366 Hari Bersajak - 138. Tugas

buah kelapa terombang-ambing di lautan
tanpa dayung, tanpa sampan

tujuannya? tidak tahu berlabuh kemana
sampai kapan? 5-10 tahun lebih tak mengapa


ia bertahan dengan daging buahnya
sendirian, tanpa harapan ada yang membantunya

demi bertemu daratan
dan bertumbuh disana

akarnya akan muncul ketika bertemu daratan
meski ia tahu nantinya ada gangguan

sebelum bertunas, bisa jadi dimakan kepiting
sebelum bertunas, bisa jadi ditarik ombak kembali

demi menuntaskan tugas
demi menghasilkan lagi buah kelapa

yang jika tidak manusia makan
maka ia akan kembali terombang-ambing di lautan

tanpa dayung, tanpa sampan
demi bertemu daratan.



366 Hari Bersajak - 137. (Cerpen) Naskah Opera Sabun

Di salah satu cafe yang berada di kawasan perkantoran, Tania duduk sendiri asik mengetik di laptopnya. Ia menikmati suasana pagi menjelang siang di dalam ruangan dengan musik Lo-Fi yang diputar oleh pemiliknya. Tak ada orang lain di sekitarnya, hanya ada dua-tiga pengunjung yang menunggu pesannya untuk mereka bawa pergi. Kadang tangannya berhenti sejenak memikirkan lanjutan kalimat yang akan ia ketik berikutnya. Menghapus, lalu lanjut mengetik lagi. Sedang asik berimajinasi, tiba-tiba seseorang menumpahkan minuman di atas laptopnya. Refleks ia langsung membalikkan laptop untuk meminimalisir air yang masuk. Jantungnya langsung berdegup keras, bibirnya terkatup, syok menjalar keseluruh tubuh hingga tak mampu mengeluarkan suara. 


"Seru sekali ya menjadikanku terus-menerus bahan cerita." Suara berat seorang laki-laki, pelaku penyiraman itu menyadarkan Tania dari tubuhnya yang tiba-tiba kaku. Dengan cepat ia menoleh dengan perasaan ingin marah besar kepada manusia itu. Matanya menyipit tajam, menghujam mata lawan bicara. Namun itu hanya terjadi sepersekian detik. Saat menyadari sosok di samping nya itu, sorot matanya perlahan meredup dan mengarah kebawah, menunduk.


"Kenapa? mau marah? aset mu itu kan kau dapat dari menjual kisah ku." Lanjut lelaki berkaus polo itu sambil meletakkan gelas plastik kosong di meja yang berceceran Americano. Dengan tangan bergetar, Tania mengambil tisu dan masih berusaha mengelap untuk menyelamatkan laptopnya. Laptopnya masih menyala, tapi ia belum berani membalikkannya kembali, takut masih ada air. 


"Aah, sial sekali aku baru pulang ke kota ini kemarin dan langsung bertemu denganmu. Memang ada aku rasa hal yang kurang dikepala mu itu. Bisa-bisanya kamu masih fokus dengan harta haram itu!"


Sementara itu, pelayan cafe yang sedari melihat kericuhan itu berusaha mendekat dan perlahan mengeringkan meja dan membersihkan lantai perlahan. Manajer mereka sedang tidak ditempat, antara takut harus terlibat percek-cokan ini atau justru harus lebih ekstra tenaga membersihkan tumpahan kopi yang mengering.


Tania perlahan mengangkat kepalanya dan menghadap ke Sutan, seseorang dari sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas yang sama dengan Tania. "Aku tidak mengerti maksudmu, dan aku juga tidak mengenal kamu siapa." Jawab Tania tegas. Ia tidak salah, sejatinya ia tidak pernah benar-benar mengenal Sutan. Meski satu sekolah, mereka tidak pernah terlibat apapun. Selama enam tahun diantara mereka hanya mengenal wajah saja.


"Kamu..., kamu kan? kamu mengintipku dari seluruh sosial media milikku, mengintip sosial media keluarga ku juga, menyimpulkan status saudaraku yang mengeluhkan masalah keluarga dan kamu jadikan bahas cerita untuk kamu jual menjadi cerita sampah ditelevisi!" Amarah Sutan lepas dengan jelas.


Si pelayan menyela "Maaf mbak, mas, mau pindah meja atau mau keluar dulu sembari saya bersihkan mejanya?"


"Kalau saya keluar atau pindah meja repot, barang-barang saya masih disini semua." Jawab Tania.


"Kalau mau keluar dulu juga enggak apa-apa, barangnya terawasi cctv itu ya mbak." Tunjuk Pelayan laki-laki yang sangat pemberani tapi terlihat tidak tau situasi itu ke arah CCTV terdekat.


"Oke, Sutan, kita mau keluar dulu?" Tawar Tania.


Sutan menarik napas dalam-dalam, matanya melirik ke arah pelayan yang menunggu jawaban. "Iya, kita keluar dulu," jawabnya akhirnya. Tania masih membawa laptopnya terbalik dengan hati-hati, lalu mengikuti Sutan menuju pintu keluar kafe. Di luar, angin sepoi-sepoi bertiup, sedikit menenangkan suasana yang tegang.


Di trotoar, mereka berdiri berhadapan. Tania bisa melihat sorot mata Sutan yang penuh dengan kemarahan. "Aku benar-benar tidak tahu apa yang kamu bicarakan," Tania membuka percakapan, suaranya masih gemetar.


Sutan menggelengkan kepala, "Jangan bohong. Aku tahu cerita-cerita itu persis. Kamu menulisnya dengan detail yang hanya bisa diketahui oleh orang yang benar-benar stalking keluargaku."


Tania menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Dengar, aku memang seorang penulis, hal yang wajar aku mengambil inspirasi dari kehidupan pribadi orang lain. Jika ada kesamaan, itu hanya kebetulan. Lagipula, kenapa aku harus menghabiskan waktu untuk mengintip kehidupanmu, Sutan."


Mata Sutan menyipit, skeptis. "Jadi kamu bilang semua ini hanya kebetulan?"


"Jika memang ada kesamaan, aku minta maaf. Tapi aku yakin, tidak pernah menulis sesuatu yang secara spesifik mengarah pada kehidupan pribadimu."


Sutan terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Tania. Amarahnya perlahan mereda, meskipun masih ada sisa-sisa ketidakpercayaan. "Kalau begitu, kenapa cerita-ceritamu sangat mirip dengan kejadian yang pernah keluargaku alami? ibuku sampai jadi bahan tertawaan di arisannya. Semua perempuan kurang kerjaan yang menghabiskan waktunya dirumah pasti menonton drama murahan produksi PH -mu itu!"


"Sebelum aku menjawab, aku punya satu pertanyaan," Tania menatap mata Sutan dengan tegas, "Dari mana kamu tau aku bekerja untuk PH itu?"


Sutan terdiam sejenak, menatap Tania dengan kebingungan yang perlahan berubah menjadi kebingungan. "Aku... Aku melihat namamu di kredit akhir episode. Itu saja."


 "Oh begitu. Bagaimana kalau kita berbicara dengan tim produksiku? Kita bisa melihat naskah aslinya dan kamu bisa menilai sendiri."


Sutan menghela napas, dilema apakah penilaiannya sebulan terakhir memang salah. Ia Tampak mulai mempertimbangkan tawaran itu. "Baiklah, mungkin kita perlu bicara lebih lanjut, Mungkin itu bisa membantu menjernihkan semua ini." katanya akhirnya.


"Aku akan atur pertemuan dengan timku secepat mungkin." kata Tania dingin,"Dan untuk sekarang tolong kamu pergi dari sini, aku tidak mau memperpanjang penyeranganmu ini terhadapku."


Sutan mengangguk pelan. "Oke. Aku tunggu kabar darimu."


****


Beberapa hari kemudian, di kantor PH, Sutan duduk dengan gelisah di ruang rapat kedap suara. Ia dihubungi melalui nomer kantor PH Tania. Ia bertanya-tanya bagaimana mereka mendapatkan kontak dirinya. "Ah mungkin perempuan itu menemukan nomerku dari grup Alumni." gumamnya.


Tania masuk sendirian, membawa setumpuk naskah. "Sutan, ini naskah-naskah yang sudah kami produksi. Kamu bisa memeriksanya," kata Tania dengan nada ramah namun dingin.


Sutan mulai membaca naskah-naskah itu satu per satu. Semakin lama membaca, wajahnya semakin pucat. Setiap detail dalam naskah itu memang sangat mirip dengan kejadian yang menimpa keluarganya, bahkan ada beberapa yang tidak mungkin diketahui orang luar.


Tania memperhatikan reaksi Sutan dengan hati-hati. "Bagaimana? Apakah kamu melihat ada niat buruk di sini?" tanyanya, pura-pura polos.


Sutan meletakkan naskah terakhir dengan tangan gemetar. "Kamu... kamu tahu terlalu banyak. Ini tidak mungkin hanya kebetulan."


Tania tersenyum tipis, mengunci mata Sutan dengan tatapan tajam. "Kamu benar, Sutan. Ini tidak kebetulan. Aku tahu semuanya karena aku memang sejak dulu keluargamu rela melakukan apapun demi uang. Apalagi sejak pabrik rokok lokal yang dikelola turun temurun oleh keluargamu itu bangkrut. Semua cerita ini aku dapat setelah membayar adik tirimu. Untuk seseorang yang tak acuh dengan sekitarnya, kau dan keluargamu layak mendapatkan hukuman publik seperti ini."


Sutan membelalakkan mata, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Kenapa? Apa yang keluargaku pernah lakukan padamu?"

Tania mengambil napas dalam-dalam, menatap Sutan dengan mata yang penuh kebencian dan kepuasan. "Memang tidak ada hubungannya langsung denganku dan denganmu. Keluargamu merusak lingkungan dengan limbah B3 hasil pengolahan rokok. Air di kampung kita tercemar, membuat banyak perkebunan rusak. Setiap kali ada protes, keluargamu yang berkuasa selalu berdalih bahwa pabrik rokok lokal kalian membantu daerah itu dengan memperkerjakan orang-orang sana. Padahal, dulunya masyarakat hidup mandiri tanpa harus bergantung pada pabrik kalian."


Sutan menelan ludah, mencoba memproses informasi yang baru saja ia terima. "Tapi... bukankah pabrik itu memberikan pekerjaan bagi banyak orang?"


Tania mengepalkan tangannya, kemarahan terpendam selama bertahun-tahun muncul di permukaan. "Pekerjaan? Kalian merampas kehidupan kami! Dulu, kami hidup dari pertanian yang subur. Setelah pabrik kalian mencemari air, lahan rusak, panen gagal, dan banyak yang terpaksa bekerja di pabrik karena tidak ada pilihan lain. Itu bukan bantuan, Sutan, itu penjajahan modern."


Sutan terdiam, tatapan matanya penuh penyesalan. "Aku tidak tahu... Aku tidak pernah sadar tentang semua ini."


"Karena kamu tidak peduli," potong Tania tajam. "Kamu hidup dalam kemewahan tanpa peduli pada penderitaan orang lain. Aku sengaja menjatuhkan mental keluargamu agar pabrik itu bangkrut dan segera tutup. Aku ingin melakukannya dalam diam, tapi sialnya kau tiba-tiba mengenal namaku."


Sutan duduk kembali, lemas. "Lalu apa yang harus aku lakukan? Ibuku malu keluar rumah karena kamu membuat cerita perceraian ibu dan ayahku karena masalah ranjang. Ayahku pergi, ibuku menikah lagi dengan seorang lelaki muda pembual yang pernah menikahi seorang janda yang sudah memiliki anak usia remaja. Dan kini setelah ibu kandungnya mati, dia justru menjual cerita kepada kalian untuk membeli sabu. Apa kau pikir tindakanmu itu sungguh heroik?!"Cecar Sutan tak beraturan. Sebenanrya masih banyak sekali aib keluarganya yang ditulis mentah-mentah menjadi bahan cerita. Ia bingung dengan semua hal yang bukan berasal dari kesalahannya tapi sekarang hidupnya jadi hancur. Ia harus resign dari pekerjaannya di ibukota dan pulang mengurus ibunya. Saudara ibunya yang ikut mengurus pabrik warisan kakek mereka semua lepas tangan karena malu dengan saudaranya sendiri. Pabrik itu memang perlahan terbengkalai, hanya memproduksi seadanya setahun terakhir ini sejak sinetron-sinetron itu muncul.


"Aku akan terus berjuang, sampai pabrikmu itu tutup" jawab Tania tegas. "Melalui tulisan, melalui media picisan. Aku akan membuka mata semua orang tentang azab apa yang bisa terjadi atas ketidakpedulian itu. Meski azab itu tidak ada, maka aku yang mebuat kalian merasakannya."


"Kamu...kamu buka Tuhan, Tania." jawab Sutan menanggapi. "Aku... aku tidak tahu harus berkata apa. dan aku juga tidak punya kuasa untuk memperbaiki ini."


Tania menatap Sutan dengan skeptis. "Aku sudah tau. Karenanya aku tidak pernah menyentuhmu langsung. Sialnya kau melihat dan mengenal namaku. Padahal aku hanya ingin menghancurkan semuanya dalam diam. Sekarang kamu mau apa? menuntut kami?" Tantang Tania.


"Tidak. Aku tidak gegabah memulai perkara baru yang akan menghabiskan banyak uang. Saat ini keluargaku sudah hancur seperti tujuanmu. Luar biasa kamu merencanakan semua ini. Pantas saja kamu mengelak saat di cafe kemarin. Kalau disini aku tidak bisa menyerangmu sembarangan."


"Kau kira aku sekolah hanya untuk mengejar gelar? hanya sekedar bekerja? Tidak Sutan, kelakuan yang kau lihat licik ini adalah hasil pola pikir seorang sarjana komunikasi."Tania menjawab dengan pongah.


Sutan sudah tak punya jawaban apapun untuk menanggapi. Dengan tertunduk ia menatap mata Tania yang menatapnya percaya diri. Berbeda sekali dengan sorot mata saat ia menyerang Tania di Cafe pekan lalu. Tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun, Sutan meninggalkan ruangan dan pergi dari sana. Entah apa yang akan ia lakukan pada keluarganya yang sudah hancur. Kemarahannya sama Tania murni karena ia terkejut mengetahui ada seseorang yang ia kenal terlibat dalam karya itu. Ia tidak menyangka ada hal seperti ini. Tania benar, ini bukan dendam antara Tania dan dirinya.


Tania menutup naskah yang tadi ia tunjukkan pada Sutan. Meski kemarin ia terkejut saat Sutan menyerangnya. Kini ia tersenyum puas. "Hmm, cari bahan baru ah." Gumamnya. Sambil berjalan kembali ke ruang kerjanya. Laptop tersiram kopi kemarin bertengger di mejanya dan masih bisa ia gunakan. Benda itu akan menjadi saksi bisu bagaimana media bisa berpengaruh dengan baik dan jahat.

366 Hari Bersajak - 136. Siklus

Kadang kita Naik - Turun
Bukan soal hidup, itu nyatanya
Kadang naik tangga lalu turun dengan lift
sudah sulit menggapai atas, mulus sekali turun kembali

Kadang kita harus memilih Kanan - Kiri
Bukan soal hidup, itu nyatanya
Akan ketemu dijalan utama yang sama
Hanya resikonya saja yang berbeda

Kadang kita akan merasakan Ramai - Sepi
Bukan soal hidup, itu nyatanya
Siang hari, terdengar ramai sekali dari segala sisi
Malam hari, terdengar jangkrik memecah sepi

Kadang kita akan mencicipi Manis - Pahit
Bukan soal hidup, itu nyatanya
Pisang masak rasanya manis sekali
Tapi yang mentah, getir, kecut

Dan semua bisa terjadi Cepat - Lambat
Ini soal hidup, itu nyatanya
kita khawatir dengan hal-hal yang sudah berpasangan
kita khawatir saat di sisi terburuk

Mengelola hati,
Mengelola emosi,
untuk sampai ke sisi lainnya
memang bukan hal yang mudah

Makanya, kita selamanya butuh sandaran
Makanya, kita selamanya butuh tuntunan
Makanya, kita selamanya butuh, Tuhan

366 Hari Bersajak - 135. Lihat Kanan-Kiri Sebelum Menyebrang

Coba lihat pohon itu. yang di ujung sana
betul daunnya rindang, ujar si tinggi
betul batangnya besar, kata perempuan yang sedang duduk
betul akarnya besar sekali, dia sambil tiduran berucap

Coba lihat pohon itu, yang di ujung sana
iya, yang daunnya melebar itu kan?
iya, yang batangnya berurat besar kan?
iya, yang akarnya muncul anakan pohon kan?

Coba lihat pohon itu, yang di ujung sana
bukan yang itu ya? maksudmu yang daunnya meruncing?
bukan yang itu ya? maksudmu yang batangnya coklat terang?
bukan yang itu ya? maksudmu yang permukaan tanahnya bersih?

Coba lihat, ada seekor burung elang sedang memantau mangsa di pucuknya
Astaga, katakan lah dari tadi. Kenapa harus memberi petunjuk tanpa arah
Astaga, jelaskan saja objek yang harus dilihat
Astaga, aku dari tadi melihat ke bawah!

366 Hari Bersajak - 134. Pikiranku

Aku tidak menyukai sesuatu yang bersambung,
cerita berseri, novel berjilid, cerita menggantung,
Aku tidak menyukai ketidakpastian dalam akhir cerita
drama berjilid, film bernomor, akhir tak terduga

Itulah seni dalam menyusun cerita
menarik perhatian pemirsa
membuat kita penasaran
dengan emosi dipermainkan

Itulah seni dalam berkarya
penonton terbawa dalam suasana
kepikiran sampai dunia nyata
kalau ada tokoh jahat ingin tonjok langsung rasanya

Itu cerita, terbatas dalam lembaran kertas
berhenti dalam dimensi yang berbeda
mudah sekali untuk menarik batas
berhenti lihat dan kembali ke kehidupan nyata

Lalu layar kacaku memunculkan segmen perang
Durasinya berhari-hari, berbulan-bulan
Tokohnya berganti-ganti, menjadi korban
Yang pergi tak bisa kembali pulang

Lalu media bacaku menarasikan tak habis-habis
setiap hari ada alinea baru yang membuat hari teriris
mempengaruhi ku didunia nyata secara psikis
diam sejenak saja dan mengingat, mataku menangis

Itu adalah cerita yang sudah ada bocorannya 1500 tahun silam
itu adalah skenario terencana dengan melibatkan seluruh umat manusia
seharusnya begitu, semua punya peran didalam
kalau tidak, kamu akan terombang-ambing tanpa kuasa

Aku tidak menyukai sesuatu yang bersambung
meski sudah tau akhir ceritanya
meski sudah tau harus berbuat apa
masih ada yang berhenti dalam pertengahn dimensi sambil memangis bingung

366 Hari Bersajak - 133. Juri

Dalam perlombaan, dalam kompetisi
sebelum kita mengikutinya secara sadar
ada hal yang biasanya kita lihat dahulu
siapa yang akan jadi penilainya

Dalam perlombaan, dalam kompetisi
dari penilainya, kita melihat referensinya
agar kita bisa membaca kriteria
untuk masuk dalam perhatian dan jadi pemenangnya

dalam perlombaan, dalam kompetisi
kita tau peraturannya, kita tidak tau penilainya
tapi tetap kita berani ikuti
karena membaca hadiahnya begitu besar.

366 Hari Bersajak - 132. Daur

Suara hujan terdengar deras menderu

di dalam istanaku, aku mengintip dari jendela

seseorang memegang payung rusak

tak mampu melindunginya dari basah

tapi ia terus berjalan, perlahan hilang dari pandangan


udara bergerak semakin kuat

tekanan suhu membuatnya semakin liar

seseorang memeluk dirinya sendiri erat

badan ringkih itu seolah tak mampu menahan

ia tetap berjalan perlahan, hilang dari pandangan


Terlihat penuh kesulitan dan kegetiran,

namun mataku melihat esensi kehidupan

entitas itu melebur dalam hujan

ia bebas membaur dalam kompetisi bertujuan


sementara putri kecil di istananya yang megah

aku tak perlu risau dengan hujan badai tak terarah

sejatinya aku tak kemana-mana

terpenjara dalam tembok dan atap yang indah


sekarang, siapa pemenangnya?

366 Hari Bersajak - 131. Tidak ada Imajinasi

dengan riang gembira aku katakan

kita akan pergi ke benua bernama eropa,

ia bertanya, benua itu apa?


dengan riang gembira aku beritahu

nanti kubawakan oleh-oleh dari Kathmandu

ia bertanya, toko apa itu?


dengan riang gembira ku beri kabar

kau bisa jadi dokter saat sudah besar,

ia menjawab lirih, tidak mungkin, kemarin temanku saja tak sempat menjadi besar... perut dan matanya kulihat keluar


366 Hari Bersajak - 130. Batu

Hari ini hujan tidak lagi mengagetkan di bulan Juni

Karena kebohongan di bulan April sudah berulang

Mei menjadi mediator rasa sakit yang sempurna


Cuaca tak memperhitungkan perasaan

Kekejaman hanya memetingkan tujuan

Disini yang mengerti hanya mampu terdiam


Perubahan apapun yang terjadi

Tak membuat banyak bergeming isi hati

mungkin sudah lama berubah jadi batu, tak tahu


Ternyata benar, tidak mudah sudah menjadi terlahir.

dengan wujud yang belum terlahir sudah berakhir.


.

.

.

Maaf, Rafah.


366 Hari Bersajak - 129. Besar Kecil

Dulu menjadi semut kecil
mampu menghancurkan yang besar hingga berkeping-keping

Kini menjadi paus penguasa lautan
hanya mampu memakan hal-hal yang kecil

366 Hari Bersajak - 128. Ramalan-Nya

Sulit rasanya harus menahan isak tangis

Sulit rasanya raga tak bergetar setiap mendengar kabar

Hari ini, Rafah luluh lantah


Hari ini,


             kenapa pasrah...


Jumlah pembela banyak

tapi seperti buih dipermukaan


diriakkan, muncul terang-terangan

lalu hilang dibawa angin, lalu hilang digulung ombak

diriakkan, muncul kembali semakin banyak,

lalu... apa?


Buih itu tak ada pertahanannya. Ia hanya bentuk dari tegangan permukaan


Dulu, kita bingung kenapa begitu sulit membedakan air dan api

Kini, untuk melihat saudara kita, masih harus menggunakan produk y*hudi


Sulit.

Pahit.

Sakit.


Apa... Tuhan... hamba takut... tak bisa menjadi bagian dari perlawanan... hamba takut... hanya menjadi buih lautan....


Apa yang harusnya kita lakukan...


366 Hari Bersajak - 127. Putar Balik

Dulu miskin ilmu, tapi pengamalannya penuh

setitik saja terlihat penjelmaannya

terasah dan bercahaya


Kini ilmunya banyak, tapi layas mencari pembenaran

hati terperangkap, dalam labirin berputar-putar

Dalam pertanyaan, mencari jawaban



366 Hari Bersajak - 123. Guna Guna Guna

Apa gunanya sekolah, jika tak menjamin hidupmu mudah

Apa gunanya belajar, jika tak menjamin kita menjadi kaya raya

Apa gunanya pendidikan, jika hanya untuk memajang ijazah

Apa gunanya nalar, jika tetap memakai jejaring keluarga


Guna, dari berguna

guna-guna, kelenik punya bahasa

jadi manusia harus berguna

terjebak dalam guna-guna


Ya itu, gunanya.


jangan seperti guru yang berguna tapi harus masuk dalam guna-guna.

366 Hari Bersajak - 122. Aneh betul piramida ini

didalam hutan, semua punya peran
penyubur, perusak, penanam, penumbang
tanpa dominansi
semua menjadi berimbang

tikus beranak banyak, karena ia kecil
jika gajah beranak banyak, bayangkan
tikus beranak banyak, karena ia mangsa
jika harimau beranak banyak, bayangkan

ada yang bergerak disiang hari
ada yang bergerak dimalam hari
jika mereka beradu waktu
betapa riuhnya hutan kala itu

manusia bukan hewan dan tak tinggal di hutan
manusia berbeda, hebat punya akal
manusia memiliki peraturan elegan
manusia tak pakai hukum rimba brutal

nyatanya dihutan tak ada penduduk kelaparan
karena pangannya dikuasai spesies lainnya
nyatanya dihutan tak ada penduduk tanpa rumah
karena lahannya dikuasai spesies lainnya

didalam hutan, semua punya peran
penyubur, perusak, penanam, penumbang
tanpa dominansi
semua menjadi berimbang

Tags