtakan

merasa beruntung sudah didalam garis keturunan

kunci sudah dipegang, apalagi yang dikhawatirkan?

tanpa mencari tau sebenarnya itu kunci apa


mengerikan membayangkan akhir kehidupan

mempasrahkan diri dengan hal yang kita percaya

atau sebenarnya kita bukan percaya

hanya masa bodoh dengan apa yang dipercaya


Pohon yang sehat, buahnya bisa busuk sebelum matang dan jatuh

Sungai yang deras, bisa berakhir karena terjebak jalur

Hewan terbesar, bisa mati dengan satu peluru

Hewan terbuas, bisa masuk dalam kerangkeng selamanya


Lantas apalah kekuatan dari kalimat yang disenandungkan

bahkan disaat kita belum mampu melihat

apalagi mengingat

siapa yang memberi jaminan


jika tidak terus mencari

jika tidak terus mengejar

jika tidak mencari tujuan

jika tidak menyadari kekeliruan


jangan mati

sebelum menemukan kebenaran.

366 Hari Bersajak - 21. Cara

Bagaimana caranya, agar bersyukur
tidak dengan nikmat orang lain diukur

Bagaimana caranya, agar bahagia
tanpa merasakan nestapa

Bagaimana caranya

366 Hari Bersajak - 20. Kurir Rasa (Cerpen)

Sudah dua jam aku berdiam di tepi danau ini. Terduduk menikmati aroma embun pagi, cericip burung dan tupai yang melompat-lompat di dahan hingga membuat pohon-pohon bergerak ringan. Matahari belum terasa begitu terik.  Entah apa nama tempat ini, aku hanya berjalan menyusuri jalan setapak dari penginapan. Bahkan masih kabut saat aku keluar, kakiku melangkah pasti selama masih ada jalan. Aku tidak memakai kacamataku, semua tampak buram ditambah kabut yang belum kunjung mereda. Ujung-ujung rokku basah. Dingin, namun nyaman.

Aku pergi sendiri ke tempat ini. Aku katakan aku ingin liburan setelah menyelesaikan beberapa urusan pekerjaan. Tak ada yang menahanku, karena memang aku bukan tipikal karyawan yang sering meminta cuti atau tidak menyelesaikan target pekerjaan di kantor. Bahkan mungkin atasanku lega saat aku mengajukan cuti setelah melihat pandanganku yang kosong selama sepekan ini.

Ada hal yang semakin aneh rasanya dalam diriku. Setelah dia, Wasa, menghubungi sepekan lalu. Dalam ingatanku, hubunganku dengan Wasa hanya sebatas teman kenal begitu saja. Tidak lebih, tidak kurang. Dalam ingatanku juga, obrolan dan interaksi kami hanya ramah-tamah sebagai teman. Aku tidak pernah memandangnya lebih dari teman. Jika suatu hari kami reunian sekolah dan dia tidak hadir, percayalah aku tidak akan mencarinya. Ini juga aku sadari saat aku lulus (kami satu kampus, berbeda fakultas), aku tidak mengundangnya, bahkan tidak mengingatnya untuk sekadar mengabari. Diluar teman kampus, aku hanya mengabari teman geng sekolahku yang berjumlah 4 orang perempuan dan 4 laki-laki. Mereka berdelapan merupakan orang-orang di malam mingguku, malam libur dan banyak malam lainnya kami habiskan bersama. Wasa, tidak pernah ada dalam pertemanan dekat ku, sejauh yang aku ingat.

Beberapa tahun silam, Wasa pernah menunjukkan gestur marah padaku saat aku seolah tidak memprioritaskan hadir saat teman kami berduka. Lagi, itu teman yang tidak terlalu dekat denganku, aku pikir. Lagipula, saat itu kegiatanku di kampus sedang padat-padatnya.

Besok kita akan kuliah seperti biasa, tapi teman kita tidak berduka selamanya, ucap Wasa saat itu.

Terkadang aku bingung mengapa Wasa merasa seolah kami dekat. Jika ia membangun kedekatan itu untuk urusan asmara, maka semakin tepat aku meresponnya dengan dingin. Dalam ingatanku, Wasa bukanlah laki-laki baik. Ditambah cerita dari teman geng ku, Tia, yang mengatakan ia sebal dengan Wasa karena mencoba mendekati salah satu teman-nya, minta dijodohkan, lalu ditinggalkan dengan ketidakjelasan begitu saja. Gita, yang sudah menikah dengan Heru, teman geng kami, juga mengatakan hal yang sama soal Wasa. Siapapun, asal jangan Wasa. Dia bukan orang yang tepat. Nasihat Gita padaku saat aku menceritakan komunikasi Wasa yang seolah sedang mendekatiku.

Sepertinya, Wasa hanya menjadikanku pilihan dan mencoba-coba. Sementara aku, tidak kepikiran sama sekali sampai seminggu yang lalu.

"Plung." Aku melempar kerikil kecil ke dalam danau. Dekat saja.

Kalau diingat-ingat, sebenarnya ada momen kami jalan berdua. Masalahnya, aku pergi berdua dengan lawan jenis tidak hanya dengannya. Kalau ada yang minta aku temani ke satu tempat, ada kegiatan dan lain halnya, selama memang bisa, aku temani tanpa memandang gender.

Wasa juga meminta hasil makanan yang aku buat untuk tugas kuliah, saat kuposting di media sosial. Dengan senang hati aku memberikannya, karena memang bukan hanya dia yang meminta, ada banyak yang senang bila diberi makanan gratis, bukan?

Rasa lembab semakin menjalar di tempatku duduk. Memang aku tidak memakai alas apapun sejak awal.

Sungguh aku tidak mengerti bagaimana sistem ingatanku bekerja. Biasanya, kalau ada hal yang aku tidak suka, kenangan buruk dan akan memicu perasaan tidak nyaman, aku akan mencoba melupakannya. Dan ternyata aku terbiasa sampai akhirnya momen diantara kenangan buruk itu ikut terhapus begitu saja. akhirnya yang menjadi pengingatku hanya satu, bukti. Itupun aku tidak akan ingat detailnya, hanya jika bukti itu jelas dan tak tersangkal, aku menerimanya. Dan sekarang itulah yang terjadi.

Aku memutus hubungan dengan Wasa secara sepihak saat teman-temanku memberikan pandangan bahwa Wasa selamanya tidak akan tepat bergabung dengan kami. Aku menuruti mereka. Betul, masalahnya ada di Wasa. Sampai pada akhirnya aku membuka kolom percakapan kami berdua di sosial media, dari awal. Sial, ternyata aku pernah menggoda Wasa. Aku pernah mengganggunya dan menunjukkan ketertarikan padanya. Siapapun yang membaca percakapan kami akan menilai bahwa saat itu aku menyukainya. Masalahnya, di linimasa itu, aku sedang punya hubungan dengan orang diluar sekolah dan juga sedang menyukai seseorang di sekolah juga. Siapa yang memulai mencoba-coba bermain api? Akulah perempuan yang jahat, saat itu.

Semua manusia tentu punya penilaian antara satu sama lain. Tentu saja aku menerima jika ada penilaian buruk mengenaiku dari orang lain. Lantas, mengapa aku bisa-bisanya menghakimi Wasa secara sepihak begini.

Tapi aku sudah mengakhirinya. Sekarang aku dan diriku perlu terus berefleksi agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Agar tidak ada Wasa-wasa lainnya dalam kehidupanku.


"Srek, srek" terdengar suara rumput dipijak dari arah belakangku.

"Sera...", seseorang memanggil namaku. suaranya sedikit serak sehingga aku sulit mengenalinya. Katanya kalau sedang sendirian tiba-tiba ada yang memanggil nama kita, jangan disahuti. Aku bergeming.

Terdengat suara seperti plastik dibentang dan diletakkan disebelahku. Seseorang itu lantas duduk diatasnya. Aku menoleh, lalu menghela nafas, lega. Ternyata Tia.

"Astaga, kamu mengagetkanku, Tia. Darimana kamu tau aku disini?" Tanyaku.

"Sini merapat dulu, kebiasaan duduk sembarangan. Nanti kamu masuk angin gimana." Omel Tia.

"Sudah basah juga sampai ke celana dalamku, hehehe." Jawabku sambil menuruti permintaannya. Akupun duduk dialas yang sama dengan sahabat ku ini.

Tia menyodorkan roti dan teh panas. "Kata penginapan kamu keluar pagi-pagi sekali sebelum sarapan." Rasa hangat mulai menjalar perlahan. Aku menerima pemberian Tia. "Kamu itu ya, kamu pikir kamu pinter banget sok-sokan ngilang? kali lain location di hape matiin dulu. Akun google-mu masih nyangkut di laptop aku."

Aku nyengir. Akun e-mail ya, pantas saja Tia menemukanku dengan mudah. Daerah ini memang sudah tempat wisata dengan jaringan yang bagus. Memang sejak awal aku bukannya ingin kabur atau sok misterius. Di formulir cuti aku juga mencantumkan lokasi yang aku tuju. Hanya untuk ke lokasi ini aku benar-benar hanya mengikuti jalan setapak, aku tidak ingat pernah kesini. 

"Pemandangan dari sini sudah banyak berubah ya, sejak kita perpisahan sekolah, dulu." Kenang Tia sambil melihat pemandangan di depan kami. Kabut sudah hampir menghilang semua.

"Iya, setelah erupsi dulu, ternyata malah membuat lahan tandus didepan sana menjadi hutan, ya."

"Sera, ingat tidak kejadian saat kita bertiga disini?"

"Ki-ta..? bertiga? Tidak, rasanya aku baru ke bagian sisi danau ini setelah melewati jalan setapak yang baru diaspal, deh?" aku menanggapi pertanyaannya dengan bingung.

"Ah, ternyata itu malah menjadi kenangan buruk bagimu ya? aku ingatkan deh, disini, kamu menemaniku saat menyatakan perasaan pada Wasa." Tia menerangkan sedikit ingatanku dengan santai. Tapi entah kenapa, kepalaku perlahan berdenyut, sakit. Tia melanjutkan ceritanya,"Beberapa bulan yang lalu, aku cukup sedih saat mengetahui Wasa mendekatimu. Aku juga tidak suka saat dia memintaku mengenalkan temanku padanya. Aku tidak mengerti mau Wasa apa. Setiap ada pesta teman kita, dia selalu mengajakku. Kami sering pergi pesta berdua dan aku hadir juga dibeberapa acara keluarganya. Ibunya sudah bolak-balik memberi kode kepadaku untuk segera menjadi bagian dari keluarganya. Tapi entah kenapa ada keraguan dari Wasa." Cerita Tia ini membuat kepalaku semakin sakit. Tapi sepertinya ia belum ada niat untuk menghentikannya.

"Aku pikir selama ini aku terus-terusan menyukainya secara sepihak. Sehingga aku tidak lagi mengenal rasa cemburu, aku selalu bersiap dengan rasa ikhlas jika ia bukan berakhir denganku. Aku senang setiap kali pergi dengannya. Aku selalu cerita, kan? makanya kadang aku tidak merasa istimewa karena ia juga jalan dengan oranglain, sepertimu, juga." Tia terus melanjutkan ceritanya tanpa memperhatikan perubahan ekspresi diwajahku.

"Dan akhirnya kamu tau, Sera? Dia bersama keluarganya datang kerumahku tiga hari lalu. Itu setelah aku bertanya apa arti dari sikapnya selama ini. Ternyata Sera, dia memperhatikan perasaanku dengan detail. Dia memastikan bahwa teman-teman disekitarku yang terlihat ramah memang bukan karena menyukai dia, karena memang ramah saja. Dan kau termasuk dalam teman ku yang di ujinya itu. Untung ternyata kamu tegas bersikap dan memang tidak ada perasaan apapun padanya. Aduh, lucu sekali ya?"

"3 bulan lagi kami akan menikah, kamu jangan pergi kemana-mana ya? kosongkan jadwal untuk menjadi bridesmaid ku, Sera. Ini perintah! Wajib! aku sudah mengabari semua geng kita. Makanya aku sampai bela-belain cari kamu kesini. Aku tidak sabar menunggu kamu pulang." Tia tersenyum sambil memelukku erat. Ia lalu mengusap pipiku, gemas, seperti yang biasa ia lakukan. Aku membalasnya dengan tersenyum getir. Sepertinya aku akan kembali melupakan tempat ini.

"Kamu kapan check-out? mau pulang bareng kami hari ini, tidak?" Tia tidak menunggu tanggapanku atas ceritanya barusan. 

"Memang kamu kesini sama siapa?" Hanya itu yang bisa aku tanyakan kembali. Rasanya denyut dikepalaku belum menyelesaikan seluruh cerita Tia untuk aku cerna.

"Wasa. Itu dia lagi ngobrol sama manager hotel. Sedang mempertimbangkan lokasi ini menjadi trip liburan keluarga kita setelah acara resepsi."



Ah, sepertinya, aku akan melupakan seluruh tempat ini, Tia. Selamanya.

366 Hari Bersajak - 19. Berpikir, bukan bergulir begitu saja

Tahun ini dua puluh delapan sudah usiaku

Masih lama memang menuju akhir tahun

Namun tetap saja kepala tiga semakin dekat bertemu


Bukannya menguatkan diri untuk karakter dewasa

Aku malah asyik terus berseluncur di dunia maya

Jari-jemari ini asik sekali menggulirkan linimasa


Lantas aku sadar ini menumpulkan pikiran

Sesederhana aku baru menyadari satu kelakuan

yang ternyata tidak sesimpel itu saat dipandang dari sisi dua insan


Aku tenggelam dalam perasaan

takut ini akan menjadi penantian

padahal tak ada yang memberi kepastian


Perlahan aku memikirkan

obrolan-obrolan singkat

ada detail kecil yang kau ceritakan

tentangku, tidak kuingat


dan... tentang mu, juga tidak kuingat.


Aku akui memutus begitu saja membuat salah paham

Lagi, itupun setelah orang-orang memberikan wejangan

Aku hanya memikirkan diriku, yang takut kembali melakukan kebodohan


Berpikir-berpikir-berpikir

tidak bisa hanya bergulir

tidak bisa hanya mengalir


Sebentar lagi usiaku dua delapan

semoga diri ini istiqomah dalam kebenaran

dan semakin matang dalam mengambil keputusan


Sungguh, aku berusaha agar tak lagi di kuasai emosi sesaat

Agar berikutnya ada jeda untuk berpikir dengan kiat

dan bertindak dengan sarat

366 Hari Bersajak - 18. Bagaimana aku bisa baik-baik saja

Rasanya hati terus bergetar
meruntuhkan dinding batu akibat tawa
meluruhkan lapisan angkuh didalamnya
semakin tipis, dan menjadi mudah terluka

Pemberitaan belum kunjung memberikan rasa lega
Bantuan masih terjebak diperbatasan sana
ledakan masih mendominasi suara
padangan masih dihujani senjata

semantara ada yang mengambil momen
mengirimkan bantuan 
yang kita tau takkan mungkin lewat perbatasan
takkan sampai sesuai permintaan

Gulana menyiksa, setiap Tuhan berikan ku nikmat
Ini serasa ujian, saat bersyukur bisa menjadi mudharat

Pintaku surga abadi
tapi didunia aku sibuk sendiri
Pintaku kubur yang damai
tapi didunia aku ribut sendiri

aku  takut diambil kenikmatan iman
aku  takut layas dalam memandang ujian

Meski... tidak boleh berjalan terus-terusan dalam kekhawatiran
Tentu suratan dan perjanjian berbeda-beda bagi setiap insan

Semoga Allah segera selesaikan,
Semoga Allah segera beri kebaikan,
Amin.

366 Hari Bersajak - 17. Niat

Bagaimana aku menjelaskan

Bahwa aku tak pernah menjalin komitmen

Terakhir aku menaruh perasaan

dicampakkan dengan alasan cukup cemen


jika dikatakan hari-hari penuh kegalauan

bukan kah kita sering melangkah dalam kebimbangan

sering kali terjebak dalam keraguan

dan melihat masa depan tanpa kepastian


Apa takutmu melukaiku

Apa takutmu tak cukup untukku

Jika sejak awal sudah berpikir begitu

Jangan coba-coba bermain dalam zona kalbu


Kau tau bara?

Yang sekali terpantik akan menyala selama hidupnya?

Yang sekali terbakar akan panas selamanya?


Meski cuaca dingin, meski cuaca berangin


Ada cara memadamkannya,

Rendam dikedalaman

Benam dikepadatan

Pijak-pijak dengan kekuatan


Tegakah kau melakukan itu padaku?


dalam proses terus meminta sim (surat izin menikah)



366 Hari Bersajak - 16. Ridho

Sebelum berdoa, aku selalu bertanya

kepada ibu, apakah doa kita sama?


Sebelum melangkah, aku selalu melihat arah

Apakah ini diketahui oleh Ayah?


Sebelum aku menikah, aku selalu percaya

agar pintaku dikabulkan oleh-Nya


Perkara ini tak main-main

Karena tak ada kehidupan yang lain


Setelahnya, tanyaku, langkahku, akan berpindah

kepada orang asing yang suatu hari,

akan direstui Ibu.

akan diterima Ayah.

366 Hari Bersajak - 15. Kopi

Biji putih gading berubah menjadi coklat tua
kadang ku temukan tua sekali hampir hitam

Aromanya nyaman dirasa
Ada juga yang hangus kurasa

satu-dua, bulat-lonjong, beri-beri
yang mana saja diberi
ku sesap dengan sepenuh hati

Hanya untuk campuran canephora
murni canephora
nama indah itu membuat dadaku berdebar
Aduh, sendiku ikut bergetar

Kuhindari
namun kadang, godaannya sulit untuk ku antisipasi

Mereka tak sedia yang murni
lidahku tak tahan mencicip aroma terapi yang tercium
Bagaimana ini
Resikonya, sepanjang malam aku terjaga dalam maklum

Besok, akan aku ingat

Ah, lupa lagi.

366 Hari Bersajak - 14. Yang Aku Benci

Malam ini terasa begitu menyebalkan

Keheningan yang seharusnya ternoda oleh riuh nyanyian

Suaranya tak salah

Namun dadaku terus merasa sesak dan gelisah


Aku pikir, aku menyukai malamnya hutan karena misterius

Aku pikir, aku menyukai menyelam karena tak ingin terbawa arus

Ternyata yang kucari ketenangan  

Ternyata yang kucari keheningan


Mereka yang lahir dan besar dalam hening,

Memintaku untuk menemaninya dalam riuh

Sebaliknya aku yang tumbuh hiruk pikuk

Berlari menuju wilayah senyap


Sayang, aku bukan putri raja

Yang bisa meminta hal menyebalkan ini disingkirkan

366 Hari Bersajak - 13. Sudahlah

Apakah ini menjadi terlalu aneh ketika aku tidak punya ketertarikan lebih dari pertemanan di usia segini?Jangan terlalu pilih-pilih kata para senior yang sudah menikah


Salahkah aku yang sangat takut akan menjadi bagian orang-orang yang belum dimatikan sampai akhir jaman lantas menerima seseorang yang tidak peduli akan agamanya?

Salahkan aku yang peduli dengan kesehatan lantas menerima seorang perokok? bahkan ayahku, tidak.

Salahkah aku yang senang berdiskusi menerima seseorang yang tak terima perempuan terlalu banyak meminta informasi?

Salahkah aku yang ramah pada siapa saja lantas membuat seseorang bingung terkait perasaannya?


Lagipula, untuk apa memupuk rasa istimewa (lagi) untuk orang yang tak pasti?

Bertahun aku melewati fase penyangkalan, marah, menawar, depresi, dan penerimaan.

Dan tidak, untuk diriku sendiri, aku tak mampu menyakiti lebih dari itu.


Mungkin nanti, siapapun takdir itu, seperti kata Hamka, kita akan bertaut dalam rasa kasihan.



Cannu, Darussalam

366 Hari Bersajak - 12. Tinggi

 Nak, Tak ada hujan diatas sini

tak ada banjir menghampiri

padahal sebelum pergi

langit gelap bak dini hari


Lalu semua seolah hilang

sat burung besi ini terbang


begitu pula langkah hidup

ketika sulit menjepit

kita berusaha merangkak pelan

ke tempat yanglebih tinggi


goncanganna ada

turbulensinya nyata terasa

(ah, sesuai harga juga biasanya!)


Tapi semakin di atas

kesulitan itu tak lagi menjadi batas

hanya terlihat geliat-geliat saja


Terbanglah nak, dari perasaanmu yang terhimpit kehidupan.


18:08 Air Asia
30 Januari 2023

366 Hari Bersajak - 11. Naung

Kau taukan rasanya peluh saat tak punya termpat untuk berteduh

kau taukan rasanya perih saat perut tak diisi


Lantas mengapa kau biarkan rumah mereka rusak...

lantas mengapa kau rebut makanan milik mereka...


Ambil secukupnya

tanam kembali

ambil seperlunya

pulihkan lagi

366 Hari Bersajak - 10. Indi e

Senja,

saat mentari pamit dengan indah

seburat warna hangat, lalu hilang

menyisakan kelam


Senja,

Tenggelannya jiwa-jiwa yang lelah

jatuh dalam sujud, hati yang rapuh

mata yang nanar menatap hari berganti

apakah esok ia masih bisa memberi arti


Senja,

identik dengan anak indie, secangkir kopi, dan bait puisi.


yah seperti ini.

366 Hari Bersajak - 9. Kenapa di block woy, ya maaf

Ku pandang kau sebagai teman,

Kau anggap ku teman kencan,

Maaf kita harus putus hubungan,

Ku tak mau ikut rayuan setan


Sejak awal kita berkenalan

Ku pikir kita punya sama pandangan,

bisa berbagi pendapat

bisa berbagi wawasan


cerita-cerita baru antara kita

dari masing-masing tempat kerja


tak kusangka, semua berubah

saat matamu memercikan rasa yang membuatku marah


Semoga, akan ada pertemuan

yang membuat kita saling pengertian.


366 Hari Bersajak - 8. Silahkan bahagia semu

Kamu boleh berbahagia dengan harta

semua hal yang dipunya

kamu boleh berbangga atas

pertemuanmu dengan pasangan

kamu boleh jumawa untuk hidup

yang tidak dimiliki segelintir orang


Dan kau tak mencari pada sang Maha Pemberi

dan kau lalai pada rejeki yang kau cari

dan kau abai pada hak yang kau kebiri


nikmati saja dunia ini

berendam saja pada gelimang materi


jauh, pergi, hati, nurani


lantas mereka yang mengingatkan dengan tulus

disimpulkan sebagai pencaci, pendengki, berakal bulus



366 Hari Bersajak - 7. Yang Bertasbih

 Tuhan, jika hamba masuk surga

jika hamba masuk surga

jika... setelah semua dosa terbakar di neraka

bolehkan, bolehkan hamba bertanya?


Hubungan hamba pada-Mu, 

bisa hamba meminta ampun

Hubungan hamba pada manusia lainnya, 

bisa hamba upayakan maaf


lalu,


bagaimana cara menyelesaikan urusan pada hewan-hewan ciptaan - Mu?

bagaimana cara memohon ridho dari tumbuhan yang senantiasa bertasbih kepada - Mu?


bagaimana...?

366 Hari Bersajak - 6. Bukan Aku

 Aku terpana pada dunia maya

Sudahlah gelap mata pada harta

lantas tenggelam dalam dunia fiksi belaka

tertawa-tawa mengalihkan masalah nyata


Apa sebenarnya bahagia?


Bahkan itu, bukan aku yang berkuasa atas tawa


Aku kira, kita semua bisa bermimpi lepas


melakukan semua hal seenakjidat

tanpa peduli akhirnya akan bertanggung jawab

366 Hari Bersajak - 5. Pantulan

Rembulan hanya bersinar diwajahku

Tapi tidak dengan hatiku

Mungkin kini terlihat baik tak bercela

Sadarlah, takkan ada yang sempurna


Adakah yang memberi jaminan

Kebaikan-kebaikan yang dipantulkan

menjanjikan keberadaan sehelai rambutku di surga?


atau... justru semua habis di Nearak, sudah.


Siapa aku yang dikatakan berwajah rembulan

siapa kau yang dikatakan tampan rupawan

tak ada yang bisa menujukkan kebenaran

akhirat nantinya akan membeberkan

366 Hari Bersajak - 4. Memori

 Ada nada-nada yang mengingatkan suatu suasana

lirik-lirik menggelayut manja berirama

meski tak ada nama kita di dalamnya

rekaman memori mengalun indah mempesona

mempermainkan imajinasi sekelebat tak berjeda


Berikan aku kunci kotak musik itu

aku tak mampu terus terjebak di masa lalu

terlalu indah saat terbayang sewaktu-waktu

membuatku di masa kini menjadi rindu

akan hati yang sudah berdebu

366 Hari Bersajak - 3. Pesan Untuk Masa Depan

Bukan sajak, hanya kumpulan kata-kata.


Nak, maafkan ibu jika nanti kita sudah bertemu, banyak hal mungkin akan sulit untukmu mengerti. Ibu tak akan mengizinkanmu bermain gadget sebelum usiamu mencapai 7 tahun. Sebisa mungkin, setiap saat, kita akan bersama, karena, meski mungkin terdengar seperti mimpi, ibu akan berusaha semaksimal mungkin untuk hadir 24/7 dalam kehidupanmu. Mungkin impianmu terdengar seperti sesuatu yang sulit dicapai, namun siapa yang bisa menghentikan mimpi? Mimpilah sebesar-besarnya, karena ibu akan memperkenalkanmu pada berbagai hal untuk memperluas wawasan dan impianmu.


Masa kecilmu akan diisi dengan berjalan-jalan di pasar, karena ibu ingin memberikan makna bahwa setiap pekerjaan memiliki nilai yang sama berharga. Mereka yang mencari nafkah dengan keringatnya akan mendapatkan pahala yang melimpah. Dunia ini harus berlelah-lelah, karena istirahatnya akan ditemukan di kehidupan setelahnya. Nak, tulisan ini ibu buat sebagai pengingat untukmu kelak. Meskipun kamu mungkin sibuk dengan urusan dunia, ingatlah bahwa kekayaan sejati adalah waktu luang yang memungkinkanmu beribadah dengan khusyuk.


Nak, entah kelak kamu akan sendiri atau bersama saudara, ingatlah bahwa kita adalah keluarga. Tak ada ikatan yang lebih kuat dari ikatan darah, meskipun sifat kita mungkin berbeda karena gen yang berpadu dan mengekspresikan dirinya dengan unik. Maafkan ibu jika terkadang tampak berbeda dari ibu-ibu lain. Ini mungkin terdengar kritis, namun ibu merasa bahwa kita, sebagai keluarga, perlu menjaga diri dari pengaruh luar yang mungkin merugikan. Dunia yang kamu lihat mungkin besar, namun kebenaran sejati hanya ditemukan dalam Al-Quran dan Hadist.


Nak, ibu mengizinkanmu menjadi apa pun selama tidak menyakiti manusia, alam, atau sekitarmu. Ibu khawatir jika tidak mampu menanamkan keimanan yang kuat atau jika kamu terpengaruh oleh hal-hal yang tidak baik. Ibu memiliki harapan besar agar kau memahami pentingnya tauhid. Ibu telah berusaha keras dalam pendidikan dan pelajaran agar tidak ada kebingungan saat membesarkanmu, karena mungkin kita tidak akan tinggal di kota besar, namun duniamu akan ibu buat seluas alam semesta.


Nak, jika suatu hari kau bisa membaca ini, maafkan ibu jika ada yang salah. Maafkan ibu yang mungkin terkadang terlalu memaksa atau sulit memahami generasimu. Ibu telah berjuang untuk mempersiapkan diri menghadapi zamanmu kelak. Jangan pernah berharap ibumu akan meminta maaf untuk cara mendidikmu, karena menjadi orangtua berarti melakukan yang terbaik dengan apa yang dimilikinya untuk menciptakan masa depan yang baik bagi anaknya.


Nak, jika kita masih bersama saat kau membaca ini, peluk ibu, ya.


#Inspired tren hei Kidz

366 Hari Bersajak - 2. Take off

366 Hari Bersajak - 2. Take off


Ilustrate by Bing AI




It's a beautiful morning for mourning

Every time I scroll to found my darling

There is only a photos and videos to crying

A bunch of heartless people show a magic from charming to nothing


Birds serenade, a melancholy tune

Nature's lament, beneath the crescent moon

It's a beautiful morning, a paradox born

For in the joy, there's a hint of forlorn


We laughing then remembering

While crying cannot change anything


The rhythm persists, a heart's heavy song

A plea for peace, where innocence belongs

Even don't know anything yet to gone in core

Palestinian children, their future implore

-16:30

366 Hari Bersajak - 1. Mulai

Ilustrasi Bing Ai

366 Hari Bersajak - 1. Mulai


Mendung menyapa seolah menggambarkan langit lelah

Selongsong petasan menumpuk di tempat sampah

Trauma menyapa hewan-hewan tak bersalah

tiga ratus enam puluh enam hari kedepan, semoga kaprah sudah berubah


Muda mudi lelah menghabiskan malam

Lelap dalam mimpi beranekaragam

Atau kosong kelam

Tahun ini sepertinya akan mencekam


Lain tempat ada yang sudah bersiap

Menyambut hari baru dan berharap

Mungkin ada impian bergemerlap

Atau hati tak lagi sendirian berdegap


- 19:30




Tags