Aku menggaruk-garuk lengan sendiri yang tak gatal, menggoyangkan kaki ke lantai tak henti, rahang terasa keras, padahal ini sudah masuk waktu tidur malamku. Sudahpun terlewat beberapa jam. Seperti ada perasaan bersalah, lebih dari gelisah tak terarah.
Jemariku kembali membuka layar ponsel pintar. Menutupnya. Membuka kembali. Entah apa yang dicari. Mencoba mengalihkan perhatian dengan melihat-lihat berita di beranda linimasa, tak juga mengalihkan perasaan berkecamuk ini. Heningnya malam memperkeruh suasana. Jika saja ada hujan, mungkin aku bisa larut dalam suara deru benturan air dari langit itu.
Memoriku memutar kejadian hari ini untuk dicerna apa yang membuat malam ini diriku terasa begitu kacau. Satu, obrolan pagi tadi seputar aku yang akan kembali mencoba berproses untuk hubungan serius dengan seseorang. Sialnya, meski tak begitu mudah jatuh cinta setelah patah hati untuk kedua kalinya, perlahan aku menyukai seseorang melalui konten-kontennya di sosial media. Aku sudah mencoba mencari jalur yang benar untuk menyampaikan perasaan ini. Tapi ternyata sementara ini tidak ada jalurnya. Aku dan si pemilik konten hanya sebatas saling mengikuti di sosial median. Jangan tanya bagaimana bisa terjadi, karena akupun tidak tau. Aku suka sembarangan mengikuti kembali orang-orang di sosial media. Harus bagaimana mengelola rasa suka seperti ini. Aku merasa seperti seorang penggemar yang menyukai artis dari layar kaca. Bedanya, yang ini aku berharap ada jalannya karena ia beberapa kali melihat cerita yang akau unggah di sosial media. Bahkan aku tidak berani mengikuti tantangan tiga puluh hari bercerita karena takut perasaanku yang mudah terbaca. Aaah, sebenarnya mauku apa.
Malam semakin larut, sudah pagi malahan. Aku merasa seperti seseorang yang begitu mudah terbuai akan rasa suka. Teman yang tak pernah aku perhatikan bisa memiliki hubungan lebih dari pertemanan, tiba-tiba usil menggoda dari kolom komentar. Padahal ia tau betul bahwa jika aku sudah terlibat perasaan dengan seseorang aku bisa pergi meninggalkan orang itu karena takut rasa itu berkembang ke arah yang liar. Kebodohanku karena pernah membuka pembicaraan ke arah percintaan. Sialan.
Rasanya seperti sedang menelan guli. Terputar-putar didalam tenggorokan, menelan tak mungkin, mengeluarkan berat rasanya.
Selembar nota dari cafe yang baru saja kudatangi tadi terjatuh dari atas meja. Aku mengutipnya dan membca salah satu menu disana. Espresso double shot. Bagus. 2% kafein meresap sempurna dalam pipa-pipa kapiler, memacu jantung lebih cepat dari biasanya, oksigen turut meresap dua kali lebih cepat, ATP juga diporduksi lebih banyak. Wajar saja aku mengoceh tanpa henti, mata berbinar terang benderang. ditambah tawa-tawa sedikit saja, bisa-bisa aku dikira pakai narkoba.
Sudah tau begitu, masih saja aku tak bisa membaca -- atau bertanya, apa komposisi pesanan yang kuminta. Karena begitu sudah tersaji, segelas kopi takkan bisa dibaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kalau ada yang ga bagus tolong dikasi tau ya, biar penulis bisa menyempurnakan tulisannya :)
kalau ada ide lanjutan cerita juga di terima...
Makasih :D