Resensi novel Amba karya Laksmi pamuntjak

Ini kali pertama aku mencoba membaca jenis novel bahasa Indonesia dengan pilihan kata yang tidak ringan. Kenapa aku bilang tidak ringan? karena novel ini ini memiliki kosakata yang jauh lebih kaya dari novel-novel Indonesia yang sebelumnya aku baca. Berbeda dengan karya-karya Sapardi Djoko Samono yang dihiasi kata-kata puitis, lembut dan sarat makna, Novel Amba karya Laksmi Pamuntjak ini dihujani kata-kata bahasa indonesia yang jarang digunakan sehari-hari. Sampai-sampai aku harus menyediakan KBBI disebelahku saat membaca novel ini.

Jadi secara beruntung aku dipinjami novel Amba cetakan keempat oleh salah satu senior di tempat kerja.

Judul : Amba
Penulis : Laksmi Pamuntjak
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Cetakan : Keempat edisi baru Okober 2013

Tebal : 577 halaman

Untuk kalimat pembuka, Laksmi memilih kata "Untuk mereka yang pernah ditahan di Pulau Buru yang telah memberiku Sepasang Mata baru". Di sini aku baru tahu bahwa Indonesia punya Pulau Buru hahaha! ya sejelek itu pengetahuan geografiku. Novel ini awalnya ditulis dalam bahasa Inggris lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan penyusunan kata yang lebih ciamik 

"Di Pulau Buru laut seperti seorang ibu dalam dan menunggu" menjadi kalimat pada alinea pertama dalam novel ini. Novel ini menceritakan tentang sosok perempuan bernama Amba yang mencari makam 'suami' nya bernama Bhisma di pulau buru. Pencarian dengan petunjuk yang sangat minim membuat kisah ini menjadi begitu rumit pada bab pertama. Kecurigaan penduduk setempat dan serangan yang dihadapi Amba menambah kesulitannya dalam mencari jejak Bhisma.

Amba adalah seorang anak pertama dengan sepasang adik kembar yang cantik. Begitu pula Amba, mesi tidak secantik kedua adiknya, ia memiliki gestur yang anggun dan menawan. Ibunya yang dulu seorang kembang desa dan menurunkan kecantikan itu kepada anak-anaknya, merawat mereka semua dengan penuh welas asih khas perempuan jawa. Ayahnya adalah seorang guru yang lurus, baik dan berprestasi hingga diundang ke pertemuan guru-guru di UGM.

Saat pertemuan di UGM itu, kedua orangtua Amba berjumpa dengan Salwani. Dosen muda yang baik, sopan dan satun. Sosok calon suami yang sangat sempurna untuk Amba, di mata orangtuanya.

Salwa mendekati Amba dengan sangat baik, mendukung mimpi-mimpi Amba, memahami setiap buah pikir Amba yang cenderung berbeda dari orang-orang kebanyakan. Amba cerdas, Salwa tau dan meng-apresiasi itu dengan baik.

Namun Amba merasa tak bisa hidup dengan ketenangan. Ia ingin terus mengasah dirinya lebih dan lebih. Saat ia kuliah Sastra Inggris di UGM, teman-teman diskusi 'bule' nya satu persatu menghilang karena terjadi ketengangan antara eks penjajah dengan kelompok nasionalis. Belum lagi pergerakan gerilya PKI.

Amba menemukan pengumuman bahwa rumah sakit di Malang membutuhkan penerjemah. Meski tau saat itu Malang sedang dalam kondisi yang sangat bahaya karena banyak penculikan juga pembunuhan, ia tetap pergi demi menuntaskan kepuasan dirinya.

Kalau aku melihatnya, Amba ini Rebel banget sih.

Ia memberi tahu kepada Salwa bahwa ia akan pergi ke Malang. Kepada Om dan Tantenya yang ia tumpangi selama di Jogja, Amba mengatakan bahwa ia akan kerja kelompok selama beberapa lama di rumah temannya. Untuk keliarganya di Kediri, Amba tak memberi kabar apa-apa.

Salwa, lagi-lagi harus memahami 'rebel' nya Amba. Dengan penuh kasih sayang, Salwa tetap mengirim surat dan memastikan bahwa Amba baik-baik saja di sana. Sayangnya, Amba sudah tak lagi punya gairah menanggapi kata-kata indah dari Salwa. Karena, di Rumah Sakit itu ia menemukan sosok yang berbeda dari orang lain seumur hidupnya. 

Namanya, Bhisma.

Bhisma adalah seorang dokter lulusan Jerman. Saat itu, Jerman sangat kental dengan komunis. Apakah Bhisma terlibat dengan komunis atau tidak? tidak tahu.

Hubungan Amba dan Bhisma begitu intim. Dan Bhisma tidak tahu keberadaan Salwa. Karena Amba tidak memberi tahu. Sampai akhirnya amba memberi tahu, tentu saja Bhisma tak melepas Amba begitu saja. 

Sayangnya, meski Bhisma menunjukkan cinta dan rasa posesifnya ke Amba, akhirnya mereka terpisah disebuah pertemuan untuk mengenang salah satu pentolan PKI.

Perpisahan itu tak hanya memisahkan sepasang kekasih tapi juga seorang anak dengan ayah Biologisnya.

Amba pun 'kabur' ke Jakarta. Tempat yang ia dan Bhisma impikan untuk melanjutkan hidup. Ia berharap pada suatu hari ia akan bertemu kembali dengan Bhisma di Jakarta.

Setahun kemudian, Amba baru mengirim surat kepada keluarganya di Kediri yang tentu isinya melukai hati kedua orangtuanya. Surat kepada Salwa, tetap saja Amba memberi bahasa agar Salwa memaklumi seluruh tindak tanduk yang Amba lakukan.

Salwa, adalah seorang lelaki baik, sopan, santun dan memilih hidup dengan lurus. meski tak lagi menaruh cinta, sampai akhir Salwa memberi empati pada Amba.

Entahlah cerita mahabharata bahwa tokoh Amba dicampakkan oleh kedua lelaki, Salwa dan Bhisma adalah sama dengan kisah Amba yang ini?

Bagaimana kondisi di Pulau Buru sejak menjadi pulau tahanan politik? Bagaimana nasib para tahanan? Dimana Bhisma sebernanya?

Buku ini sangat menarik untuk dibaca secara perlahan. Laksmi Pamuntjak berhasil menyajikan salah satu catatan sejarah dengan baik meski ada beberapa kejadian yang dirubah untuk menyempurnakan alur cerita.

Sekian.

Catatan : Lanjutan kisah ini ada di Novel "Srikandi"



Tags