Menapaktilasi Hidup Sendiri

Ada satu masa kita bosan dengan hidup
Oksigen tak lagi nikmat untuk dihirup
Mati tak boleh,
Hanya bisa bertahan sudah

Tidak boleh juga pasrah

Permasalahannya, apa yang membuatmu putus asa?
Mari berdialog dengan diri sendiri
Mengulas kembali perjalanan yang telah dititi
Karena masa depan, tak meminta kata tapi

Tarik mundur satu - dua tahun lalu
kamu hebat melalui terpaan pandemi
Langkah memang terhambat satu-satu
Lalu, semua terlewati,
Kan?

Tarik mundur 5 tahun lalu
tawa bahagiamu diawal dua puluh
mimpi-mimpi tertulis rapi dalam buku
sudah tak terasa lagi tetesan peluh

Jauh ke sepuluh tahun lalu
Bunga-bunga kejayaan masa remaja menerpa 
Beberapa momen tentu membuatmu malu
Momen lainnya, tatapan terlempar padamu seperti memuja

Lima belas tahun yang lalu
Perasaan kehilangan pertama
Diri seperti kehilangan arah, semu
Pertama kalinya tameng pembela tiada

Jiwa tidak baik-baik saja
Namun raga baik-baik saja

Kita hidup dengan kesyukuran
Aib juga sudah ditutup oleh Tuhan
Lalu, apalagi yang harus dikhawatirkan?

Semua ada penyakit ada obatnya,
Diri ini pasti akan segera sembuh,

Hanya perlu sedikit berjuang
Kita selalu punya peluang.

Hiduplah jiwa bebas!
Harus berapa banyak validasi untuk meyakinkan diri
bahwa banyak yang ingin hidupmu saat ini
bahwa Tuhan memberimu keberkahan
bahwa Tuhan menguji mu untuk selalu di jalan kebaikan
bahwa kau, sedang Tuhan rindukan.

Kembalilah hidup...

Segera.

26

 Dua puluh enam tahun



Angka ini tidak pernah terpikirkan secara khusus akan aku capai

Manusia tanpa ambisi

dan ketakutannya akan usia usai dini

membuatnya hanya berpikir jangan sampai mati dalam sunyi


atau hilang diantara dosa

Kumohon, Tuhan. Kepada-MU aku meminta ampunan


Keinginan berkeluarga,

Ada.


Tanpa memikirkan, melewetai angka dua puluh enam dan sesudahnya.


Seolah, dunia akan berhenti di dua puluh lima.

Seperempat abad.

Usia yang seharusnya sudah matang secara raga dan jiwa


Bisa mengendalikan emosi

Punya ambisi

Tau tujuan untuk diri sendiri


Salahkah menjadi manusia naif, 

insan ini hanya ingin bertemu rabbnya dengan keadaan yang baik

ingin menjumpai Nabinya dengan bentuk yang baik

Ketakukannya di dunia akhir jaman ternyata tumbuh menjadi manusia munafik


Takut. takut. takut.

Wajar.


Baiklah.

Dua puluh enam tahun.

Berapa tahun sudah setelah akhil baligh

Berapa tahun sudah memupuk dosa-dosa

yang seringkali

disengaja.


Penanggalan masehi.

Saat hari berganti.

angka satu menjadi dua

mereka satu persatu mengucapkan panjang umurnya


fajar menyingising

Lelaki pertama dalam hidup menelpon melalui telepon seluler

Mengucapkan doa-doa dan harapan terbaik

yang masih sering kupatahkan dengan sikap-sikap ku


Tepat dijam lahir, wanita yang melahirkanku menghubungiku melalui videocall

bertanya bungsunya kapan pulang

biar bisa makan kue bolu bersama


Pulang

dihari bahagia sang putri

sakit

5 hari

lalu semua lupa tentang rencana-rencana bahagia


Usia bertambah

tak ada perubahan.


Semoga ada.

Semoga ada.


Ke arah yang lebih baik.


Doakan aku selalu dalam jalan kebajikan.

Doakan aku melewati tahun-tahun berikutnya dijalan kebenaran.

Doakan aku menghembuskan nafas dalam Islam.



Cangkang

Seorang petualang sedang mengambang di lautan
dengan sebuah cangkang licin, indah, berkilauan

petunjuknya mengikuti cahaya matahari
kayuhnya dari ranting tak berisi

Patah, ambil lagi yang lainnya
ada banyak benda disekitarnya

sebagian besar tidak berguna, tak ada daya
sang petulang tetap mengkayuh mengarah cahaya

cangkangnya sungguh mempesona dari kejauhan
diantara petulang lainnya, ia menjadi pusat perhatian

hari berganti, petualang lain telah pergi
dia sendirian mengagumi diri

ia petulangan hebat dengan cangkang yang hebat pula
segala benda berkumpul di sekitarnya

lalu ia menunggu, kapan sampai
sampai
sampai
sampai

sampai ia sadar ia mau sampai kemana?
dan sekarang ia dimana?

Cahaya matahari yang ia ikuti berubah setiap waktunya.
petualang malang berputar-putar di bibir pantai sunyi

semua telah pergi, ia ditinggal sendiri

dengan benda-benda yang ia kira akan berguna membawanya ke akhir yang tak ia rencanakan.

Resensi novel Amba karya Laksmi pamuntjak

Ini kali pertama aku mencoba membaca jenis novel bahasa Indonesia dengan pilihan kata yang tidak ringan. Kenapa aku bilang tidak ringan? karena novel ini ini memiliki kosakata yang jauh lebih kaya dari novel-novel Indonesia yang sebelumnya aku baca. Berbeda dengan karya-karya Sapardi Djoko Samono yang dihiasi kata-kata puitis, lembut dan sarat makna, Novel Amba karya Laksmi Pamuntjak ini dihujani kata-kata bahasa indonesia yang jarang digunakan sehari-hari. Sampai-sampai aku harus menyediakan KBBI disebelahku saat membaca novel ini.

Jadi secara beruntung aku dipinjami novel Amba cetakan keempat oleh salah satu senior di tempat kerja.

Judul : Amba
Penulis : Laksmi Pamuntjak
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Cetakan : Keempat edisi baru Okober 2013

Tebal : 577 halaman

Untuk kalimat pembuka, Laksmi memilih kata "Untuk mereka yang pernah ditahan di Pulau Buru yang telah memberiku Sepasang Mata baru". Di sini aku baru tahu bahwa Indonesia punya Pulau Buru hahaha! ya sejelek itu pengetahuan geografiku. Novel ini awalnya ditulis dalam bahasa Inggris lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan penyusunan kata yang lebih ciamik 

"Di Pulau Buru laut seperti seorang ibu dalam dan menunggu" menjadi kalimat pada alinea pertama dalam novel ini. Novel ini menceritakan tentang sosok perempuan bernama Amba yang mencari makam 'suami' nya bernama Bhisma di pulau buru. Pencarian dengan petunjuk yang sangat minim membuat kisah ini menjadi begitu rumit pada bab pertama. Kecurigaan penduduk setempat dan serangan yang dihadapi Amba menambah kesulitannya dalam mencari jejak Bhisma.

Amba adalah seorang anak pertama dengan sepasang adik kembar yang cantik. Begitu pula Amba, mesi tidak secantik kedua adiknya, ia memiliki gestur yang anggun dan menawan. Ibunya yang dulu seorang kembang desa dan menurunkan kecantikan itu kepada anak-anaknya, merawat mereka semua dengan penuh welas asih khas perempuan jawa. Ayahnya adalah seorang guru yang lurus, baik dan berprestasi hingga diundang ke pertemuan guru-guru di UGM.

Saat pertemuan di UGM itu, kedua orangtua Amba berjumpa dengan Salwani. Dosen muda yang baik, sopan dan satun. Sosok calon suami yang sangat sempurna untuk Amba, di mata orangtuanya.

Salwa mendekati Amba dengan sangat baik, mendukung mimpi-mimpi Amba, memahami setiap buah pikir Amba yang cenderung berbeda dari orang-orang kebanyakan. Amba cerdas, Salwa tau dan meng-apresiasi itu dengan baik.

Namun Amba merasa tak bisa hidup dengan ketenangan. Ia ingin terus mengasah dirinya lebih dan lebih. Saat ia kuliah Sastra Inggris di UGM, teman-teman diskusi 'bule' nya satu persatu menghilang karena terjadi ketengangan antara eks penjajah dengan kelompok nasionalis. Belum lagi pergerakan gerilya PKI.

Amba menemukan pengumuman bahwa rumah sakit di Malang membutuhkan penerjemah. Meski tau saat itu Malang sedang dalam kondisi yang sangat bahaya karena banyak penculikan juga pembunuhan, ia tetap pergi demi menuntaskan kepuasan dirinya.

Kalau aku melihatnya, Amba ini Rebel banget sih.

Ia memberi tahu kepada Salwa bahwa ia akan pergi ke Malang. Kepada Om dan Tantenya yang ia tumpangi selama di Jogja, Amba mengatakan bahwa ia akan kerja kelompok selama beberapa lama di rumah temannya. Untuk keliarganya di Kediri, Amba tak memberi kabar apa-apa.

Salwa, lagi-lagi harus memahami 'rebel' nya Amba. Dengan penuh kasih sayang, Salwa tetap mengirim surat dan memastikan bahwa Amba baik-baik saja di sana. Sayangnya, Amba sudah tak lagi punya gairah menanggapi kata-kata indah dari Salwa. Karena, di Rumah Sakit itu ia menemukan sosok yang berbeda dari orang lain seumur hidupnya. 

Namanya, Bhisma.

Bhisma adalah seorang dokter lulusan Jerman. Saat itu, Jerman sangat kental dengan komunis. Apakah Bhisma terlibat dengan komunis atau tidak? tidak tahu.

Hubungan Amba dan Bhisma begitu intim. Dan Bhisma tidak tahu keberadaan Salwa. Karena Amba tidak memberi tahu. Sampai akhirnya amba memberi tahu, tentu saja Bhisma tak melepas Amba begitu saja. 

Sayangnya, meski Bhisma menunjukkan cinta dan rasa posesifnya ke Amba, akhirnya mereka terpisah disebuah pertemuan untuk mengenang salah satu pentolan PKI.

Perpisahan itu tak hanya memisahkan sepasang kekasih tapi juga seorang anak dengan ayah Biologisnya.

Amba pun 'kabur' ke Jakarta. Tempat yang ia dan Bhisma impikan untuk melanjutkan hidup. Ia berharap pada suatu hari ia akan bertemu kembali dengan Bhisma di Jakarta.

Setahun kemudian, Amba baru mengirim surat kepada keluarganya di Kediri yang tentu isinya melukai hati kedua orangtuanya. Surat kepada Salwa, tetap saja Amba memberi bahasa agar Salwa memaklumi seluruh tindak tanduk yang Amba lakukan.

Salwa, adalah seorang lelaki baik, sopan, santun dan memilih hidup dengan lurus. meski tak lagi menaruh cinta, sampai akhir Salwa memberi empati pada Amba.

Entahlah cerita mahabharata bahwa tokoh Amba dicampakkan oleh kedua lelaki, Salwa dan Bhisma adalah sama dengan kisah Amba yang ini?

Bagaimana kondisi di Pulau Buru sejak menjadi pulau tahanan politik? Bagaimana nasib para tahanan? Dimana Bhisma sebernanya?

Buku ini sangat menarik untuk dibaca secara perlahan. Laksmi Pamuntjak berhasil menyajikan salah satu catatan sejarah dengan baik meski ada beberapa kejadian yang dirubah untuk menyempurnakan alur cerita.

Sekian.

Catatan : Lanjutan kisah ini ada di Novel "Srikandi"



Ayah

Darinya, ku kenal islam

Darinya, iqomah pertama yang ku dengar

Meski saat itu hatinya gusar

Meski dadanya masih berdebar


Dia yang dengan lembut memijat kakiku

Saat udara dingin membirukan telapakku


Kala itu nasal aspirator belum lazim

Ditengah isak sesakku,

Dia terdepan menjadi pengganti alat itu


Dia yang mengajariku diatas roda dua

Sampai mesin beroda dua

Jatuh berdua

Mengomeli kesalahan ku untuk kesekian kalinya


Dia yang tak pernah absen menjemputku sekolah

Saat sedang berada di kota tercinta


Hidup keluarga ini berada, bukan kaya

Alat telekomuniasi kala itu mahal harganya

Demi bisa terus tau posisiku berada

Handphone siemens generasi pertama tergantung di dada


Aku lama dijemput, telpon ayah

Aku jatuh, telpon ayah

Aku bertengkar, telpon ayah

Aku tabrakan, telpon ayah

Aku kehilangan, telpon ayah


Dia yang memukulku saat tidak sholat

Mencecar ketika omonganku sudah lagi tak taat

Memaksaku duduk untuk mendengar nasihat

Menyuruhku menghentikan tangis saat bicara sudah tersendat-sendat


Raut muka yang selalu disembunyikan

Saat aku bertanya uang kuliahku kapan dibayarkan

Menyuruhku sabar dan jangan dipikirkan

"Tanggal berapa tenggatnya? Ayah akan usahakan"


Dia yang dengan gagah

Membawa batang bambu, jangung, tebu,

Apapun itu

Semua yang kubutuh

Dan masih bertanya "Apalagi yang bisa Ayah bantu?"


Mau kemana? ayah antar

Mau pergi kemana? ayah kunjungi


Dia di tengah keterbatasan

Mendukung penuh agar aku melanjutkan pendidikan


Seringkali aku yang kesal,

Dia yang tak pernah mengakui kekurangan,

Dia yang merasa bisa mengerjakan semua,

Dia yang mapu menangani setiap masalah,


Dia, Ayahku.


Ayah nomor satu di seluruh Dunia.


(sajak ini akan aku lanjutkan setelah aku menikah)


25 Februari 2022


Luhur

Betapa luhur hati pendahulu

memasukkan hak hewan dan hutan

dalam peraturan negara berbentuk uu


Entah hanya meniru

bangsa-bangsa yang merdeka lebih dulu


atau memang penting melindungi jati diri

sebagai jambrud khatulistiwa abadi


Kita istimewa, Indonesia


kini atas nama ekonomi

percaya bangsa atau kelompok sendiri

amanat leluhur harus diberangus


karena, hidup hanya sekali

untuk apa memikirkan mereka yang sudah mati


Betapa luhur...

Tuan yang Malang

Malang nian tuan
Berlian terkubur pasir
Pikirnya ia tidak bersinar
Karena alam menguburnya

Malang nian tuan
Semua sia-sia
Langkah-langkah kosong
Bias mata memandang

Malang nian tuan
Ia kira cahayanya bisa meredam
percikan kecil, api dari tembaga
Membungkam semua dengan elegan

Malang nian tuan
Sungguh malang

Ia akan terbenam jauh kedalam
Karena gemerlap yang ia nikmati sendirian

Tags