Jam 3 Pagi

-laki-laki boleh memilih, perempuan berhak memutuskan.


Sore itu seperti kaum rebahan lainnya, aku bersama kucing-kucingku menikmati sore dengan menonton televisi sambil berbaring. Televisi memutar film sementara mataku malah mengarah ke layar ponsel dengan jariku menyeret layar. Membaca salah satu postingan di aplikasi Quora. 

 




Wah, informasi ini menarik juga, pikirku.

“Drrrt..drrt…” Ponselku bergetar ditanganku. Kaget. Pikiran-pikiranku sejenak buyar, semakin buyar saat mengetahui siapa yang menelpon. ‘Bang Farhan’ tertera dilayar ponselku. Sebelum mengangkat aku mengira-ngira, ada apa? Sepertinya tidak ada urusan dengannya akhir-akhir ini. Ku angkat;

“Halo, Assal..”

“Assalamualaikum, Opii ehehe” suara dengan intonasi sedikit menggangu dari seberang sana memotong salamku. Yah, aku terbiasa mengucap salam lebih dulu. Memang sudah seharusnya yang menelepon yang mengucapkan salam, bukan? 

“Waalaikumussalam, ada apa bang?”

“Lagi dimana Opi? Astagaaa rindunya aku samamu, hehehe” 

“Lagi dirumah. Kenapa sih?” Inilah aku sebalnya kalau menerima telepon dari laki-laki. Aku tidak suka pembicaraan yang aku tidak tahu arahnya. Kalau via aplikasi chatting, aku masih bisa berpikir lebih baik untuk menyusun kata-kata. Apalagi dengan Bang Farhan, aku sedikit risih dengan sikapnya akhir-akhir ini.

“Ngapain? Sama kucing-kucing? Apa sama… suami?” ucap suara di seberang dengan nada bercanda. Kalau dia didepanku ingin rasanya ku lempar biji nangka didepannya. Aku hanya mengeluarkan suara mendesis tak ingin menjawab pertanyaan konyolnya.

“Apa kabar Opi? Abang mau minta tolong nya ini, hehehe.” 

“Langsung aja ke minta tolongnya bisa? Kalau kabarku gak baik gak mungkin daku angkat telepon ini, bang.” Ujarku.

“Yaaa kok gitu. Gini, ada temen ku, junior di kampus sih. cewek. Pesawatnya delay, kayaknya bakal sampai tengah malam. Boleh minta tolong jemputkan dan bermalam di tempat Opi dulu?”

“Oh, boleh.” Jawabku cepat. Kalau urusan menolong orang memang cepat sekali aku iyakan. Bahkan sering kali prioritasku bergeser kalau ada yang meminta tolong. “Kira-kira sampai jam berapa?” lanjutku.

“Jam 12 Malam, Opi bayangin coba cewek, tengah malam sampai bandara, gimana?” Berusaha meyakinkanku untuk menolong temannya. Tidak usah di tekankan seperti itu aku juga paham.

“Yaudah, kasih aja nomer Opi sama dia bang.”

“Bener nih gak apa-apa? Besok paginya dia langsung pergi kok. Opi bisa keluar malem-malem rupanya?” 

“Bisa, Insya Allah. Kan deket. Paling Opi keluar sama Ayah.”

“Oke, nanti abang kirim nomer dia ya. Makasih sebelumnya”

“Sip. Anytime bang. Assalamualaikum.” Jawabku sambil langsung mengkahiri percakapan.

“Yaaampun segitunya, iya iya, Waalaikumsalam.” Telepon kami pun berakhir.

Tak lama masuk pesan whatsapp berisi kontak seseorang.

Widya Arum. 

“Widiw. Namanya cantik.” Gumamku. Kulihat dia mencantumkan gambar langit sebagai foto profil whatsappnya. Sejenak aku menebak-nebak orang seperti apa yang akan aku jemput. Sebagai tipikal orang yang cukup absurd, aku sangat welcome pada setiap orang baru. Yah, meski baru beberapa tahun terakhir ini sih.

……

Ting!
Pesan masuk dari Arum.

Assalamualaikum kak, ini Arum.


Waalaikumussalam, udah masuk pesawat?

Alhamdulillah udah kak


Kira-kira sampai jam berapa?

Sekitar satu jam setengah kak

Oke ntar kabarin aja kalau udah landing


Makasih kak, maaf ngerepotin. Baru kali ini sampai tengah malam…

Santai, rumah diriku udah biasa kok jadi shelter orang-orang kemalaman di bandara hehe

Waduuh, makasih ya kak

Seep. Sampai jumpa nanti ya

….

Pukul 12 lewat aku mengayunkan kaki dari atas kursi cafe yang telah tutup. Hanya minimarket dan satu dua coffe shop yang buka 24 jam di bandara ini. Ayah yang duduk disebelahku bertanya sedikit perihal siapa yang kali ini kami jemput. Ku jawab saja teman. Panjang ceritanya kalau ku bilang aku bahkan tidak tahu wajah yang ku jemput ini. Ku lihat layar komputer berisi jam tiba. Pesawatnya telah mendarat sekitar limabelas menit yang lalu. Beberapa orang mulai kulihat keluar dari pintu kedatangan dalam negeri. 

Drrt..

Hape ku bergetar.

“Assalamualaikum, Arum. Kakak sudah di depan”

Waalaikumsalam kak, Arum sudah keluar ini” jawabnya. Kulihat perempuan berkulit putih dengan jilbab yang berlabuh panjang melihat ke banyak arah. Ku lambaikan tangan sambil mematikan telepon. Akhwat berjumpa dengan akhwat, secara otomatis langsung merasa dekat. Kami saling melempar senyum, bersalaman seraya cipika-cipiki 3 kali sesuai sunnah rasulullah.

“Kakak sama ayah kakak, Rum. Ayah, ini Arum.” Ayah ku mengangguk. Begitu pula Arum. Ayahku sudha mengerti untuk tidak bersalama dengan bukan muhrim meski dahulu adat ketimuran jika lebih tua harus cium tangan. Kami pun berjalan menuju parkiran.

Selama diperjalanan aku hanya bertanya soal bagaimana perjalanannya. Ia mengeluhkan soal delay. Biasalah kalau naik maskapai Lain Air. Kami tertawa kecil.

Sesampai dirumah aku membiarkannya berberes dulu. Lalu membuka percakapan kembali.

“Jadi, dirimu junior dikampusnya Bang Farhan?” 

“Eh iya kak, Bang Farhan itu udah kayak keluarga sih kak. Tapi kalau dikampus hampir gak pernah jumpa.” Jawabnya sambil tersenyum. Aku sedikit mengernyitkan dahi. Aku sama sekali tidak ada menaruh rasa curiga sejak awal. Karena aku tahu bang Farhan baik dan perhatian dengan banyak orang. Tapi jawaban Arum mengundangku untuk mengulik sedikit.

“Oh.. gitu, enak ya kalau orang daerah. Kalau sekampung jumpa di kota lain langsung deket kayak keluarga.” Ujarku seraya menyodorkan sajadah kepadanya untuk sholat Isya.

“Enggak kak, kampung kami beda jauh, bahkan beda provinsi.”

“Ooh, jadi kenal dari kampus aja. Yasudah Sholatlah dulu.” Jawabku membuat pernyataan sendiri lalu mengambil handphone. Mengecek berita banjir Jakarta dari twitter. Arum yang terlihat ingin menjawab mengurungkan niatnya dan sholat terlebih dahulu.

Usai Arum Sholat, sebenarnya aku sudah sangat mengantuk. Tapi kami masih mengobrol panjang perihal Lembaga dakwah kampus, organisasi islam dan kegiatan semasa dikampus. Seolah kami adalah teman lama yang baru bertemu kembali setelah sekian tahun. Jam menunjukkan setengah 3 pagi. 

“Jadi, penelitian Arum kemarin soal apa? Fisika material atau teori?”

“Ah.. Arum pendidikan kak. Bukan Ilmu murni.” Jawabnya. Eh? Aku menujukkan ekpresi kebingungan karena kata Arum sebelumnya ia dan Bang Farhan bukan kenal dari Organisasi bahkan hampir tidak pernah jumpa di Kampus.

Teng… teng.. Teng… Jam diruang keluarga berdentang 3 kali.

“Sebenarnya, Dia Calon kak.” 

Glup. Aku menelan ludah sambil menahan ekpresi wajahku setenang mungkin. Seolah aku baru saja menerima rahasia besar yang seharusnya tidak aku katakan pada siapapun. 

“Oh… gitu. Jadi gimana sebenarnya kenalnya?” Tanya ku pelan, berusaha tenang.

“Dia chat arum dari sosmed kak. Langsung ngajak nikah.” Arum sedikti tersipu malu saat mengucapkannya. Seandainya saat ini aku adalah tokoh kartun, mungin dibelakangku sudah ada bayangan diriku yang melongo hebat saking tidak percayanya. Seorang bang Farhan yang terkenal cukup religius dan tukang ngebanyol berani-beraninya ngechat anak orang langsung ngajak nikah?

“hmm… gitu. Hahaha gokil, terus-terus gimana?”

“Ya, karena Arum liat orangnya baik. Arum iyakan kak. Abang itu juga ngejaga kok kak. Komunikasinya hanya yang penting-penting saja. Sesekali tanya kabar.”

Otakku berusaha memproses dan mencerna semua rangkaian kejadian ini. Aku tidak tahu seharusnya aku bertanya kepada bang Farhan siapa sosok gadis cantik yang kujemput ini. Aku merasa bukan urusanku. Tapi karena Arum mengungkap hal ini aku jadi sedikit bingung. Aktivis dakwah, memahami betul persoalan virus merah jambu ini. Apa yang harus dia batasi dalam pergaulan sesuai syariah. Baiklah, kalau sekadar ‘gacoan’ seperti ini aku pikir tak apa. Biarkan mereka yang mengurus perasaan masing-masing. Di luar sana juga banyak fenomena akhwat ikhwan yang memegang ‘gacoan’ dari pesan-pesan di social media. Yah, tak luput aku pun juga pernah beberapa tahun yang lalu. Lalu taubat deh.

“Eh, tapi dirimu tau ga hal-hal lain tentang dia? Maksudnya apa udah coba cari…”

“Tabayyun maksudnya kak? Sudah… Arum tanya sama beberapa yang kenal dia katanya dia itu orangnya suka merhatiin orang lain lama. Terus dianya juga jujur kak kalau Arum tanya…”

Yah dia juga gak punya alas an buat berbohong kan? “Misalnya?”

“Yah, Arum tau dia merokok kak. Terus katanya dia sedang coba berhenti merokok. Dan dia bilang nikahnya ditunda juga sampai dia berhenti merokok.”

“hahahaha, kok gitu sih. Kalau dia gak berhenti-berhenti gimana?”

“Yah sekarangkan dia lagi berusaha kak, emang di kantor dia masih sering merokok ya kak?”

“Yah… diriku gak terlalu memperhatikan sih, kalau ditanya dia masih ya masih.”

“Ibunya juga bilang kalau mau nikah posisiku stabil dulu kak. Aku kan masih belum jelas ingin kerja dimana. Makanya aku tanya sama kakak tadi pas dimobil, di kantor kakak enak ga? Gitu”

“Oh, kalau dikantor juga ada yang sesama karyawan menikah. Kecuali orang keuangan sih ga boleh heheh. Takut kongkalikong kan. Jadi dirimu udah jumpa Ibunya, dimana?” jawabku sambil bertanya kembali tanpa mengalihkan topik.

“Kemarin Ibunya ada acara seminar disini kak. Trus diajak Bang Farhan ‘yuk jumpa ibuk’ gitu. Jadi Arum dijemput dan jumpa di acara ibunya.”

“Oh.. dibonceng?” Nada suaraku sedikit berbeda.

“Iya kak, biasanya dia yang jemput kalau arum baru dari kampung. Harusnya pun hari ini dia yang jemput kak. Tapi dia masih di kampung. Besok pagi baru balik. Jadi Arum tanya juga jadi gimana. Ya karena sudah kayak keluarga jadi kalau soal begini Arum bilang sama Bang Farhan. Terus kata bang Farhan dia mau minta tolong sama temen kantornya. Arum ragu kak, takutnya cowok. Ya Kakak ngerti kan kita agak gimana kalau sama laki-laki….”

“Hm…” aku hanya menggumam menunggunya melanjutkan cerita. Yaelah kalau bang Farhan yang jemput dia juga laki-laki.

“Udah dari kemarin bilangnya kak, terus siang tadi Arum pastiin lagi temennya cewek atau cowok. Baru dijawabnya cewek. Eh rupanya kak Opi mau bantu, Alhamdulillah.”

“Oh jadi gitu… hahaha. Iya sih, Diriku kalau bantu orang ga pake nanya-nanya soalnya. Kalau bisa ku bantu langsung ya aku okekan.” Jawabku. “eh, by the way asik juga nih kalau aku sebarin di kantor buat bahan gosip hihihi.” Ujarku bercanda dengan mata yang semakin mengantuk.

“Yah, janganlah kak, kan belum pasti juga. Walau udah komitmen tetap Allah yang ngatur kak…”

“Iya, iya, becanda doang kok. Hehe”

Lalu keheningan panjang tercipta beberapa lama.

“Kakak ga ngantuk?” Tanya Arum

“Ngantuk! Udah dari tadi tapi karena ceritanya seru jadi aku pertahankan hahaha. Yasudah Diriku tidur ya. Kalau mau matiin lampu matiin aja. Aku sih biasanya engga.”

Aku pun menutup mata, membaca doa tidur dan merapalkan 3 surah yang diminta untuk dibaca sebelum tidur. Sayup-sayup aku dengar dia masih mengetik lewat ponselnya. Lalu aku tertidur sampai adzan shubuh terdengar.

“kak bangun kak, shubuh.” Kata Arum dengan sedikit mengguncang bahu ku.

“Aduh rum, kakak gak sholat. Arum ke kamar mandi lah. Ayah kakak sudah keluar kok ke masjid tuh.” Jawabku dengan mata setengah terpejam namun ku paksakan untuk duduk. Tidak boleh tidur ketika adzan berkumandang. Nanti jenazahnya berat kata ustadz.

Aku memperhatikan Arum, jilbabnya jauh lebih panjang dari ku. Perangainya lembut, baik dan cantik dimataku. Aku baru mengenalnya, aku tidak berani menghakiminya. Aku sedang berlajar keras untuk tidak mudah menghakimi orang lain.

Pukul 7 pagi, Arum bersiap-siap untuk kembali pergi. Perjalanan dia masih panjang. Aku mengantarnya sampai kedepan pintu rumah usai dia menyalam ibuku yang sedikti sedih Karena Arum tidak sempat sarapan bersama kami. Dia naik mobil yang sudah dipesan online. Kami bersalaman, cipika-cipiki dan mengucapkan salam berharap semoga bertemu lagi. Ku lambaikan tangan sambil tersenyum.

Sepertinya, akan ada yang berhutang penjelasan kepadaku. Bang Farhan.

Tags