366 Hari Bersajak - 137. (Cerpen) Naskah Opera Sabun

Di salah satu cafe yang berada di kawasan perkantoran, Tania duduk sendiri asik mengetik di laptopnya. Ia menikmati suasana pagi menjelang siang di dalam ruangan dengan musik Lo-Fi yang diputar oleh pemiliknya. Tak ada orang lain di sekitarnya, hanya ada dua-tiga pengunjung yang menunggu pesannya untuk mereka bawa pergi. Kadang tangannya berhenti sejenak memikirkan lanjutan kalimat yang akan ia ketik berikutnya. Menghapus, lalu lanjut mengetik lagi. Sedang asik berimajinasi, tiba-tiba seseorang menumpahkan minuman di atas laptopnya. Refleks ia langsung membalikkan laptop untuk meminimalisir air yang masuk. Jantungnya langsung berdegup keras, bibirnya terkatup, syok menjalar keseluruh tubuh hingga tak mampu mengeluarkan suara. 


"Seru sekali ya menjadikanku terus-menerus bahan cerita." Suara berat seorang laki-laki, pelaku penyiraman itu menyadarkan Tania dari tubuhnya yang tiba-tiba kaku. Dengan cepat ia menoleh dengan perasaan ingin marah besar kepada manusia itu. Matanya menyipit tajam, menghujam mata lawan bicara. Namun itu hanya terjadi sepersekian detik. Saat menyadari sosok di samping nya itu, sorot matanya perlahan meredup dan mengarah kebawah, menunduk.


"Kenapa? mau marah? aset mu itu kan kau dapat dari menjual kisah ku." Lanjut lelaki berkaus polo itu sambil meletakkan gelas plastik kosong di meja yang berceceran Americano. Dengan tangan bergetar, Tania mengambil tisu dan masih berusaha mengelap untuk menyelamatkan laptopnya. Laptopnya masih menyala, tapi ia belum berani membalikkannya kembali, takut masih ada air. 


"Aah, sial sekali aku baru pulang ke kota ini kemarin dan langsung bertemu denganmu. Memang ada aku rasa hal yang kurang dikepala mu itu. Bisa-bisanya kamu masih fokus dengan harta haram itu!"


Sementara itu, pelayan cafe yang sedari melihat kericuhan itu berusaha mendekat dan perlahan mengeringkan meja dan membersihkan lantai perlahan. Manajer mereka sedang tidak ditempat, antara takut harus terlibat percek-cokan ini atau justru harus lebih ekstra tenaga membersihkan tumpahan kopi yang mengering.


Tania perlahan mengangkat kepalanya dan menghadap ke Sutan, seseorang dari sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas yang sama dengan Tania. "Aku tidak mengerti maksudmu, dan aku juga tidak mengenal kamu siapa." Jawab Tania tegas. Ia tidak salah, sejatinya ia tidak pernah benar-benar mengenal Sutan. Meski satu sekolah, mereka tidak pernah terlibat apapun. Selama enam tahun diantara mereka hanya mengenal wajah saja.


"Kamu..., kamu kan? kamu mengintipku dari seluruh sosial media milikku, mengintip sosial media keluarga ku juga, menyimpulkan status saudaraku yang mengeluhkan masalah keluarga dan kamu jadikan bahas cerita untuk kamu jual menjadi cerita sampah ditelevisi!" Amarah Sutan lepas dengan jelas.


Si pelayan menyela "Maaf mbak, mas, mau pindah meja atau mau keluar dulu sembari saya bersihkan mejanya?"


"Kalau saya keluar atau pindah meja repot, barang-barang saya masih disini semua." Jawab Tania.


"Kalau mau keluar dulu juga enggak apa-apa, barangnya terawasi cctv itu ya mbak." Tunjuk Pelayan laki-laki yang sangat pemberani tapi terlihat tidak tau situasi itu ke arah CCTV terdekat.


"Oke, Sutan, kita mau keluar dulu?" Tawar Tania.


Sutan menarik napas dalam-dalam, matanya melirik ke arah pelayan yang menunggu jawaban. "Iya, kita keluar dulu," jawabnya akhirnya. Tania masih membawa laptopnya terbalik dengan hati-hati, lalu mengikuti Sutan menuju pintu keluar kafe. Di luar, angin sepoi-sepoi bertiup, sedikit menenangkan suasana yang tegang.


Di trotoar, mereka berdiri berhadapan. Tania bisa melihat sorot mata Sutan yang penuh dengan kemarahan. "Aku benar-benar tidak tahu apa yang kamu bicarakan," Tania membuka percakapan, suaranya masih gemetar.


Sutan menggelengkan kepala, "Jangan bohong. Aku tahu cerita-cerita itu persis. Kamu menulisnya dengan detail yang hanya bisa diketahui oleh orang yang benar-benar stalking keluargaku."


Tania menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Dengar, aku memang seorang penulis, hal yang wajar aku mengambil inspirasi dari kehidupan pribadi orang lain. Jika ada kesamaan, itu hanya kebetulan. Lagipula, kenapa aku harus menghabiskan waktu untuk mengintip kehidupanmu, Sutan."


Mata Sutan menyipit, skeptis. "Jadi kamu bilang semua ini hanya kebetulan?"


"Jika memang ada kesamaan, aku minta maaf. Tapi aku yakin, tidak pernah menulis sesuatu yang secara spesifik mengarah pada kehidupan pribadimu."


Sutan terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Tania. Amarahnya perlahan mereda, meskipun masih ada sisa-sisa ketidakpercayaan. "Kalau begitu, kenapa cerita-ceritamu sangat mirip dengan kejadian yang pernah keluargaku alami? ibuku sampai jadi bahan tertawaan di arisannya. Semua perempuan kurang kerjaan yang menghabiskan waktunya dirumah pasti menonton drama murahan produksi PH -mu itu!"


"Sebelum aku menjawab, aku punya satu pertanyaan," Tania menatap mata Sutan dengan tegas, "Dari mana kamu tau aku bekerja untuk PH itu?"


Sutan terdiam sejenak, menatap Tania dengan kebingungan yang perlahan berubah menjadi kebingungan. "Aku... Aku melihat namamu di kredit akhir episode. Itu saja."


 "Oh begitu. Bagaimana kalau kita berbicara dengan tim produksiku? Kita bisa melihat naskah aslinya dan kamu bisa menilai sendiri."


Sutan menghela napas, dilema apakah penilaiannya sebulan terakhir memang salah. Ia Tampak mulai mempertimbangkan tawaran itu. "Baiklah, mungkin kita perlu bicara lebih lanjut, Mungkin itu bisa membantu menjernihkan semua ini." katanya akhirnya.


"Aku akan atur pertemuan dengan timku secepat mungkin." kata Tania dingin,"Dan untuk sekarang tolong kamu pergi dari sini, aku tidak mau memperpanjang penyeranganmu ini terhadapku."


Sutan mengangguk pelan. "Oke. Aku tunggu kabar darimu."


****


Beberapa hari kemudian, di kantor PH, Sutan duduk dengan gelisah di ruang rapat kedap suara. Ia dihubungi melalui nomer kantor PH Tania. Ia bertanya-tanya bagaimana mereka mendapatkan kontak dirinya. "Ah mungkin perempuan itu menemukan nomerku dari grup Alumni." gumamnya.


Tania masuk sendirian, membawa setumpuk naskah. "Sutan, ini naskah-naskah yang sudah kami produksi. Kamu bisa memeriksanya," kata Tania dengan nada ramah namun dingin.


Sutan mulai membaca naskah-naskah itu satu per satu. Semakin lama membaca, wajahnya semakin pucat. Setiap detail dalam naskah itu memang sangat mirip dengan kejadian yang menimpa keluarganya, bahkan ada beberapa yang tidak mungkin diketahui orang luar.


Tania memperhatikan reaksi Sutan dengan hati-hati. "Bagaimana? Apakah kamu melihat ada niat buruk di sini?" tanyanya, pura-pura polos.


Sutan meletakkan naskah terakhir dengan tangan gemetar. "Kamu... kamu tahu terlalu banyak. Ini tidak mungkin hanya kebetulan."


Tania tersenyum tipis, mengunci mata Sutan dengan tatapan tajam. "Kamu benar, Sutan. Ini tidak kebetulan. Aku tahu semuanya karena aku memang sejak dulu keluargamu rela melakukan apapun demi uang. Apalagi sejak pabrik rokok lokal yang dikelola turun temurun oleh keluargamu itu bangkrut. Semua cerita ini aku dapat setelah membayar adik tirimu. Untuk seseorang yang tak acuh dengan sekitarnya, kau dan keluargamu layak mendapatkan hukuman publik seperti ini."


Sutan membelalakkan mata, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Kenapa? Apa yang keluargaku pernah lakukan padamu?"

Tania mengambil napas dalam-dalam, menatap Sutan dengan mata yang penuh kebencian dan kepuasan. "Memang tidak ada hubungannya langsung denganku dan denganmu. Keluargamu merusak lingkungan dengan limbah B3 hasil pengolahan rokok. Air di kampung kita tercemar, membuat banyak perkebunan rusak. Setiap kali ada protes, keluargamu yang berkuasa selalu berdalih bahwa pabrik rokok lokal kalian membantu daerah itu dengan memperkerjakan orang-orang sana. Padahal, dulunya masyarakat hidup mandiri tanpa harus bergantung pada pabrik kalian."


Sutan menelan ludah, mencoba memproses informasi yang baru saja ia terima. "Tapi... bukankah pabrik itu memberikan pekerjaan bagi banyak orang?"


Tania mengepalkan tangannya, kemarahan terpendam selama bertahun-tahun muncul di permukaan. "Pekerjaan? Kalian merampas kehidupan kami! Dulu, kami hidup dari pertanian yang subur. Setelah pabrik kalian mencemari air, lahan rusak, panen gagal, dan banyak yang terpaksa bekerja di pabrik karena tidak ada pilihan lain. Itu bukan bantuan, Sutan, itu penjajahan modern."


Sutan terdiam, tatapan matanya penuh penyesalan. "Aku tidak tahu... Aku tidak pernah sadar tentang semua ini."


"Karena kamu tidak peduli," potong Tania tajam. "Kamu hidup dalam kemewahan tanpa peduli pada penderitaan orang lain. Aku sengaja menjatuhkan mental keluargamu agar pabrik itu bangkrut dan segera tutup. Aku ingin melakukannya dalam diam, tapi sialnya kau tiba-tiba mengenal namaku."


Sutan duduk kembali, lemas. "Lalu apa yang harus aku lakukan? Ibuku malu keluar rumah karena kamu membuat cerita perceraian ibu dan ayahku karena masalah ranjang. Ayahku pergi, ibuku menikah lagi dengan seorang lelaki muda pembual yang pernah menikahi seorang janda yang sudah memiliki anak usia remaja. Dan kini setelah ibu kandungnya mati, dia justru menjual cerita kepada kalian untuk membeli sabu. Apa kau pikir tindakanmu itu sungguh heroik?!"Cecar Sutan tak beraturan. Sebenanrya masih banyak sekali aib keluarganya yang ditulis mentah-mentah menjadi bahan cerita. Ia bingung dengan semua hal yang bukan berasal dari kesalahannya tapi sekarang hidupnya jadi hancur. Ia harus resign dari pekerjaannya di ibukota dan pulang mengurus ibunya. Saudara ibunya yang ikut mengurus pabrik warisan kakek mereka semua lepas tangan karena malu dengan saudaranya sendiri. Pabrik itu memang perlahan terbengkalai, hanya memproduksi seadanya setahun terakhir ini sejak sinetron-sinetron itu muncul.


"Aku akan terus berjuang, sampai pabrikmu itu tutup" jawab Tania tegas. "Melalui tulisan, melalui media picisan. Aku akan membuka mata semua orang tentang azab apa yang bisa terjadi atas ketidakpedulian itu. Meski azab itu tidak ada, maka aku yang membuat kalian merasakannya."


"Kamu...kamu buka Tuhan, Tania." jawab Sutan menanggapi. "Aku... aku tidak tahu harus berkata apa. dan aku juga tidak punya kuasa untuk memperbaiki ini."


Tania menatap Sutan dengan skeptis. "Aku sudah tau. Karenanya aku tidak pernah menyentuhmu langsung. Sialnya kau melihat dan mengenal namaku. Padahal aku hanya ingin menghancurkan semuanya dalam diam. Sekarang kamu mau apa? menuntut kami?" Tantang Tania.


"Tidak. Aku tidak gegabah memulai perkara baru yang akan menghabiskan banyak uang. Saat ini keluargaku sudah hancur seperti tujuanmu. Luar biasa kamu merencanakan semua ini. Pantas saja kamu mengelak saat di cafe kemarin. Kalau disini aku tidak bisa menyerangmu sembarangan."


"Kau kira aku sekolah hanya untuk mengejar gelar? hanya sekedar bekerja? Tidak Sutan, kelakuan yang kau lihat licik ini adalah hasil pola pikir seorang sarjana komunikasi."Tania menjawab dengan pongah.


Sutan sudah tak punya jawaban apapun untuk menanggapi. Dengan tertunduk ia menatap mata Tania yang menatapnya percaya diri. Berbeda sekali dengan sorot mata saat ia menyerang Tania di Cafe pekan lalu. Tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun, Sutan meninggalkan ruangan dan pergi dari sana. Entah apa yang akan ia lakukan pada keluarganya yang sudah hancur. Kemarahannya sama Tania murni karena ia terkejut mengetahui ada seseorang yang ia kenal terlibat dalam karya itu. Ia tidak menyangka ada hal seperti ini. Tania benar, ini bukan dendam antara Tania dan dirinya.


Tania menutup naskah yang tadi ia tunjukkan pada Sutan. Meski kemarin ia terkejut saat Sutan menyerangnya. Kini ia tersenyum puas. "Hmm, cari bahan baru ah." Gumamnya. Sambil berjalan kembali ke ruang kerjanya. Laptop tersiram kopi kemarin bertengger di mejanya dan masih bisa ia gunakan. Benda itu akan menjadi saksi bisu bagaimana media bisa berpengaruh dengan baik dan jahat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kalau ada yang ga bagus tolong dikasi tau ya, biar penulis bisa menyempurnakan tulisannya :)
kalau ada ide lanjutan cerita juga di terima...
Makasih :D

Tags