"Drrtt... drttt..."
Salma melirik dan mencari arah suara getaran. Ah, ponselnya berbunyi, menampilkan nama "Grity SMA". Meski matanya kembali berfokus pada drama serial yang sedang ia tonton, jemarinya bergegas mengangkat panggilan itu tanpa tendensi apa-apa.
"Halooo, Gritteee~" sapa Salma ramah.
"Iya, halo. Um, Salma lagi di mana?"
"Lagi di rumah. Kenapa? Kamu lagi di sini, ya?"
"Enggak. Ini aku mau minta tolong, pinjam 10 juta..."
Salma langsung mem-pause tontonannya dan berfokus pada panggilan telepon sembari menjawab, "Aduh, Teee... bukannya enggak mau, tapi aku enggak ada."
"Enggak ada banget, ya? Aku lagi butuh banget..."
"Iya, enggak ada, Te. Kemarin ada yang mau minjem 3 juta juga, aku cuma bisa minjemin 500 ribu..."
"Tapi aku butuhnya 10 juta, Salma..."
"Beneran enggak ada. Aku lagi kosong, setahun ini lagi nganggur... udah coba pinjam ke yang lain?"
"Sudah... aku udah coba ke Hans, Aldi, Gina..."
"Dela udah?"
"Aku enggak yakin sih..."
"Tapi kayaknya dia punya tabungan cukup, ya..."
"Ya udah, makasih ya, Salma. Aku coba ke yang lain."
"Iya, Tee. Semoga segera dapat, ya..."
Tuut. Sambungan telepon diputus.
Salma tertegun, merasa bersalah karena tak bisa membantu Grity. Ia sadar bahwa dirinya tak pernah menyiapkan uang dingin, tak punya simpanan, dan hanya bergantung pada bisnis keluarga selama setahun ini.
Ia benar-benar merasa bersalah. Di media sosial, ia selalu menunjukkan dirinya baik-baik saja—bisa nonton, jalan-jalan, main, bisnis keluarga lancar. Namun, kini ia menyadari bahwa tak punya tabungan sendiri membuatnya berpikir ulang. Merenung.
Salma memang tak pernah meminjam uang teman-temannya, kecuali sekadar "pakai dulu" saat makan bersama, titip barang lucu, atau jajanan. Pernah juga ia meminjam uang untuk bayar kuliah, tapi itu karena ia tahu bulan depan proyeknya cair dengan nominal dua kali lipat. Persoalan ini muncul karena ia tak punya simpanan, meski sudah mewanti-wanti beberapa bulan sebelumnya bahwa ia akan butuh uang.
Soal pinjam-meminjam, baginya, ada hal yang harus dikuatkan: mental bahwa uang itu mungkin tak akan kembali. Setelahnya, ia menarik garis—tak mau lagi berurusan dengan orang itu dalam urusan uang dan bisnis. Salma paham betul segala risikonya.
Tapi kali ini, ia merasa sangat bersalah karena benar-benar tak punya uang untuk dipinjamkan. Grity, selama 10 tahun lebih mereka berteman, tak pernah punya masalah finansial. Ini pertama kalinya. Suara Grity yang terdengar putus asa barusan mengisi kepalanya. Salma membuka media sosialnya, melihat foto-foto mereka waktu SMA—Grity yang dermawan, yang menyambutnya saat ia sampai di kota baru, tempat Grity bekerja.
"Harusnya aku bisa bantu," gumamnya, menatap layar laptop yang masih memajang drama favoritnya. Tapi episode kali ini tak lagi menarik. Jarinya mengetik pelan di kalkulator: 500 ribu x 20 bulan. Angka itu cukup untuk jadi dana darurat.
Esok pagi, Salma membuka aplikasi bank dan memindahkan sebagian uang jajannya ke rekening baru dan mengganti nama icon dengan nama "Jangan Sentuh". Ia tak tahu kapan Grity akan membutuhkannya lagi, atau kapan ia sendiri akan terjepit. Tapi setidaknya, kali ini ia tak ingin hanya bisa menggeleng.
"Drrtt... drttt..."
Ponselnya bergetar. Notifikasi dari Grity:
"Sal, aku ada di kota ini weekend ini. Ketemuan yuk, makan siang."
Salma tersenyum, membalas cepat:
"Boleh bangeeet. Aku yang traktir yaaa."
Ia mematikan laptop, lalu menyimpan kalkulatornya di laci. Masih ada sisa uang untuk ditabung hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kalau ada yang ga bagus tolong dikasi tau ya, biar penulis bisa menyempurnakan tulisannya :)
kalau ada ide lanjutan cerita juga di terima...
Makasih :D