"Ck.","Ah! Tsk, ck, ah!."
Rifda menolehkan kepalanya ke asal suara dan merespon,"Ada apa sih, Cel. Gak nyaman banget ngedenger kamu berdecak kesal begitu."
"Aku enggak suka hari ini."
"Ke.." Belum selesai Rifda membalas, Celia sudah menimpali,"dan lebih tidak suka karena tidak bisa nge-skip malam ini."
"Ih aneh kamu. Orang-orang tuh selalu nunggu malam pergantian tahun. Beberapa kepercayaan juga memilih refleksi keluarga pada momen ini."
"Anehan mereka lah, kayak udah ngerti aja refleksi diri sendiri, belum ngerti, belum sembuh retak-retaknya malah nyari pasal ngeretakin yang udah retak." Celia membalas dengan bahasanya yang sering sekali filosofis.
"Lagi bicarain keluarga sendiri, huh?" Sindir Rifda.
"Ikan aku ga perlu ih refleksi, evaluasi, intropeksi, induksi, kayak-kayak gitulah,"
"Buset ni anak, kayak udah ga punya keluarga ampe peliharaan diaku-akuin keluarga."
"Keluarga itu tempat kita percaya, tempat kita pulang."
"Kalau kamu masih tinggal di Indonesia, pakai defenisi keluarga dari KBBI, lah! Kebanyakan baca buku barat nih, gini."
"Ya, ya, terserah, pokoknya aku mengevakuasikan diriku sendiri dulu ya, semalam saja. Jangan cari aku!"
"Kalau aku ingin mencarimu?"
"Cari saja di tempat sepi."
***
Tahun baru Rifda kini memiliki ritual baru. Tiap kali ia mencari sahabat satu kosannya yang selalu mengeluhkan isi dunia, kini dia hanya perlu ketempat sepi itu. Celia benar, bagaimana dunia tidak begitu berisik, tahun baru saja disambut dengan dentuman susul menyusul. Entah mau memberitahu siapa kalau bumi telah menyelesaikan rotasinya. Kan semua juga tau.
"Cepat sekali sih menyendiri, padahal menikmati berisik ini sebentar lagi kan tak apa, Cel." ujarnya sambil memasukkan bunga pada pot diatas gundukan itu. Ia menyirami gundukan dengan beberapa rumput tumbuh diatasnya sambil bergumam,"Tak perlu kubersihkan ya, biar sejuk."
*** fin.