Hukuman untukmu yang mulai dewasa (Cerpen)

Sebuah notifikasi muncul di ponsel pintarku, menambah daftar notifikasi lain yang belum sempat kubuka. Notifikasi baru itu menunjukkan bahwa salah seorang temanku menyebut akunku dalam story Instagram-nya. Aku pun membukanya, penasaran. Isinya? Meme. Dengan takarir: "Menurut penelitian, masa remaja sekarang berlangsung sampai usia 34 tahun." Tanpa sumber. Tanpa konteks. Cuma ketawa-ketawa aja. Tapi entah kenapa, aku ikut ngakak. Aku hanya merespons "LOL" sambil membagikannya kepada teman-teman sebaya lainnya. Entah itu hoaks atau bukan, yang penting kami bisa menertawakan nasib early Gen Z yang sering kebingungan menghadapi dunia orang dewasa

Belum sempat aku membuka notifikasi lainnya, telepon masuk. Panggilan. Kia.

"Halo, Jelly..."

"Halo, iya, Kiaa."

“Kita jadi nongkrong bahas open jastip festival bulan depan, nggak?”

“Jadi. Aldo udah ngehubungin gue dua hari lalu. Gue nunggu kejelasan waktu dia juga.”

“Lah, katanya waktu lo yang belum jelas?”

"Lah... asal weekend gue kosong, kok. Tapi kalo dadakan ya bye. Sabtu ini gue ada janji di Bogor."

"Mau ke Bogor? Jam berapa? Kita ketemuan di sana aja deh, lebih deket dari rumah gue."

“Pagi sih. Cuma kumpul komunitas buku. Piknik-piknik gitu. Abis itu nganggur.”

“Oke, nanti gue atur. Gue bilang ke Aldo ya, kita ketemu abis kegiatan lo.”

“Sip.”

"See you on Saturday, Jelly!" Kia menutup telepon.

Belum juga napas balik, masuk DM dari Aldo.

"Je, hari Sabtu ke Bogor naik apa?"

"Dih perhatian banget. Naik kereta lah. Gak kuat gue motoran antar kota."

"Gue jemput ya. Bareng ke sana."

"Lu mau ikut acara komunitas gue? Pagi loh?"

"Iya, sekalian. Tapi gue bawa motor. Atau lo maunya gue bawa mobil?"

Hmmm… asas manfaat mulai berkicau di kepala. Gue emang nggak ada barengan ke Bogor. Naik kereta sendirian males. Tapi… motor? Aduh. Kalau sama adek atau abang sih enak, nyaman, bisa selonjor, bisa bantal. Ini? Temen cowok? Motor? Gimana ya?

“Sabtu pagi gue kabarin lagi ya, Do.”

“Oke.”

---
Sabtu pagi.

Gue masih belum ngabarin Aldo. Pikirku, paling dia bangun siang. Bisa jadi alasan nggak jadi dijemput. Ternyata, jam 07.30 tepat, dia ngechat:

“Kirim alamat rumah lo. Cepet.”

“Iya iya, bentar.”

“Gue sampai, lo udah harus siap. Gue nggak mau nunggu.”

“Iya.”

Sambil buru-buru dandan, Kang Huda chat.

“Jadi pergi ke Bogor? Sama siapa jadinya?”

“Sama temen, Kang.”

“Naik mobil, kan?”

Kang Huda ini kenalan dari Instagram. Belum pernah ketemu. Tapi gaya nanyanya kayak kepala biro perjalanan.

Belum sempat bales, Aldo sampai.

Naik motor sport.

Motor. Sport.

Gue diam. Bukan karena terharu. Tapi… ya ampun, mas, segitunya?

Karena udah mepet, dan gue terlalu mager buat drama pagi-pagi, ya udah. Naik aja. Salah gue juga sih, nggak tegas dari awal.

---

Di jalan...

“Je, udah sarapan?”

“Udah.”

“Duh, gue belum. Kita berhenti dulu ya, lemes banget gue.”

“Waduh ya harus. Jauh ini. Nyawa gue literally di elu hari ini.”

Kami berhenti di warung sarapan sederhana. Aldo makan nasi uduk pesananannya dengan santai. Aku menyeruput teh manis dan nahan pengen nanya: “Lu nggak punya motor bebek, ya?”

“Do, cewek lo tau lo bawa gue?” Cetus gue.

“Udah nggak ada cewek. Padahal udah sempet ke wedding expo, lho. Akhirnya bubar jalan juga. Hahaha.”

“Ooh. Pantes. Gila aja kalo masih ada cewe lo dan dia tau lo jemput gue.”

“Kalau lo punya cowok, emangnya lo bakal larang cowok lo bawa cewek lain?”

“Ya gila aja. Pasti gue larang lah. Mau naik mobil kek, searah kek, tetep nggak izinin. Ada Gojek, ada angkot. Nyari cara sendiri dong, Bang.”

Aldo ketawa, tapi entah kenapa gue merasa dia kayak nyimpen sesuatu.

---

Sampai di lokasi acara komunitas.

Gue turun dari motor dengan kaki gemetaran. Udah duduk tinggi, nggak bisa sandaran pula. Gue sepanjang jalan nahan badan supaya nggak nempel ke punggungnya. Gengsi, cuy. Plus... agak awkward juga. Kita cuma kenalan, bukan teman dekat. Bukan gebetan juga.

Gue udah bisa nebak banyak mata ngelirik. Males jelasinnya. Untung Aldo ngerti diri dan bilang, “Gue tunggu di luar aja ya.”

Kang Huda kirim pesan lagi:

“Udah sampai?”

“Udah, Kang.”

“Lewat tol?”

“Enggak, Kang.”

Gue malas menjelaskan. Kayak, ya udahlah ya. Kenapa juga harus laporan sedetail itu?

---

Acara selesai, kami ketemuan sama Kia di kafe dekat situ.

“Lah, jadi lu jemput Jelly dari rumahnya?” Kia langsung nembak.

“Iya.”

“Aman?”

“Aman lah,” jawab Aldo.

Aku nyengir. Dalam hati nyumpahin punggung sendiri yang mulai ngilu.

Kami lanjut ngobrol soal bisnis. Festival musik banyak banget bulan depan. Potensi jastip terbuka lebar.

Setelah itu, aku dan Aldo balik ke Jakarta. Perjalanan pulang lebih tenang sambil kita ngobrol santai. Tapi gue mulai merasa ada yang aneh. Aldo beberapa kali noleh ke belakang.

Aku mikir: motor dia nggak ada spion, ya? Atau ada tapi gaya doang?
Atau jangan-jangan... dia cek traffic? Tapi kok sering banget?

Gue nggak tanya. Capek. Pinggang gue udah mulai nyeri dari tengah jalan. Tapi tahan-tahan aja. Gengsi, lagi-lagi. Lagian... siapa suruh gue sok kuat?

---

Sampai rumah, Kang Huda kirim pesan lagi.

“Sudah sampai rumah?”

“Iya, sudahaaah.”

“Dianter sampai rumah? Bertiga aja?”

Oh. Dia lihat story Kia. Ada foto bertiga. Yang gue repost tanpa mikir.

“Iya.”

Lagi-lagi, malas jelasin. Kadang, aku heran sama diriku sendiri. Kenapa masih ngeladenin orang yang bahkan belum pernah ketemu? Mungkin karena kesepian? Atau karena aku masih nyari sesuatu yang belum jelas bentuknya?

---

Esok paginya, gue bangun dengan pinggang sakit parah.
Selama ini gue pikir naik motor jauh itu biasa aja. Tapi ternyata... kalau lo duduk setinggi itu, nggak bersandar, dan nahan badan selama satu setengah jam?
Ya ampun. Punggung bisa misuh.

Dua hari gue nggak bisa kerja maksimal. Tiap gerak kayak nenek-nenek.

Mungkin ini... bukan cuma soal motor. Tapi soal semua yang gue tahan.

Perasaan, kejelasan, bahkan gengsi.

Tubuh gue mungkin udah jujur lebih dulu:

“Lo capek, Jel. Capek pura-pura.”

Sinyal-Sinyal Putus (Cerpen)

"...hahaha, iya, iya, pokoknya aku tunggu kamu sampai di Tanjung Pinang baru kita rencanakan jalan-jalan kita yaaa!"


Nurra menjepit telepon di antara telinga dan bahu sambil merapikan berkas-berkas liputannya yang berserakan di meja kayu kosnya. Telinganya mulai terasa panas, percakapan dengan Pika sudah berlangsung satu jam lebih, setelah beberapa kali putus-nyambung memalui jaringan internet dan akhirnya menyerah dengan telepon melalui jaringan seluler biasa demi bisa cerita panjang lebar dengan sahabatnya ini. Dari luar, suara debur ombak memenuhi kamar kecil yang sudah dihuninya selama satu tahun ini. Di dinding, peta lokasi live-in-nya penuh stabillo warna-warni, menandai wilayah dan topik yang sudah ia jajal untuk artikel jurnalistik mendalamnya.


"Iyaaa, pokoknya siapkan tempat untukku sampai 2 minggu disana ya. Aku bener-bener butuh liburan banget kali ini. Lagi burn out." keluh Pika dari seberang telepon, suaranya setengah tertawa setengah sendu.


"Setahun juga boleh, nemenin aku liputan disini. Tiap hari nanti kita makan otak-otak buatan Mak Ngah yang punya kosan aku," Nurra menghibur sambil memandang gantungan kunci dengan lambang pengeras suara, milik angkatan mereka, jurusan komunikasi.


"Boleh juga, buat nambah otakku lagi kalau beneran udah ke-burn semua ya. Eh, Btw… ada yang mau aku tanya, deh." Pika tiba-tiba mematahkan obrolan mereka.


"Apa tuu?" Sahut Nurra langsung.


"Eh, tapi nggak jadi ah. Nunggu aku sampai Tanjung Pinang aja," sahut Pika, suaranya tiba-tiba kecil.


"Kebiasaan deh, nggak mauuu! Sekarang aja, dong. Nunggu minggu depan kamu sampai pasti udah lupa," omel Nurra sambil mengibas sarang laba-laba yang terlihat menempel di ambang pintu.


"Ntar ajaaa, pas aku sampai. Nggak penting juga kok ini."


"Karena nggak penting, malah bikin penasaran. Jangan sampe aku kebawa mimpi!"


Pika menarik napas. "Iyaa, udah. Tapi ini cuma nanya ya... Kamu nggak pernah kepikiran jadian sama Fauzan?"


"....Fauzan? Tiba-tiba?"


Nurra menatap laut lepas melalui jendela kosnya. Angin malam mulai berhembus, membawa bau pantai yang terlihat dari lantai tiga kos an nya.


"Aku nggak tau apa kamu sadar atau enggak, Nurra. Kalian kan deket banget ini. Nggak pernah ada pembicaraan ke situ?" Lanjut Pika membuka bahasan baru.


"Nggak ada sih..." Dia menggaruk lengan yang digigit nyamuk. "Hampir nggak pernah kami nyentuh obrolan urusan asmara."


"Wah, padahal kalian sering banget main bareng kan." Pika mencoba mengulik perlahan, penasaran apakah Nurra memang enggak sadar atau pura-pura enggak mau tau.


"Hmm... pernah sih, sekali ada obrolan kearah sana. Sekitar tahun lalu itu Fauzan, Dito, sama Kak Rahmat tiba-tiba video call grup,


        "Tomboi kayak kamu pernah jatuh cinta nggak sih?" tanya Dito suatu malam dalam video call grup. "Pernah. Sekali. Lalu patah hati. Cukup," jawab Nurra sambil terkekeh pelan diakhir karena enggak pernah-pernahnya para bro nya membahas hal seperti ini. "Sekarang aku cuma mau sama orang yang jelas-jelas suka sama aku. Udah lelah one-sided love." 


setelah itu kami mengalihkan pembicaraan ke rencana diving di Bintan sekalian buat eksplor, itu awal-awal aku ditugaskan di sini." jawab Nurra.


"Kamu baik, Fauzan juga baik. Aku ngebayangin kalian bagus aja kalau bareng. Apa nggak pernah kepikiran?"


'Teeng!' dari luar terdengar suara tiang dipukul sekali. Menandakan sudah pukul satu malam. Mengingatkannya pada masa-masa mereka liputan malam hari untuk tugas kuliah.


Nurra menghela napas. Fauzan. Teman satu jurusan yang selalu jadi partner outdoornya, yang sekarang entah lagi liputan menantang dimana. Mereka memang terlalu serupa—sama-sama nekat, sama-sama menjadikan adrenalin sebagai bahan bakar hidup.


"Kita cuma teman kampus, Pik.  keetulan cocok juga jadi teman main, teman liputan, teman…"


"Teman yang ngasih kamu hadiah-hadiah gear sesuai kebutuhan kamu?"


Nurra memandang pisau lipat pemberian Fauzan yang tergantung di tas ranselnya, salah satu hadiah saat ia mendapatkan tugas liputan in-depth pertamanya.


"Kita sama-sama tahu Fauzan bukan tipe yang clingy. Kalau ada perasaan, pasti udah lama dia ngomong."


"Atau… dia nunggu kamu yang ngomong?" Pika menghela napas. "Ya udah, aku cuma nanya kemungkinan nya aja sih, kalau kamu nggak mau ambil pusing…"


Layar telepon berkedip—notifikasi chat masuk.


Fauzan: "Ra jangan lupa besok jam 9 di Cafe Pelabuhan. Yulia dan Tika udah aku oke buat gabung. Sekilas juga udah aku jelasin soal volunteering bersih pantai."


Dia menatap pesan itu, lalu foto profil Fauzan yang masih memakai helm peliputan. Tiba-tiba, bayangan mereka berdua rappelling di tebing Nusa Penida muncul lagi. "Memang sih…sejauh ini kita selalu bareng karena kebetulan hobi dan kerjaan kita sama," gumamnya.


Tapi Nurra cepat mengusik pikiran itu. Selain video call grup itu, mereka juga pernah meluruskan masalah ini bahwa hadiah-hadiah personal itu memang menyesuaikan saja. Hadiah seperti itu tak hanya diterima oleh Nurra. Soal kedekatan mereka berdua, sepakat karena minat yang sama saja.

Sikapnya tetap biasa sejak itu, masih mengajaknya diving, masih mengkritik tulisan-tulisannya dengan pedas, masih jadi orang pertama yang telepon saat kala Nurra butuh bantuan.


"Ya, pasti aku jadi kepikiran sih karena kamu bahas, Pik. Bohong banget kalau enggak," ujar Nurra jujur.


"Aduh, maaf yaaa. Ya udah, ini udah malem banget, ntar kita lanjut cerita-cerita langsung aja pas aku udah di sana, yaa."


"Iyaaa, see you soon, dear!"


"See yaa, Nurra! Luv u!"


Pika mematikan telepon.


Nurra mengusap telinganya yang terasa panas, lalu mengecas ponselnya yang sudah low battery. Setelah itu, ia menghempaskan tubuhnya ke kasur dan menatap langit-langit.


Di luar, ombak terus menerpa karang. Seperti pertanyaan Pika tadi yang masih mengganjal, kalau ia dan Fauzan memang cocok di mata orang lain, haruskah ia mencoba? Tapi… dari mana mulainya?


Tapi kayaknya enggak deh. Ia tak siap kembali patah hati.

Tribute to Gusti Irwan Wibowo

Rasanya begitu sesak setiap kehilangan hal-hal favorit. 

Kenapa tidak sampah-sampah saja yang menghilang. 

Justru bintang-bintang cantik cepat sekali perginya.

15 Juni 2025

-

Tatkala membentang tangan diantara angin sepoi-sepoi

Sekelebat saja menelusup  udara sedikit berbeda, geli, nyaman,

Dia adalah jenre endikup (enak di kuping)


-

Kuiyakan sambil menggeleng

Tidak dengan mengangguk

Kamu resmi masuk

dalam dunia Bekasi.


-

Naik-naik ke puncak gunung

Tinggi-tinggi, Abadi.


-

Ternyata ia bukan saudaranya Chava,

Ia meniru jalan Nike Ardila.


-

Semua berdoa baik kepada Gusti.


-

Tak ada yang memberitahuku bahwa badan besar memiliki hati yang besar, tawa yang besar, jenaka berkelakar.


-

Sudah ya? Terimakasih telah menjadi baik.

Batas (Cerpen)

"Drrtt... drttt..."


Salma melirik dan mencari arah suara getaran. Ah, ponselnya berbunyi, menampilkan nama "Grity SMA". Meski matanya kembali berfokus pada drama serial yang sedang ia tonton, jemarinya bergegas mengangkat panggilan itu tanpa tendensi apa-apa.


"Halooo, Gritteee~" sapa Salma ramah.


"Iya, halo. Um, Salma lagi di mana?"


"Lagi di rumah. Kenapa? Kamu lagi di sini, ya?"


"Enggak. Ini aku mau minta tolong, pinjam 10 juta..."


Salma langsung mem-pause tontonannya dan berfokus pada panggilan telepon sembari menjawab, "Aduh, Teee... bukannya enggak mau, tapi aku enggak ada."


"Enggak ada banget, ya? Aku lagi butuh banget..."


"Iya, enggak ada, Te. Kemarin ada yang mau minjem 3 juta juga, aku cuma bisa minjemin 500 ribu..."


"Tapi aku butuhnya 10 juta, Salma..."


"Beneran enggak ada. Aku lagi kosong, setahun ini lagi nganggur... udah coba pinjam ke yang lain?"


"Sudah... aku udah coba ke Hans, Aldi, Gina..."


"Dela udah?"


"Aku enggak yakin sih..."


"Tapi kayaknya dia punya tabungan cukup, ya..."


"Ya udah, makasih ya, Salma. Aku coba ke yang lain."


"Iya, Tee. Semoga segera dapat, ya..."


Tuut. Sambungan telepon diputus.


Salma tertegun, merasa bersalah karena tak bisa membantu Grity. Ia sadar bahwa dirinya tak pernah menyiapkan uang dingin, tak punya simpanan, dan hanya bergantung pada bisnis keluarga selama setahun ini.


Ia benar-benar merasa bersalah. Di media sosial, ia selalu menunjukkan dirinya baik-baik saja—bisa nonton, jalan-jalan, main, bisnis keluarga lancar. Namun, kini ia menyadari bahwa tak punya tabungan sendiri membuatnya berpikir ulang. Merenung.


Salma memang tak pernah meminjam uang teman-temannya, kecuali sekadar "pakai dulu" saat makan bersama, titip barang lucu, atau jajanan. Pernah juga ia meminjam uang untuk bayar kuliah, tapi itu karena ia tahu bulan depan proyeknya cair dengan nominal dua kali lipat. Persoalan ini muncul karena ia tak punya simpanan, meski sudah mewanti-wanti beberapa bulan sebelumnya bahwa ia akan butuh uang.


Soal pinjam-meminjam, baginya, ada hal yang harus dikuatkan: mental bahwa uang itu mungkin tak akan kembali. Setelahnya, ia menarik garis—tak mau lagi berurusan dengan orang itu dalam urusan uang dan bisnis. Salma paham betul segala risikonya.


Tapi kali ini, ia merasa sangat bersalah karena benar-benar tak punya uang untuk dipinjamkan. Grity, selama 10 tahun lebih mereka berteman, tak pernah punya masalah finansial. Ini pertama kalinya. Suara Grity yang terdengar putus asa barusan mengisi kepalanya. Salma membuka media sosialnya, melihat foto-foto mereka waktu SMA—Grity yang dermawan, yang menyambutnya saat ia sampai di kota baru, tempat Grity bekerja.


"Harusnya aku bisa bantu," gumamnya, menatap layar laptop yang masih memajang drama favoritnya. Tapi episode kali ini tak lagi menarik. Jarinya mengetik pelan di kalkulator: 500 ribu x 20 bulan. Angka itu cukup untuk jadi dana darurat.


Esok pagi, Salma membuka aplikasi bank dan memindahkan sebagian uang jajannya ke rekening baru dan mengganti nama icon dengan nama "Jangan Sentuh". Ia tak tahu kapan Grity akan membutuhkannya lagi, atau kapan ia sendiri akan terjepit. Tapi setidaknya, kali ini ia tak ingin hanya bisa menggeleng.


"Drrtt... drttt..."


Ponselnya bergetar. Notifikasi dari Grity:

"Sal, aku ada di kota ini weekend ini. Ketemuan yuk, makan siang."


Salma tersenyum, membalas cepat:

"Boleh bangeeet. Aku yang traktir yaaa."


Ia mematikan laptop, lalu menyimpan kalkulatornya di laci. Masih ada sisa uang untuk ditabung hari ini.

Tamak

Duhai kasihku,

Jika benar kau mencintaiku, apa bentuk cinta yang kau tawarkan?

Jaminan udara dari air purifier itu?

Air bersih dari filter batu alam tiruan?

Atau nuansa hijau di taman privat?


Duhai kasihku,

jika benar seperti itu,

aku jadi takut padamu,

bentuk manusia yang mencoba bersaing dengan Ia Yang Maha Kuasa


Duhai kasihku,

sebelum hadirmu, sebelum ku pinta pula pada Nya

Pohon-pohon sudah memberikan udara terbaik kelas satu

Sebelum hadirmu, batu sungai sudah memurnikan air terbaik untuk minum dan mandiku

Sebelum hadirmu, rancangan gunung, hutan, air terjun sudah tersaji di depan mata untuk siapapun bisa melihat


Duhai kasihku,

jika benar kau mencintaiku

berilah aku cinta yang tulus, bukan sajian palsu yang kau tiru terus menerus


Duhai kasihku,

Jika benar kau mencintaiku

setidaknya kau memahami bahwa aku takkan mampu menelan dunia


Duhai kasihku

Jika kau mencintaiku

dan sungguh-sungguh mencintaiku,

seharusnya kau akan mencintai seluruh keturunan kita, kelak.


#SaveRajaAmpat

Mimpi Seperti Itu Lagi (Cerpen)

 Aku membuka mata dengan perasaan sesak di dada. Terbangun dan duduk di tempat tidur. Tak lama, air mataku mengalir dengan sendirinya. Baru saja aku bermimpi sesuatuyang tak terjadi, namun perasaan nyata itu membuatku semakin sakit.


Bahkan aku bisa menceritakan mimpi itu lagi. Aku diantar oleh Ayah untuk pergi ke suatu cafe. Nyaris larut malam. Hari hujan. Saat aku sampai, salah seorang temanku sudah mau pulang dan Ayah menawarkan untuk menngantarnya sampai simpang terdekat. Aku tau kenapa temanku ini ada di dalam mimpiku. Karena aku punya pekerjaan dengannya yang belum selesai.


Aku masuk kedalam cafe itu. Memesan beberapa menu terlebih dahulu. Dari kejauhan, teman-teman sudah melihat keberadaanku. Kau, melambai ke arahku. Cukup lama aku berbicara dengan pelayan kasir, lalu setelah menyelesaikan transaksi, aku pun berjalan ke meja lesehan di pojok itu. Di meja ada kau, teman kita dan pasangannya, dan satu teman lagi. Berlima dneganku, kita duduk di meja itu. Obrolan seperti biasa terasa akrab, sampai akhirnya kepada pembicaraan sensitif yang bahkan kia berdua juga menjaganya agar tidak pernah permbicaraan itu terjadi dianatara kita. Aku terkejut. Karena aku tau betul, di dunia nyata takkan mungkin kamu melakukan hal ini, terutama di depan teman-teman kita. Masalahnya, kamu tiba-tiba berpindah duduk disebelahku. Aku yang sulit kontak mata dengan lawan bicara, kali ini aku menatap matamu. Sial, tatapan itu terasa begitu dalam. Aku dapat melihat warna coklat tua, gradiasi antara pupil dan sklera di balik kornea matamu. Menatap lekat setiap detail bulu mata, raut alis yang menujukkan ekspresi menekan ku untuk segera menjawab pernyataanmu. Dan di detik ketidaknyamanan itu aku kabur dengan terbangun di dunia nyata.


Pukul dua pagi. Secara sadar aku mengilhami ini bagian dari kasih sayang Allah, di tengah malam, sebaiknya aku segera bermunajat dan meminat ampun.


Aku kembali melanjutkan tidur dan mimpi itu berlanjut dengan memori samar. Kembali aku terbangun dengan perasaan sesak yang sama.


Ini salahku membangun diorama kisah itu didalam ruang memori. Dengan mudah aku terhanyut hanya dengan satu-dua kata dari sudut pandang orang lain dalam melihat kedekatan kami. Padahal sejak lama pembicaraan ini sudah disepakati, antara kita berdua memang suka membangun relasi dengan banyak orang. Kita memang senang berteman, dan diantara kita juga memang hanya sebatas teman.


Baik aku dan kau pasti merasa ketidaknyaman yang sama jika ini bermuara pada masalah asmara. Kita hanya teman diskusi, teman cerita dengan tipe canda setara. 


Aku sudah pernah patah hati tepat disaat aku baru memutuskan untuk jatuh kedalam cinta. Kali pertama sakit luar biasa hingga butuh waktu tahunan untuk kembali membuka hati. Kali kedua, serupa. Hanya saja pemulihannya tidak begitu lama. Aku cukup sekali memutus hubungan dengannya, lalu urusan ku selesai begitu saja. Dan aku tak ingin jadi keledai, jatuh di lubang yang sama. Seperti lirik dari lagu 'Jangan jatuh cinta' dari Maidany - Tuhanku, berikan ku cinta, yang kau titipkan, bukan cinta yang pernah ku tanam...


Aku paham betul tipe mu. Cantik, kulitnya bersih, rapi, lemah lembut, pokoknya idealnya perempuan. Aku juga paham betul tipe ku. Maka wajar diantara kita juga seharusnya tidak akan terbentuk hubungan asmara. Masalahnya seperti pepatah jawa, witing tresno jalaran soko kulino, cinta datang karena terbiasa. Baik. Sepertinya memang harus dengan cara mengurani komunikasi sebeisa mungkin. Karena aku tak bisa langsung memblokirnya seperti kisah sebelumnya. Ia murni seorang teman dan juga tak menujukkan tanda-tanda lebih dari teman kepadaku. Kalau orang-orang bilang, takkan ada persahabatan murni antara laki-laki dan perempuan. Salah satunya pasti akan muncul perasaan. Aku akui itu. Sekarang saatnya diri sendiri kembali mengontrol diri.


Semoga takkan ada lagi mimpi-mimpi serupa di kemudian hari dalam sistuasi seperti ini. Berbahaya sekali.


Guna tak Berguna

Jika  ucapan tak lagi mampu dimengerti

Jika teriakan tak mampu lagi dipahami

Apalagi sikap dari sekitar, pasti sudah mati

Apalagi peringatan yang bisa diberi


Ego mu tinggi tak ada guna

Kuasa hanya akal-akalan iblis saja

Kepuasan takkan pernah ada ujungnya

Tak ada nikmat jika sendiri saja


Jika tak mampu, belajarlah dahulu

Jika tak mampu, biarkan yang lain membantu

Jika tak mampu, turunkan sedikit egomu

Jika tak mampu, paksalah agar mampu


Umur semakin menua

Yang ingin dibuktikan sudah mati semua

2,8 juta jiwa masih bernyawa

Dijadikan taruhan manusia tanpa jiwa.


-Setelah 3.5 Jam.



Gotong Royong

Suatu hari rasanya ingin menanam pohon

Lalu bercerita, mereka mendengarkan

Suatu hari kamu memikirkan pohon apa yang ingin ditanam

Lalu berdiskusi, semua sibuk menghalangi

Suatu hari kamu menanam pohon impian

Lalu menunjukkan, dan lainnya berkata akan semoga bisa 

Suatu hari pohon kamu terkena rayap, hari lainnya kekeringan, hari lainnya lagi diserang hama

Lalu mencari bantuan, bantuan yang didapat adalah nasihat; berhenti saja, itu akan sia-sia


Waktu berlalu, pohon berbuah ranum

Menggoda semua yang melihatnya

Hari kamu akan memanen, suara memanggil berulang kali

"Panen ya? ajak-ajak dong! Kami bantu!"


Dan semua tertawa bersama menikmati buah ranum yang lama bisa dinikmati, dari masa ke masa.


Aku ingin

Aku tak ingin pintar jika membuat ku tak bisa mendengar

Aku tak ingin kaya jika membuatku merasa berkuasa

Aku tak ingin tenar jika membuatku merasa benar

Aku tak ingin sesuatu jika pada akhirnya tiada arti dibawah batu.

Lama Tuan

Diriku sesungguhnya mudah sekali ditebak, tuan

suka jika suka

sedih jika sedih

kecewa jika kecewa

tertawa saat merasa bahagia

meninggikan suara saat amarah membalut

mengecilkan suara jika kepercayaan diri menciut


Hatiku sesungguhnya lemah sekali, tuan

mudah terbawa perasaan

baik sedikit pikiranku sudah kemana-mana

imajinasiku jauh menuju masa depan

bayanganku mengikuti alur cerita

ah, memalukan


Tapi aku menahan semuanya, tuan

lama sekali prosesnya

hingga aku terlihat tak ada ekperesi apa-apa

hingga tawaku terlihat palsu

hingga sedihku ditutup canda

dan amarahku dianggap angin lalu saja


dan hingga perasaanku sama sekali tak terbaca

samar.

Tags