Sinyal-Sinyal Putus (Cerpen)

"...hahaha, iya, iya, pokoknya aku tunggu kamu sampai di Tanjung Pinang baru kita rencanakan jalan-jalan kita yaaa!"


Nurra menjepit telepon di antara telinga dan bahu sambil merapikan berkas-berkas liputannya yang berserakan di meja kayu kosnya. Telinganya mulai terasa panas, percakapan dengan Pika sudah berlangsung satu jam lebih, setelah beberapa kali putus-nyambung memalui jaringan internet dan akhirnya menyerah dengan telepon melalui jaringan seluler biasa demi bisa cerita panjang lebar dengan sahabatnya ini. Dari luar, suara debur ombak memenuhi kamar kecil yang sudah dihuninya selama satu tahun ini. Di dinding, peta lokasi live-in-nya penuh stabillo warna-warni, menandai wilayah dan topik yang sudah ia jajal untuk artikel jurnalistik mendalamnya.


"Iyaaa, pokoknya siapkan tempat untukku sampai 2 minggu disana ya. Aku bener-bener butuh liburan banget kali ini. Lagi burn out." keluh Pika dari seberang telepon, suaranya setengah tertawa setengah sendu.


"Setahun juga boleh, nemenin aku liputan disini. Tiap hari nanti kita makan otak-otak buatan Mak Ngah yang punya kosan aku," Nurra menghibur sambil memandang gantungan kunci dengan lambang pengeras suara, milik angkatan mereka, jurusan komunikasi.


"Boleh juga, buat nambah otakku lagi kalau beneran udah ke-burn semua ya. Eh, Btw… ada yang mau aku tanya, deh." Pika tiba-tiba mematahkan obrolan mereka.


"Apa tuu?" Sahut Nurra langsung.


"Eh, tapi nggak jadi ah. Nunggu aku sampai Tanjung Pinang aja," sahut Pika, suaranya tiba-tiba kecil.


"Kebiasaan deh, nggak mauuu! Sekarang aja, dong. Nunggu minggu depan kamu sampai pasti udah lupa," omel Nurra sambil mengibas sarang laba-laba yang terlihat menempel di ambang pintu.


"Ntar ajaaa, pas aku sampai. Nggak penting juga kok ini."


"Karena nggak penting, malah bikin penasaran. Jangan sampe aku kebawa mimpi!"


Pika menarik napas. "Iyaa, udah. Tapi ini cuma nanya ya... Kamu nggak pernah kepikiran jadian sama Fauzan?"


"....Fauzan? Tiba-tiba?"


Nurra menatap laut lepas melalui jendela kosnya. Angin malam mulai berhembus, membawa bau pantai yang terlihat dari lantai tiga kos an nya.


"Aku nggak tau apa kamu sadar atau enggak, Nurra. Kalian kan deket banget ini. Nggak pernah ada pembicaraan ke situ?" Lanjut Pika membuka bahasan baru.


"Nggak ada sih..." Dia menggaruk lengan yang digigit nyamuk. "Hampir nggak pernah kami nyentuh obrolan urusan asmara."


"Wah, padahal kalian sering banget main bareng kan." Pika mencoba mengulik perlahan, penasaran apakah Nurra memang enggak sadar atau pura-pura enggak mau tau.


"Hmm... pernah sih, sekali ada obrolan kearah sana. Sekitar tahun lalu itu Fauzan, Dito, sama Kak Rahmat tiba-tiba video call grup,


        "Tomboi kayak kamu pernah jatuh cinta nggak sih?" tanya Dito suatu malam dalam video call grup. "Pernah. Sekali. Lalu patah hati. Cukup," jawab Nurra sambil terkekeh pelan diakhir karena enggak pernah-pernahnya para bro nya membahas hal seperti ini. "Sekarang aku cuma mau sama orang yang jelas-jelas suka sama aku. Udah lelah one-sided love." 


setelah itu kami mengalihkan pembicaraan ke rencana diving di Bintan sekalian buat eksplor, itu awal-awal aku ditugaskan di sini." jawab Nurra.


"Kamu baik, Fauzan juga baik. Aku ngebayangin kalian bagus aja kalau bareng. Apa nggak pernah kepikiran?"


'Teeng!' dari luar terdengar suara tiang dipukul sekali. Menandakan sudah pukul satu malam. Mengingatkannya pada masa-masa mereka liputan malam hari untuk tugas kuliah.


Nurra menghela napas. Fauzan. Teman satu jurusan yang selalu jadi partner outdoornya, yang sekarang entah lagi liputan menantang dimana. Mereka memang terlalu serupa—sama-sama nekat, sama-sama menjadikan adrenalin sebagai bahan bakar hidup.


"Kita cuma teman kampus, Pik.  keetulan cocok juga jadi teman main, teman liputan, teman…"


"Teman yang ngasih kamu hadiah-hadiah gear sesuai kebutuhan kamu?"


Nurra memandang pisau lipat pemberian Fauzan yang tergantung di tas ranselnya, salah satu hadiah saat ia mendapatkan tugas liputan in-depth pertamanya.


"Kita sama-sama tahu Fauzan bukan tipe yang clingy. Kalau ada perasaan, pasti udah lama dia ngomong."


"Atau… dia nunggu kamu yang ngomong?" Pika menghela napas. "Ya udah, aku cuma nanya kemungkinan nya aja sih, kalau kamu nggak mau ambil pusing…"


Layar telepon berkedip—notifikasi chat masuk.


Fauzan: "Ra jangan lupa besok jam 9 di Cafe Pelabuhan. Yulia dan Tika udah aku oke buat gabung. Sekilas juga udah aku jelasin soal volunteering bersih pantai."


Dia menatap pesan itu, lalu foto profil Fauzan yang masih memakai helm peliputan. Tiba-tiba, bayangan mereka berdua rappelling di tebing Nusa Penida muncul lagi. "Memang sih…sejauh ini kita selalu bareng karena kebetulan hobi dan kerjaan kita sama," gumamnya.


Tapi Nurra cepat mengusik pikiran itu. Selain video call grup itu, mereka juga pernah meluruskan masalah ini bahwa hadiah-hadiah personal itu memang menyesuaikan saja. Hadiah seperti itu tak hanya diterima oleh Nurra. Soal kedekatan mereka berdua, sepakat karena minat yang sama saja.

Sikapnya tetap biasa sejak itu, masih mengajaknya diving, masih mengkritik tulisan-tulisannya dengan pedas, masih jadi orang pertama yang telepon saat kala Nurra butuh bantuan.


"Ya, pasti aku jadi kepikiran sih karena kamu bahas, Pik. Bohong banget kalau enggak," ujar Nurra jujur.


"Aduh, maaf yaaa. Ya udah, ini udah malem banget, ntar kita lanjut cerita-cerita langsung aja pas aku udah di sana, yaa."


"Iyaaa, see you soon, dear!"


"See yaa, Nurra! Luv u!"


Pika mematikan telepon.


Nurra mengusap telinganya yang terasa panas, lalu mengecas ponselnya yang sudah low battery. Setelah itu, ia menghempaskan tubuhnya ke kasur dan menatap langit-langit.


Di luar, ombak terus menerpa karang. Seperti pertanyaan Pika tadi yang masih mengganjal, kalau ia dan Fauzan memang cocok di mata orang lain, haruskah ia mencoba? Tapi… dari mana mulainya?


Tapi kayaknya enggak deh. Ia tak siap kembali patah hati.

Tribute to Gusti Irwan Wibowo

Rasanya begitu sesak setiap kehilangan hal-hal favorit. 

Kenapa tidak sampah-sampah saja yang menghilang. 

Justru bintang-bintang cantik cepat sekali perginya.

15 Juni 2025

-

Tatkala membentang tangan diantara angin sepoi-sepoi

Sekelebat saja menelusup  udara sedikit berbeda, geli, nyaman,

Dia adalah jenre endikup (enak di kuping)


-

Kuiyakan sambil menggeleng

Tidak dengan mengangguk

Kamu resmi masuk

dalam dunia Bekasi.


-

Naik-naik ke puncak gunung

Tinggi-tinggi, Abadi.


-

Ternyata ia bukan saudaranya Chava,

Ia meniru jalan Nike Ardila.


-

Semua berdoa baik kepada Gusti.


-

Tak ada yang memberitahuku bahwa badan besar memiliki hati yang besar, tawa yang besar, jenaka berkelakar.


-

Sudah ya? Terimakasih telah menjadi baik.

Batas (Cerpen)

"Drrtt... drttt..."


Salma melirik dan mencari arah suara getaran. Ah, ponselnya berbunyi, menampilkan nama "Grity SMA". Meski matanya kembali berfokus pada drama serial yang sedang ia tonton, jemarinya bergegas mengangkat panggilan itu tanpa tendensi apa-apa.


"Halooo, Gritteee~" sapa Salma ramah.


"Iya, halo. Um, Salma lagi di mana?"


"Lagi di rumah. Kenapa? Kamu lagi di sini, ya?"


"Enggak. Ini aku mau minta tolong, pinjam 10 juta..."


Salma langsung mem-pause tontonannya dan berfokus pada panggilan telepon sembari menjawab, "Aduh, Teee... bukannya enggak mau, tapi aku enggak ada."


"Enggak ada banget, ya? Aku lagi butuh banget..."


"Iya, enggak ada, Te. Kemarin ada yang mau minjem 3 juta juga, aku cuma bisa minjemin 500 ribu..."


"Tapi aku butuhnya 10 juta, Salma..."


"Beneran enggak ada. Aku lagi kosong, setahun ini lagi nganggur... udah coba pinjam ke yang lain?"


"Sudah... aku udah coba ke Hans, Aldi, Gina..."


"Dela udah?"


"Aku enggak yakin sih..."


"Tapi kayaknya dia punya tabungan cukup, ya..."


"Ya udah, makasih ya, Salma. Aku coba ke yang lain."


"Iya, Tee. Semoga segera dapat, ya..."


Tuut. Sambungan telepon diputus.


Salma tertegun, merasa bersalah karena tak bisa membantu Grity. Ia sadar bahwa dirinya tak pernah menyiapkan uang dingin, tak punya simpanan, dan hanya bergantung pada bisnis keluarga selama setahun ini.


Ia benar-benar merasa bersalah. Di media sosial, ia selalu menunjukkan dirinya baik-baik saja—bisa nonton, jalan-jalan, main, bisnis keluarga lancar. Namun, kini ia menyadari bahwa tak punya tabungan sendiri membuatnya berpikir ulang. Merenung.


Salma memang tak pernah meminjam uang teman-temannya, kecuali sekadar "pakai dulu" saat makan bersama, titip barang lucu, atau jajanan. Pernah juga ia meminjam uang untuk bayar kuliah, tapi itu karena ia tahu bulan depan proyeknya cair dengan nominal dua kali lipat. Persoalan ini muncul karena ia tak punya simpanan, meski sudah mewanti-wanti beberapa bulan sebelumnya bahwa ia akan butuh uang.


Soal pinjam-meminjam, baginya, ada hal yang harus dikuatkan: mental bahwa uang itu mungkin tak akan kembali. Setelahnya, ia menarik garis—tak mau lagi berurusan dengan orang itu dalam urusan uang dan bisnis. Salma paham betul segala risikonya.


Tapi kali ini, ia merasa sangat bersalah karena benar-benar tak punya uang untuk dipinjamkan. Grity, selama 10 tahun lebih mereka berteman, tak pernah punya masalah finansial. Ini pertama kalinya. Suara Grity yang terdengar putus asa barusan mengisi kepalanya. Salma membuka media sosialnya, melihat foto-foto mereka waktu SMA—Grity yang dermawan, yang menyambutnya saat ia sampai di kota baru, tempat Grity bekerja.


"Harusnya aku bisa bantu," gumamnya, menatap layar laptop yang masih memajang drama favoritnya. Tapi episode kali ini tak lagi menarik. Jarinya mengetik pelan di kalkulator: 500 ribu x 20 bulan. Angka itu cukup untuk jadi dana darurat.


Esok pagi, Salma membuka aplikasi bank dan memindahkan sebagian uang jajannya ke rekening baru dan mengganti nama icon dengan nama "Jangan Sentuh". Ia tak tahu kapan Grity akan membutuhkannya lagi, atau kapan ia sendiri akan terjepit. Tapi setidaknya, kali ini ia tak ingin hanya bisa menggeleng.


"Drrtt... drttt..."


Ponselnya bergetar. Notifikasi dari Grity:

"Sal, aku ada di kota ini weekend ini. Ketemuan yuk, makan siang."


Salma tersenyum, membalas cepat:

"Boleh bangeeet. Aku yang traktir yaaa."


Ia mematikan laptop, lalu menyimpan kalkulatornya di laci. Masih ada sisa uang untuk ditabung hari ini.

Tamak

Duhai kasihku,

Jika benar kau mencintaiku, apa bentuk cinta yang kau tawarkan?

Jaminan udara dari air purifier itu?

Air bersih dari filter batu alam tiruan?

Atau nuansa hijau di taman privat?


Duhai kasihku,

jika benar seperti itu,

aku jadi takut padamu,

bentuk manusia yang mencoba bersaing dengan Ia Yang Maha Kuasa


Duhai kasihku,

sebelum hadirmu, sebelum ku pinta pula pada Nya

Pohon-pohon sudah memberikan udara terbaik kelas satu

Sebelum hadirmu, batu sungai sudah memurnikan air terbaik untuk minum dan mandiku

Sebelum hadirmu, rancangan gunung, hutan, air terjun sudah tersaji di depan mata untuk siapapun bisa melihat


Duhai kasihku,

jika benar kau mencintaiku

berilah aku cinta yang tulus, bukan sajian palsu yang kau tiru terus menerus


Duhai kasihku,

Jika benar kau mencintaiku

setidaknya kau memahami bahwa aku takkan mampu menelan dunia


Duhai kasihku

Jika kau mencintaiku

dan sungguh-sungguh mencintaiku,

seharusnya kau akan mencintai seluruh keturunan kita, kelak.


#SaveRajaAmpat

Mimpi Seperti Itu Lagi (Cerpen)

 Aku membuka mata dengan perasaan sesak di dada. Terbangun dan duduk di tempat tidur. Tak lama, air mataku mengalir dengan sendirinya. Baru saja aku bermimpi sesuatuyang tak terjadi, namun perasaan nyata itu membuatku semakin sakit.


Bahkan aku bisa menceritakan mimpi itu lagi. Aku diantar oleh Ayah untuk pergi ke suatu cafe. Nyaris larut malam. Hari hujan. Saat aku sampai, salah seorang temanku sudah mau pulang dan Ayah menawarkan untuk menngantarnya sampai simpang terdekat. Aku tau kenapa temanku ini ada di dalam mimpiku. Karena aku punya pekerjaan dengannya yang belum selesai.


Aku masuk kedalam cafe itu. Memesan beberapa menu terlebih dahulu. Dari kejauhan, teman-teman sudah melihat keberadaanku. Kau, melambai ke arahku. Cukup lama aku berbicara dengan pelayan kasir, lalu setelah menyelesaikan transaksi, aku pun berjalan ke meja lesehan di pojok itu. Di meja ada kau, teman kita dan pasangannya, dan satu teman lagi. Berlima dneganku, kita duduk di meja itu. Obrolan seperti biasa terasa akrab, sampai akhirnya kepada pembicaraan sensitif yang bahkan kia berdua juga menjaganya agar tidak pernah permbicaraan itu terjadi dianatara kita. Aku terkejut. Karena aku tau betul, di dunia nyata takkan mungkin kamu melakukan hal ini, terutama di depan teman-teman kita. Masalahnya, kamu tiba-tiba berpindah duduk disebelahku. Aku yang sulit kontak mata dengan lawan bicara, kali ini aku menatap matamu. Sial, tatapan itu terasa begitu dalam. Aku dapat melihat warna coklat tua, gradiasi antara pupil dan sklera di balik kornea matamu. Menatap lekat setiap detail bulu mata, raut alis yang menujukkan ekspresi menekan ku untuk segera menjawab pernyataanmu. Dan di detik ketidaknyamanan itu aku kabur dengan terbangun di dunia nyata.


Pukul dua pagi. Secara sadar aku mengilhami ini bagian dari kasih sayang Allah, di tengah malam, sebaiknya aku segera bermunajat dan meminat ampun.


Aku kembali melanjutkan tidur dan mimpi itu berlanjut dengan memori samar. Kembali aku terbangun dengan perasaan sesak yang sama.


Ini salahku membangun diorama kisah itu didalam ruang memori. Dengan mudah aku terhanyut hanya dengan satu-dua kata dari sudut pandang orang lain dalam melihat kedekatan kami. Padahal sejak lama pembicaraan ini sudah disepakati, antara kita berdua memang suka membangun relasi dengan banyak orang. Kita memang senang berteman, dan diantara kita juga memang hanya sebatas teman.


Baik aku dan kau pasti merasa ketidaknyaman yang sama jika ini bermuara pada masalah asmara. Kita hanya teman diskusi, teman cerita dengan tipe canda setara. 


Aku sudah pernah patah hati tepat disaat aku baru memutuskan untuk jatuh kedalam cinta. Kali pertama sakit luar biasa hingga butuh waktu tahunan untuk kembali membuka hati. Kali kedua, serupa. Hanya saja pemulihannya tidak begitu lama. Aku cukup sekali memutus hubungan dengannya, lalu urusan ku selesai begitu saja. Dan aku tak ingin jadi keledai, jatuh di lubang yang sama. Seperti lirik dari lagu 'Jangan jatuh cinta' dari Maidany - Tuhanku, berikan ku cinta, yang kau titipkan, bukan cinta yang pernah ku tanam...


Aku paham betul tipe mu. Cantik, kulitnya bersih, rapi, lemah lembut, pokoknya idealnya perempuan. Aku juga paham betul tipe ku. Maka wajar diantara kita juga seharusnya tidak akan terbentuk hubungan asmara. Masalahnya seperti pepatah jawa, witing tresno jalaran soko kulino, cinta datang karena terbiasa. Baik. Sepertinya memang harus dengan cara mengurani komunikasi sebeisa mungkin. Karena aku tak bisa langsung memblokirnya seperti kisah sebelumnya. Ia murni seorang teman dan juga tak menujukkan tanda-tanda lebih dari teman kepadaku. Kalau orang-orang bilang, takkan ada persahabatan murni antara laki-laki dan perempuan. Salah satunya pasti akan muncul perasaan. Aku akui itu. Sekarang saatnya diri sendiri kembali mengontrol diri.


Semoga takkan ada lagi mimpi-mimpi serupa di kemudian hari dalam sistuasi seperti ini. Berbahaya sekali.


Guna tak Berguna

Jika  ucapan tak lagi mampu dimengerti

Jika teriakan tak mampu lagi dipahami

Apalagi sikap dari sekitar, pasti sudah mati

Apalagi peringatan yang bisa diberi


Ego mu tinggi tak ada guna

Kuasa hanya akal-akalan iblis saja

Kepuasan takkan pernah ada ujungnya

Tak ada nikmat jika sendiri saja


Jika tak mampu, belajarlah dahulu

Jika tak mampu, biarkan yang lain membantu

Jika tak mampu, turunkan sedikit egomu

Jika tak mampu, paksalah agar mampu


Umur semakin menua

Yang ingin dibuktikan sudah mati semua

2,8 juta jiwa masih bernyawa

Dijadikan taruhan manusia tanpa jiwa.


-Setelah 3.5 Jam.



Gotong Royong

Suatu hari rasanya ingin menanam pohon

Lalu bercerita, mereka mendengarkan

Suatu hari kamu memikirkan pohon apa yang ingin ditanam

Lalu berdiskusi, semua sibuk menghalangi

Suatu hari kamu menanam pohon impian

Lalu menunjukkan, dan lainnya berkata akan semoga bisa 

Suatu hari pohon kamu terkena rayap, hari lainnya kekeringan, hari lainnya lagi diserang hama

Lalu mencari bantuan, bantuan yang didapat adalah nasihat; berhenti saja, itu akan sia-sia


Waktu berlalu, pohon berbuah ranum

Menggoda semua yang melihatnya

Hari kamu akan memanen, suara memanggil berulang kali

"Panen ya? ajak-ajak dong! Kami bantu!"


Dan semua tertawa bersama menikmati buah ranum yang lama bisa dinikmati, dari masa ke masa.


Aku ingin

Aku tak ingin pintar jika membuat ku tak bisa mendengar

Aku tak ingin kaya jika membuatku merasa berkuasa

Aku tak ingin tenar jika membuatku merasa benar

Aku tak ingin sesuatu jika pada akhirnya tiada arti dibawah batu.

Lama Tuan

Diriku sesungguhnya mudah sekali ditebak, tuan

suka jika suka

sedih jika sedih

kecewa jika kecewa

tertawa saat merasa bahagia

meninggikan suara saat amarah membalut

mengecilkan suara jika kepercayaan diri menciut


Hatiku sesungguhnya lemah sekali, tuan

mudah terbawa perasaan

baik sedikit pikiranku sudah kemana-mana

imajinasiku jauh menuju masa depan

bayanganku mengikuti alur cerita

ah, memalukan


Tapi aku menahan semuanya, tuan

lama sekali prosesnya

hingga aku terlihat tak ada ekperesi apa-apa

hingga tawaku terlihat palsu

hingga sedihku ditutup canda

dan amarahku dianggap angin lalu saja


dan hingga perasaanku sama sekali tak terbaca

samar.

For Val - Sebuah Cerita Pendek untuk Mengenang

Aku bangun dengan mata sembab pagi itu. Badanku terasa letih usai perjalanan panjang. Aku baru tiba di rumah semalam, sekitar pukul setengah sepuluh, setelah menempuh penerbangan malam.

Karena kepalaku sedikit pusing, aku tak melakukan kebiasaanku seperti biasa—mencari smartphone begitu bangun tidur. Aku segera mandi untuk menyegarkan diri, mengenakan pakaian, dan bersiap untuk sarapan bersama keluarga. Ini hari Jumat, hari yang menyenangkan bagi umat Muslim. Baru sekitar pukul 10, aku mencari handphone dan membukanya. Ada pesan WhatsApp dari salah satu adik kelasku di kampus.

"Kak, udah dengar kabar? Vallenza meninggal."

Deg. Jantungku serasa dipukul mendadak. Aku mencoba mengingat kapan terakhir kali mendengar kabarnya.

Tepat kemarin, sebelum aku terbang, aku sempat melihat postingan penggalangan dana untuk Vallenza di media sosial himpunan jurusan kami. Saat itu, aku berpikir, "Ah, besok setelah beres-beres sebentar, aku akan menjenguknya."

Namun ternyata, semuanya terlambat. Aku membuka kembali percakapan kami di WhatsApp. Dalam pesannya, ia pernah bercerita bahwa kemoterapi sangat menyakitkan.

Aku membuat status WhatsApp untuk mengenangnya, dan seorang junior membalas, menanyakan apakah aku akan pergi ke rumah duka. Saat itu, aku tidak memikirkan masalah agama. Yang ada di benakku hanya satu: aku ingin melihatnya untuk terakhir kali.

Kami pun berangkat ke rumah duka. Perasaanku sedih.

Sesampainya di sana, kami menuju ke arah belakang, tempat persemayaman. Semua teman satu angkatannya berkumpul di sana. Aku menyalami ayahnya, yang kemudian mengajak kami berdua untuk melihat Valen.

Saat melihatnya, air mataku tumpah. Aku menangis tersedu-sedu, dadaku terasa sesak. Wajahnya tak lagi bernyawa. Aku tidak tahu keajaiban apa yang terjadi, tapi ia tidak sekurus saat terakhir kali kami bertemu. Rambutnya dipasangi wig, membuatnya terlihat seperti dirinya saat masih sehat. Dengan suara bergetar, ayahnya berbicara kepada jasad Valen, "Alo, Nak, lihat teman-temanmu dari kampus datang. Alo, kakakmu di kampus kemari buat lihat kamu, Nak."

Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya tertunduk menangis, lalu berbalik badan menuju tempat duduk bersama para pelayat lainnya.

Ayahnya mengatakan bahwa ia akan dikremasi lusa.

Aku terduduk, mengenang bagaimana pertemanan kami terjalin.

***

Akhir 2022, aku sedang berada di provinsi sebelah untuk bekerja beberapa waktu. Himpunan jurusanku menghubungiku, memintaku membuka stand untuk meramaikan dies natalis fakultas kami. Aku kebingungan karena tak ada yang bisa menjaga stand. Salah seorang junior berjanji mengumpulkan beberapa teman lain untuk membantu.

Melalui telepon, ibuku yang turut memantau stand bercerita bahwa ada seorang anak yang sangat ceria dan bersemangat dalam mempromosikan produk kami.

Saat aku kembali ke kampus, aku bertemu dengannya yang lebih dulu menyapaku. "Kak! Kakak Kak Iyah, ya? Aku Valen, yang kemarin jaga stand mama Kakak!" Aku terkesiap melihat anak yang sangat ramah ini.

Obrolan kami berlanjut ke pembidangan semester lima. Ia berkata ingin masuk ekologi hewan. Aku senang mendengarnya, karena itu berarti kami akan sebidang.

Aku juga pernah menjadi asisten laboratorium untuk praktikumnya saat sedang senggang. Aku pernah memarahinya karena selalu membawa kipas angin tangan saat praktikum. Aku galak, tapi ia hanya tertawa, tetap ceria, dan ikut memperbaiki gambar praktikum bersama teman-temannya.

Anaknya cepat akrab. Kami sering membalas story Instagram jika ada sesuatu yang lucu atau menarik. Kadang, ia membuat video jedag-jedug tentang teman-temannya.

Suatu hari, aku meminta bantuannya, tapi untuk pertama kali ia menolak, mengatakan bahwa dadanya sakit. Sorenya, aku menemukannya di salah satu ruang laboratorium.

"Kenapa tidak ke klinik?" tanyaku, berpikir bahwa ia hanya malas membantuku.

"Kemarin sudah, Kak. Besok ngambil darah lagi. Ini cuma butuh istirahat sedikit aja."

"Kamu sakit apa?"

"Belum tahu, Kak."

Lalu tibalah hari ketika hasil pemeriksaannya dibacakan. Ia didiagnosis tumor paru. Namun, katanya, tumornya masih kecil dan bisa sembuh dengan operasi kecil serta beberapa kali kemoterapi.

Tak lama setelah itu, ketua jurusan meminta Valen cuti agar fokus dengan pengobatannya. Aku kesal karena ia sudah semester tujuh yang sebenanrnya sudah tidak banyak aktivitas perkuliahan. 

Aku mengenal banyak pasien kanker dan tumor yang berhasil sembuh. Aku percaya Valen juga akan sembuh. Aku bahkan melupakan fakta bahwa ia sedang sakit parah. Kami tidak pernah membicarakan kemungkinan terburuk, karena aku yakin ia akan baik-baik saja. Lihat saja, ia sudah bertahan lebih dari tujuh bulan dan masih bisa datang ke kampus...

***

Namun ternyata, yang bertahan hanya memori tawa dan keceriaannya, bukan raganya di dunia.

Di bangku pelayat, adik kelasku bertanya kenangan apa yang membuatku begitu sedih saat melihat jasadnya.

Aku bilang, bukan kenangan. Kenangan bersamanya selalu menyenangkan. Yang membuatku menangis tersedu adalah ketika aku tak mampu mengucapkan apa pun di depan tubuh yang telah berpisah dengan nyawa.

Ia pergi tepat di hari Jumat, dan keesokan harinya adalah Ramadan. Ia pergi di waktu yang diidamkan banyak Muslim. Ia pergi setelah menahan sakit begitu lama, yang pasti telah menggugurkan banyak dosanya—jika ia seorang Muslim. Namun aku tahu, takkan ada doa-doa dariku yang sampai kepadanya di alam yang berbeda.

Jika kami masih berada dalam satu alam, aku masih bisa mendoakan keselamatan dan keberkahan hidupnya. Tapi kini, ketika alam kami sudah berbeda, tentu tidak ada lagi keterikatan di antara kami.

Yang kutangisi adalah kenyataan bahwa aku tak bisa lagi mendoakanmu.

Kini, kamu sudah bersatu dengan lautan. Jasadmu dikremasi dan abumu dilarungkan ke laut. Kamu telah menjadi bagian dari ekosistem perairan, memberi nutrisi kepada ikan-ikan.

Kamu seperti hiburan di dunia, kehadirannya singkat saja.

Selamat jalan, Vallenza.

Teori Ikatan Hati (Cerpen)

Udara siang itu terasa gerah, angin sesekali bertiup pelan, membawa aroma kertas dan tinta dari dalam ruangan administrasi. Kampus mereka sedang program ecogreen time, jadi untuk mengurangi penggunaan listrik, pendingin ruangan dan pengeras suara dimatikan. Suasana terasa beitu lengang. Jendela-jendela dibuka. Karena pada dasarnya arsitektur kampus ini bagus, sirkulasi udara berlangsung baik. Hanya saja suhu diluar tak bisa berbohong.


Beberapa mahasiswa lain terlihat menunggu, beberapa berbicara pelan, sementara yang lain sibuk dengan ponselnya. Tita dan Ulya duduk di bangku panjang depan ruangan. Mereka berdua sudah menyelesaikan studi magister bulan lalu. Hari ini, mereka datang untuk mengambil ijazah dan transkrip sebagai penanda resmi bahwa masa perkuliahan telah benar-benar berakhir.  


"Habis ini mau ngapain ya? Kerjaan udah ada, kemarin ambil S2 juga buat upgrade ilmu aja."  Ulya mencoba mencari bahan obrolan selagi menunggu. Ia sudah bosen scroll-scroll layar ponselnya.


"Sama, aku juga belum ada rencana ganti karir," jawab Tita, menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Tapi kalau ada kesempatan yang lebih baik, sebenarnya aku mau pindah kerja."  


"Memang kantor lo nggak nyaman?" tanya Ulya, menoleh ke arah sahabatnya. Setaunya, kantor Tita cukup homey dan juga penghasilan sesuai standar.


"Nyaman sih, cuma kan kita nggak bisa selamanya di zona nyaman. Lagian aku juga mau nyari peluang."  


"Weeeesss, ngincer gaji lebih tinggi nih kayaknya?" goda Ulya, menaikkan alisnya sambil tertawa kecil.  


Tita ikut tertawa, lalu menggeleng. "Ya kalau itu sih nggak nolak juga, tapi aku lebih pengen nyari sirkel baru. Lagi pengen serius cari jodoh."  


Ulya tertawa lepas. "Nyari jodoh jangan di tempat kerja lah, males banget jadi bahan gosip kantor."  


"Sirkel-nya loh," Tita menekankan kata itu. "Siapa tahu ada connecting line baru, memperpendek benang merah jodoh."  


"Iya kalau memperpendek, kalau malah makin panjang? Kusut pula."  


"Eh, ngomong yang baik-baik aja. Ucapan itu doa, loh," tegur Tita, serius.  


"Hehe, iya-iya, maaf,"   


Tita melirik Ulya yang juga belum memiliki pasangan sepertinya dengan penasaran. "Kamu sendiri, nyari apa sih biar yakin kalau dia pasanganmu?"  


Ulya sudah beberapa kali mencba punya hubungan namun kandas. Ia terdiam sejenak, seperti memilih kata-kata. "Nyari chemistry."  


Tita menaikkan alis. "Ngapain nyari kimia?" tanyanya dengan wajah polos pura-pura tidak paham.  


"Aduh, kamu nggak ngerti bahasa zaman sekarang," keluh Ulya sambil menggelengkan kepala.  


Tita tertawa. "Haha, becanda. Aku tahu kok. Maksudmu nyari ‘klik’-nya, kan?"  


"Iyaaa..." Ulya menghela napas. "Soalnya kalau ditanya aku nyari yang gimana, aku juga bingung jawabnya."  


"Bingung atau nggak percaya diri?" Tita menatapnya penuh arti, sedikit menantang.  


"Ya... itu juga ada. Takutnya aku nyari yang terlalu tinggi, ternyata value-ku sendiri nggak nyampe ke situ."  


Tita menyilangkan tangannya di dada. "Ya tingkatin dong value-mu, jangan malah nurunin standar."  


"Enak banget ngomongnya. Kamu sendiri aja juga masih nyari," balas Ulya sambil melirik tajam.  


"Hehehe, ya ini lebih ke obrolan teman senasib sih. Mana tahu ada hikmahnya," ujar Tita sambil tertawa kecil.  


Tiba-tiba, Ulya berkata, "Sebenernya kalau soal chemistry, di antara kita juga ada chemistry loh."  


Tita langsung menoleh tajam. "Astagfirullah, aku masih normal ya," ucapnya refleks.  


"Duh, udah magister tapi masih dangkal ya, Bu," sahut Ulya sambil menggelengkan kepala.  


"Becandaaa," Tita tertawa, pipinya sedikit merona.  


"Kimia itu kan sebenarnya interaksi dan ikatan. Ada yang saling bertemu tapi nggak bereaksi, ada yang bereaksi tapi nggak terikat, ada juga yang terikat tapi lemah. Macam-macam. Semua dari kita pasti punya chemistry dengan orang lain."  


Tita mengangguk, mulai memahami arah pembicaraan. "Betul juga. Berarti aku harus cari chemistry yang kayak apa yang mau aku bangun sama pasangan nanti."  


"Kalau aku sih, pengennya kayak pertemuan aluminium sama merkuri," kata Ulya tiba-tiba.  


Tita mengernyit. "Kenapa gitu?"  


"Aku pernah lihat videonya. Nih, bentar... Nah, lihat ini," Ulya menunjukkan sebuah video di ponselnya. "Mereka ‘growth’ tanpa menghilangkan identitas asli masing-masing."  


Tita memperhatikan dengan serius. Dalam video itu, reaksi antara aluminium dan merkuri membentuk pola unik yang terus berkembang tanpa merusak struktur dasarnya.  


"Wow, keren! Aku baru lihat video ini. Selama ini isi explore-ku cuma quote-quote galau atau soal mental illness," ujarnya, terkekeh.  


"Makanya, harus ngebangun sirkel baru biar wawasanmu lebih luas. Jadi isi explore-mu nggak itu-itu aja."  


Sebelum Tita sempat membalas, pintu ruang administrasi terbuka. Seorang pegawai tata usaha memanggil nama mereka dan menyerahkan berkas ijazah serta transkrip mereka. Akhirnya, urusan mereka selesai.  


Saat berjalan keluar gedung, angin sore mulai berhembus lebih sejuk. Mereka berdua melangkah santai di sepanjang koridor kampus menuju parkiran, merasakan nostalgia yang perlahan menyelinap di antara percakapan ringan mereka. Dan berikutnya —entah dengan siapa dan di mana chemistry itu akan membawa mereka.  


Tita membuka pintu mobilnya dan menoleh ke Ulya sambil tersenyum. "Aku tunggu undangan nikahmu, ya."  


Ulya tertawa kecil. "Aku juga ya! Hahaha."  



Hati Nurani Telah Mati

Entah siapa Nur Ani

Entah dari mana dia datang

Dan entah kapan dia pergi


Kenapa bisa hatinya mati?

Mungkin sel-selnya sudah tidak berfungsi?

Karena rusak setelah organ pendukung lain malfungsi?


Entah siapa Nur Ani

Namanya sering disebut-sebut di bangku sekolah dasar

Namanya digaungkan pada pelajaran moral dan etika


Tapi buat apa kita memikirkan Nur Ani

Yang kita butuh kulit-kulit sehat

Berkilauan agar paripurna di layar ponsel seseorang


Dampak-dampak-dampak, harus terlihat jelas

Baik atau buruk itu masalah presepsi

Nur Ani tak mengerti cara kerja dunia saat ini


Lapar-lapar-lapar, ya dikasih makan

solusinya harus tepat dan terlihat

Nur Ani tak bisa mengikuti cara kerja dunia saat ini


Kalau hati Nur Ani mati, wajar saja

Sudah tidak dikasih makan di era modernisasi

Didukung organ pelindung tak bekerja semestinya


Nama Nur Ani sudah lama hilang dari peredaran

Buku tematik tak lagi memuat namanya

Wajar saja, jika hari ini tak ada yang mengerti si Hati Nurani.


-

4 Februari 2025

Ditulis menyikapi pemberitaan mengenai kebijakan pemerintah tanpa kaji.



Jalani saja

aku tidak menyukai diri

yang tidak mampu mengendalikan diri

aku tidak menyukai hidup

yang ingin mengakhiri hidup


Dimana salahnya

ketidaktahuan

Dimana celahnya

merasa sendirian


Tak tau apakah perjalanan ini

masih panjang atau besok berhenti


Mengapa yang lain bisa berlari

seolah tak ada penghambat dihati

Jiwa ku semakin sulit mengerti

bisakah aku mengendalikan diri

A Garden

It’s not my first time,

This bloom within my chest,

A seed so small, now sprawling,

Turning calm into unrest.


Should I hold it tightly?

Or let it freely grow?

Its roots dig deeper daily,

Yet where it leads, I do not know.


The petals ache with beauty,

Each color speaks of pain,

If I grip too hard, they crumble,

If I let go, they reign.


This seed, a gift—or accident—

From hands that brushed my own,

Did you mean to plant it?

Or was it tossed, unknown?


Day by day, it changes,

Its whispers fill my mind,

A garden growing wildly,

With peace I cannot find.


But maybe in this chaos,

The flower tells me true:

That every bloom holds choices,

And all the roots lead to you.

Permintaan Ibu

 (Mungkin tak mewakili untuk beberapa kasus)

----

Jadilah bahagia seperti ibu minta

Jangan tunjukkan wajah tersiksa

pergilah jika disana banyak luka

Ibu doakan hidupmu lebih banyak tawa


Jangan menangis jika tak dipelukku

Jika sedihmu terjadi disaat jauh

Penuh pikir ibu ingin menyusulmu


Doa ibu ingin hidupmu mudah

Penuh ceria dipenuhi berkah

Meski ujian datang dan pergi

Kembali pada ibu untuk menemani


Langkah demi langkah teriring doa

Menyelimuti melalui angin perantauan

Dan tiba-tiba saja damai terasa suasana


Jadilah bahagia seperti ibu minta

Jangan tunjukkan wajah tersiksa

Pergilah jika disana banyak luka

Ibu doakan hidupmu lebih banyak tawa




------

Medan, 15 Januari 2025

Malam-malam penuh pinta.


Roman-Roman

Jika romantis adalah memberi bunga

Maka romantis juga dari tertawa bersama

Jika romantis dengan mengajak ke restoran bintang lima

Maka romantis juga dari kehadiran tak terduga

Jika romantis adalah sebuah pelukan

Maka romantis juga dari memberikan makanan

Jika romantis adalah sebuah ciuman

Maka romantis juga dengan memberi pujian

Jika romantis adalah pernyataan cinta

Maka aku menerima dengan baik itu semua

Unapologetically Free

For everything they regret about me,

I never regret it, wild and free.

Their doubts, their fears, their whispered lies,

Can't chain my soul, can't dim my eyes.


I roam the edges, untamed, unbound,

A rebel's heart where dreams resound.

Their rules, their molds, they’re not for me,

I carve my path, my destiny.


Let storms rage on, let shadows creep,

I'll dance in flames, I'll never weep.

For every scar, a story's told,

Of courage fierce, of spirits bold.


Through every trial, I’ve always known,

My faith in God has only grown.

I trust His plan, the path He’s made,

A life of purpose, unafraid.


So let them talk, let judgment fall,

I'll rise above, I’ll have it all.

The world is mine, the sky, the sea,

With faith in Him, I’m unapologetically free.

13 January, 2025
02:44 WIB, Me&Co

Segelas Kopi Robusta Tidak Bisa dibaca

Aku menggaruk-garuk lengan sendiri yang tak gatal, menggoyangkan kaki ke lantai tak henti, rahang terasa keras, padahal ini sudah masuk waktu tidur malamku. Sudahpun terlewat beberapa jam. Seperti ada perasaan bersalah, lebih dari gelisah tak terarah.

Jemariku kembali membuka layar ponsel pintar. Menutupnya. Membuka kembali. Entah apa yang dicari. Mencoba mengalihkan perhatian dengan melihat-lihat berita di beranda linimasa, tak juga mengalihkan perasaan berkecamuk ini. Heningnya malam memperkeruh suasana. Jika saja ada hujan, mungkin aku bisa larut dalam suara deru benturan air dari langit itu.

Memoriku memutar kejadian hari ini untuk dicerna apa yang membuat malam ini diriku terasa begitu kacau. Satu, obrolan pagi tadi seputar aku yang akan kembali mencoba berproses untuk hubungan serius dengan seseorang. Sialnya, meski tak begitu mudah jatuh cinta setelah patah hati untuk kedua kalinya, perlahan aku menyukai seseorang melalui konten-kontennya di sosial media. Aku sudah mencoba mencari jalur yang benar untuk menyampaikan perasaan ini. Tapi ternyata sementara ini tidak ada jalurnya. Aku dan si pemilik konten hanya sebatas saling mengikuti di sosial median. Jangan tanya bagaimana bisa terjadi, karena akupun tidak tau. Aku suka sembarangan mengikuti kembali orang-orang di sosial media. Harus bagaimana mengelola rasa suka seperti ini. Aku merasa seperti seorang penggemar yang menyukai artis dari layar kaca. Bedanya, yang ini aku berharap ada jalannya karena ia beberapa kali melihat cerita yang akau unggah di sosial media. Bahkan aku tidak berani mengikuti tantangan tiga puluh hari bercerita karena takut perasaanku yang mudah terbaca. Aaah, sebenarnya mauku apa.

Malam semakin larut, sudah pagi malahan. Aku merasa seperti seseorang yang begitu mudah terbuai akan rasa suka. Teman yang tak pernah aku perhatikan bisa memiliki hubungan lebih dari pertemanan, tiba-tiba usil menggoda dari kolom komentar. Padahal ia tau betul bahwa jika aku sudah terlibat perasaan dengan seseorang aku bisa pergi meninggalkan orang itu karena takut rasa itu berkembang ke arah yang liar. Kebodohanku karena pernah membuka pembicaraan ke arah percintaan. Sialan.

Rasanya seperti sedang menelan guli. Terputar-putar didalam tenggorokan, menelan tak mungkin, mengeluarkan berat rasanya.

Selembar nota dari cafe yang baru saja kudatangi tadi terjatuh dari atas meja. Aku mengutipnya dan membca salah satu menu disana. Espresso double shot. Bagus. 2% kafein meresap sempurna dalam pipa-pipa kapiler, memacu jantung lebih cepat dari biasanya, oksigen turut meresap dua kali lebih cepat, ATP juga diporduksi lebih banyak. Wajar saja aku mengoceh tanpa henti, mata berbinar terang benderang. ditambah tawa-tawa sedikit saja, bisa-bisa aku dikira pakai narkoba.

Sudah tau begitu, masih saja aku tak bisa membaca -- atau bertanya, apa komposisi pesanan yang kuminta. Karena begitu sudah tersaji, segelas kopi takkan bisa dibaca.


Kata

Perempuan jika punya dua saja

Paras elok dan berpunya

Maka selesai tiga perempat urusannya di dunia


Ya, kita sedang cerita dunia.


                            Ah, dasar kamu sedang iri saja

                            Kamu ingin dikatakan juga cantik dan berdaya?

                            Kan kata-kata itu sudah pernah kamu terima


Ya, kita sedang cerita dunia.


Dunia ini berisik sekali ya... (Cerpen)

 "Ck.","Ah! Tsk, ck, ah!." 


Rifda menolehkan kepalanya ke asal suara dan merespon,"Ada apa sih, Cel. Gak nyaman banget ngedenger kamu berdecak kesal begitu." 


"Aku enggak suka hari ini."


"Ke.." Belum selesai Rifda membalas, Celia sudah menimpali,"dan lebih tidak suka karena tidak bisa nge-skip malam ini."


"Ih aneh kamu. Orang-orang tuh selalu nunggu malam pergantian tahun. Beberapa kepercayaan juga memilih refleksi keluarga pada momen ini."


"Anehan mereka lah, kayak udah ngerti aja refleksi diri sendiri, belum ngerti, belum sembuh retak-retaknya malah nyari pasal ngeretakin yang udah retak." Celia membalas dengan bahasanya yang sering sekali filosofis.


"Lagi bicarain keluarga sendiri, huh?" Sindir Rifda. 


"Ikan aku ga perlu ih refleksi, evaluasi, intropeksi, induksi, kayak-kayak gitulah,"


"Buset ni anak, kayak udah ga punya keluarga ampe peliharaan diaku-akuin keluarga."


"Keluarga itu tempat kita percaya, tempat kita pulang."


"Kalau kamu masih tinggal di Indonesia, pakai defenisi keluarga dari KBBI, lah! Kebanyakan baca buku barat nih, gini." 


"Ya, ya, terserah, pokoknya aku mengevakuasikan diriku sendiri dulu ya, semalam saja. Jangan cari aku!"


"Kalau aku ingin mencarimu?"


"Cari saja di tempat sepi."


***


Tahun baru Rifda kini memiliki ritual baru. Tiap kali ia mencari sahabat satu kosannya yang selalu mengeluhkan isi dunia, kini dia hanya perlu ketempat sepi itu. Celia benar, bagaimana dunia tidak begitu berisik, tahun baru saja disambut dengan dentuman susul menyusul. Entah mau memberitahu siapa kalau bumi telah menyelesaikan rotasinya. Kan semua juga tau.


"Cepat sekali sih menyendiri, padahal menikmati berisik ini sebentar lagi kan tak apa, Cel." ujarnya sambil memasukkan bunga pada pot diatas gundukan itu. Ia menyirami gundukan dengan beberapa rumput tumbuh diatasnya sambil bergumam,"Tak perlu kubersihkan ya, biar sejuk."


*** fin.

Tags