366 Hari Bersajak - 355. Hari-Hari Rupa-Rupa (Cerpen)

Di penghujung fajar, seonggok daging bernyawa terburu menunaikan tugas sebagai insan berakal. Ia tegopoh menyiram air ke beberapa bagian tubuhnya. Jika mencari kesempurnaan dari ritual itu, ia akan berkata,"Wajarlah tak sempurna, bukan nabi ini boy." Ada saja jawaban ajaib mengikuti tren yang sedang berkembang. Tanpa dipikir, tanpa dikaji, semua mengikut arus nyaman dari dunia maya. Tak sampai 3 menit, usai rasanya. dan ia kembali membungkus diri untuk menghalau dingin yang menusuk. Jangan kau tanyakan soal doa-doa, lagi ia akan berkata,"Tuhan tau apa yang terbaik untuk kita."


Perlahan udara mulai menghangat, ia mengambil gawai dan mulai mengulirkan ibu jari diatas layar keatas dan kebawah. Lama, sampai ada teriakan menyuruhnya bangkit dari tempat tidur dan ia akan menjawab,"Sudah bangun dari tadi!." Entah apa bangun yang ia maksud, apakah mata yang terbuka, raga yang bergerak atau seharusnya bangun dalam artian isi kepalanya sudah dapat digunakan dengan baik untuk beraktivitas seperti orang-orang pada umumnya di pagi hari.


Bersungut merengut ia mengerjakan banyak hal dengan auto-pilot. Merasa hidup sempurnanya bukan bagian dari pertangungjawaban nantinya. Apakah ia tak pernah berpikir bagaimana bisa manusia akan mendapatkan akhir yang sama dengan usaha yang berbeda. Hidup tanpa perang, hidup tanpa kelaparan, hidup tanpa kemiskinan dan berbagai kemalangan yang menerpa banyak kalangan. Dan bukan dia.


Ia kembali mengambil gawainya, melihat ada salah satu templat dari fitur add story temannya. Iapun menambahkan kedalam ceritanya, "ah, senang rasanya sudah berbuat baik pagi ini." Kebaikan sederhana yang sangat tipis sekali dengan jumawa diri.


Hari-hari begitu normal dalam hidupnya, kadang ada tawa berlebihan, kadang ada tangis berlebihan. sesekali ia bisa menjadi taat tak ketulungan, di lain waktu menjadi futur dan mengenaskan. Tapi berkat keluarga yang katanya toxic, ia sulit untuk lama-lama dalam kefuturan. Setidaknya menjadi biasa-bisa saj ayang penting sudah melakukan kewajiban meski kesempurnaannya masih dipertanyaan. Lagi, "Wajarlah tak sempurna, bukan nabi boy."


Tapi sesekali ada perenungan dalam dirinya, bertanya-tanya bagaiman hidupnya setelah di dunia. Maka, meski ia telah mendapatkan gelar sarjana, ia pun bertanya pada AI Meta dari aplikasi Whatsapp. Jawabannya tentu, masih ngawur. Semua orang sedang membicarakan aplikasi itu sepekan ini, mempertanyakan eksistensi nama mereka di dunia digital, apakah sudah cuku terkenal atau tidak. Berusaha mencari validasi selain dari sesama manusia yang seringkali terasa palsu, padahal kecerdasan buatan benar-benar palsu.


Menjelang siang hari, bukannya mengejar dhuha -- meski kadang ia melakukannya -- ia justru memikirkan akan makan siang apa. Tak jauh dari rumahnya bisa jadi ada keluarga yang melihat apa yang bisa dimakan di rumah reyot mereka. Hidup sungguh adil dengan ujiannya masing-masing. Tapi anak manja ini dalam hati berdoa penuh takut ujian apa yang akan ia hadapi untuk kenikmatan hari-harinya ini. 


Sungguh yang bisa dilakukan hanya lebih baik dari hari kemarin, atau bahkan seburuk-buruknya bertahan saja. Seonggok daging yang dibekali nyawa dan akal mungkin besok akan menjadi lebih baik. Ia akan tetap menjadi seonggok daging bergerak sampai akhir hidupnya kelak. Semoga hari-hari penuh rupa-rupa yang ia jalani menjadikan ia insan yang baik hingga akhirnya ia benar-benar seonggok daging ditanam tanah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kalau ada yang ga bagus tolong dikasi tau ya, biar penulis bisa menyempurnakan tulisannya :)
kalau ada ide lanjutan cerita juga di terima...
Makasih :D

Tags