Udara siang itu terasa gerah, angin sesekali bertiup pelan, membawa aroma kertas dan tinta dari dalam ruangan administrasi. Kampus mereka sedang program ecogreen time, jadi untuk mengurangi penggunaan listrik, pendingin ruangan dan pengeras suara dimatikan. Suasana terasa beitu lengang. Jendela-jendela dibuka. Karena pada dasarnya arsitektur kampus ini bagus, sirkulasi udara berlangsung baik. Hanya saja suhu diluar tak bisa berbohong.
Beberapa mahasiswa lain terlihat menunggu, beberapa berbicara pelan, sementara yang lain sibuk dengan ponselnya. Tita dan Ulya duduk di bangku panjang depan ruangan. Mereka berdua sudah menyelesaikan studi magister bulan lalu. Hari ini, mereka datang untuk mengambil ijazah dan transkrip sebagai penanda resmi bahwa masa perkuliahan telah benar-benar berakhir.
"Habis ini mau ngapain ya? Kerjaan udah ada, kemarin ambil S2 juga buat upgrade ilmu aja." Ulya mencoba mencari bahan obrolan selagi menunggu. Ia sudah bosen scroll-scroll layar ponselnya.
"Sama, aku juga belum ada rencana ganti karir," jawab Tita, menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Tapi kalau ada kesempatan yang lebih baik, sebenarnya aku mau pindah kerja."
"Memang kantor lo nggak nyaman?" tanya Ulya, menoleh ke arah sahabatnya. Setaunya, kantor Tita cukup homey dan juga penghasilan sesuai standar.
"Nyaman sih, cuma kan kita nggak bisa selamanya di zona nyaman. Lagian aku juga mau nyari peluang."
"Weeeesss, ngincer gaji lebih tinggi nih kayaknya?" goda Ulya, menaikkan alisnya sambil tertawa kecil.
Tita ikut tertawa, lalu menggeleng. "Ya kalau itu sih nggak nolak juga, tapi aku lebih pengen nyari sirkel baru. Lagi pengen serius cari jodoh."
Ulya tertawa lepas. "Nyari jodoh jangan di tempat kerja lah, males banget jadi bahan gosip kantor."
"Sirkel-nya loh," Tita menekankan kata itu. "Siapa tahu ada connecting line baru, memperpendek benang merah jodoh."
"Iya kalau memperpendek, kalau malah makin panjang? Kusut pula."
"Eh, ngomong yang baik-baik aja. Ucapan itu doa, loh," tegur Tita, serius.
"Hehe, iya-iya, maaf,"
Tita melirik Ulya yang juga belum memiliki pasangan sepertinya dengan penasaran. "Kamu sendiri, nyari apa sih biar yakin kalau dia pasanganmu?"
Ulya sudah beberapa kali mencba punya hubungan namun kandas. Ia terdiam sejenak, seperti memilih kata-kata. "Nyari chemistry."
Tita menaikkan alis. "Ngapain nyari kimia?" tanyanya dengan wajah polos pura-pura tidak paham.
"Aduh, kamu nggak ngerti bahasa zaman sekarang," keluh Ulya sambil menggelengkan kepala.
Tita tertawa. "Haha, becanda. Aku tahu kok. Maksudmu nyari ‘klik’-nya, kan?"
"Iyaaa..." Ulya menghela napas. "Soalnya kalau ditanya aku nyari yang gimana, aku juga bingung jawabnya."
"Bingung atau nggak percaya diri?" Tita menatapnya penuh arti, sedikit menantang.
"Ya... itu juga ada. Takutnya aku nyari yang terlalu tinggi, ternyata value-ku sendiri nggak nyampe ke situ."
Tita menyilangkan tangannya di dada. "Ya tingkatin dong value-mu, jangan malah nurunin standar."
"Enak banget ngomongnya. Kamu sendiri aja juga masih nyari," balas Ulya sambil melirik tajam.
"Hehehe, ya ini lebih ke obrolan teman senasib sih. Mana tahu ada hikmahnya," ujar Tita sambil tertawa kecil.
Tiba-tiba, Ulya berkata, "Sebenernya kalau soal chemistry, di antara kita juga ada chemistry loh."
Tita langsung menoleh tajam. "Astagfirullah, aku masih normal ya," ucapnya refleks.
"Duh, udah magister tapi masih dangkal ya, Bu," sahut Ulya sambil menggelengkan kepala.
"Becandaaa," Tita tertawa, pipinya sedikit merona.
"Kimia itu kan sebenarnya interaksi dan ikatan. Ada yang saling bertemu tapi nggak bereaksi, ada yang bereaksi tapi nggak terikat, ada juga yang terikat tapi lemah. Macam-macam. Semua dari kita pasti punya chemistry dengan orang lain."
Tita mengangguk, mulai memahami arah pembicaraan. "Betul juga. Berarti aku harus cari chemistry yang kayak apa yang mau aku bangun sama pasangan nanti."
"Kalau aku sih, pengennya kayak pertemuan aluminium sama merkuri," kata Ulya tiba-tiba.
Tita mengernyit. "Kenapa gitu?"
"Aku pernah lihat videonya. Nih, bentar... Nah, lihat ini," Ulya menunjukkan sebuah video di ponselnya. "Mereka ‘growth’ tanpa menghilangkan identitas asli masing-masing."
Tita memperhatikan dengan serius. Dalam video itu, reaksi antara aluminium dan merkuri membentuk pola unik yang terus berkembang tanpa merusak struktur dasarnya.
"Wow, keren! Aku baru lihat video ini. Selama ini isi explore-ku cuma quote-quote galau atau soal mental illness," ujarnya, terkekeh.
"Makanya, harus ngebangun sirkel baru biar wawasanmu lebih luas. Jadi isi explore-mu nggak itu-itu aja."
Sebelum Tita sempat membalas, pintu ruang administrasi terbuka. Seorang pegawai tata usaha memanggil nama mereka dan menyerahkan berkas ijazah serta transkrip mereka. Akhirnya, urusan mereka selesai.
Saat berjalan keluar gedung, angin sore mulai berhembus lebih sejuk. Mereka berdua melangkah santai di sepanjang koridor kampus menuju parkiran, merasakan nostalgia yang perlahan menyelinap di antara percakapan ringan mereka. Dan berikutnya —entah dengan siapa dan di mana chemistry itu akan membawa mereka.
Tita membuka pintu mobilnya dan menoleh ke Ulya sambil tersenyum. "Aku tunggu undangan nikahmu, ya."
Ulya tertawa kecil. "Aku juga ya! Hahaha."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kalau ada yang ga bagus tolong dikasi tau ya, biar penulis bisa menyempurnakan tulisannya :)
kalau ada ide lanjutan cerita juga di terima...
Makasih :D