366 Hari Bersajak - 366. Selesai Lebih Baik Dari Sempurna
366 Hari Bersajak - 365. Sajak Sajak Kosong
Penghujung tahun di depan mata
Namun mataku masih berada di depan ponsel saja
Gulir, gulir, ibu jari di atas layar
Sudah penuh kepala ku dengan video dan gambar
Rasa-rasanya aku terus tak mampu
Mengendalikan emosi menggebu
Membenci alur-alur tak sesuai teori
Untuk apa mempelajari sisi kanan dan kiri
Air mata tak habis juga
Buangan memang sia-sia
Apalah jawabanku nanti
aku hanya mampu memendam dalam hati
Nyawa-nyawa hilang begitu saja
Bentuknya manusia tapi sudah tinggal raga
Disini ada yang bernyawa
Dengan raga tak berguna
Bertahun-tahun sudah masih sama saja
Putih hitam terus ada dimana-mana
Abu-abu merasa paling pengertian
Padahal tetap noda hitam jadi campuran
Katanya tidak sesederhana itu
Atau memang skenario rumit belaka
Satu-satu dapat tertipu
Hingga semua bersatu dalam neraka
Penghujung tahun di depan mata
Kenyataan pun sama berupa
tidakkah bisa semua upaya
sedikit saja terlihat berguna?
366 Hari Bersajak - 359. Semua Merayakan
366 Hari Bersajak - 356. Yang Aku Pertanyakan
366 Hari Bersajak - 355. Hari-Hari Rupa-Rupa (Cerpen)
Di penghujung fajar, seonggok daging bernyawa terburu menunaikan tugas sebagai insan berakal. Ia tegopoh menyiram air ke beberapa bagian tubuhnya. Jika mencari kesempurnaan dari ritual itu, ia akan berkata,"Wajarlah tak sempurna, bukan nabi ini boy." Ada saja jawaban ajaib mengikuti tren yang sedang berkembang. Tanpa dipikir, tanpa dikaji, semua mengikut arus nyaman dari dunia maya. Tak sampai 3 menit, usai rasanya. dan ia kembali membungkus diri untuk menghalau dingin yang menusuk. Jangan kau tanyakan soal doa-doa, lagi ia akan berkata,"Tuhan tau apa yang terbaik untuk kita."
Perlahan udara mulai menghangat, ia mengambil gawai dan mulai mengulirkan ibu jari diatas layar keatas dan kebawah. Lama, sampai ada teriakan menyuruhnya bangkit dari tempat tidur dan ia akan menjawab,"Sudah bangun dari tadi!." Entah apa bangun yang ia maksud, apakah mata yang terbuka, raga yang bergerak atau seharusnya bangun dalam artian isi kepalanya sudah dapat digunakan dengan baik untuk beraktivitas seperti orang-orang pada umumnya di pagi hari.
Bersungut merengut ia mengerjakan banyak hal dengan auto-pilot. Merasa hidup sempurnanya bukan bagian dari pertangungjawaban nantinya. Apakah ia tak pernah berpikir bagaimana bisa manusia akan mendapatkan akhir yang sama dengan usaha yang berbeda. Hidup tanpa perang, hidup tanpa kelaparan, hidup tanpa kemiskinan dan berbagai kemalangan yang menerpa banyak kalangan. Dan bukan dia.
Ia kembali mengambil gawainya, melihat ada salah satu templat dari fitur add story temannya. Iapun menambahkan kedalam ceritanya, "ah, senang rasanya sudah berbuat baik pagi ini." Kebaikan sederhana yang sangat tipis sekali dengan jumawa diri.
Hari-hari begitu normal dalam hidupnya, kadang ada tawa berlebihan, kadang ada tangis berlebihan. sesekali ia bisa menjadi taat tak ketulungan, di lain waktu menjadi futur dan mengenaskan. Tapi berkat keluarga yang katanya toxic, ia sulit untuk lama-lama dalam kefuturan. Setidaknya menjadi biasa-bisa saj ayang penting sudah melakukan kewajiban meski kesempurnaannya masih dipertanyaan. Lagi, "Wajarlah tak sempurna, bukan nabi boy."
Tapi sesekali ada perenungan dalam dirinya, bertanya-tanya bagaiman hidupnya setelah di dunia. Maka, meski ia telah mendapatkan gelar sarjana, ia pun bertanya pada AI Meta dari aplikasi Whatsapp. Jawabannya tentu, masih ngawur. Semua orang sedang membicarakan aplikasi itu sepekan ini, mempertanyakan eksistensi nama mereka di dunia digital, apakah sudah cuku terkenal atau tidak. Berusaha mencari validasi selain dari sesama manusia yang seringkali terasa palsu, padahal kecerdasan buatan benar-benar palsu.
Menjelang siang hari, bukannya mengejar dhuha -- meski kadang ia melakukannya -- ia justru memikirkan akan makan siang apa. Tak jauh dari rumahnya bisa jadi ada keluarga yang melihat apa yang bisa dimakan di rumah reyot mereka. Hidup sungguh adil dengan ujiannya masing-masing. Tapi anak manja ini dalam hati berdoa penuh takut ujian apa yang akan ia hadapi untuk kenikmatan hari-harinya ini.
Sungguh yang bisa dilakukan hanya lebih baik dari hari kemarin, atau bahkan seburuk-buruknya bertahan saja. Seonggok daging yang dibekali nyawa dan akal mungkin besok akan menjadi lebih baik. Ia akan tetap menjadi seonggok daging bergerak sampai akhir hidupnya kelak. Semoga hari-hari penuh rupa-rupa yang ia jalani menjadikan ia insan yang baik hingga akhirnya ia benar-benar seonggok daging ditanam tanah.
366 Hari Bersajak - 350. Kereta Luncur Jiwa
Duhai, pagiku tersenyum mengingat rencana hari ini
Aku akan berlarian dan sesekali melompat kecil
Duhai, indah nian hari kemarin, hari ini dan ku yakin esok hari
Dan sebagian dari kebahagiaan itu tentu ada raga menjadi andil
Tatkala jari bergulir pelan pada layar ponsel pintar
Tanpa niat, aku seperti sedang menyakiti diri sendiri
Sepasang kelopak mataku perlahan bergetar
Lalu terasa seperti ada benda tumpul memukul dada ini
Hari-hariku seharusnya riang gembira
Bentuk syukur pada nikmat sang pencipta
itu kata lagu-lagu di masa kecil
dan kini justru terasa ada sesuatu yang tak adil
Aku ingin surga
Dunia terasa menyiksa
Meski bukan aku yang disiksa
Aku mengharap surga yang sama
Keterlaluan rasanya.
366 Hari Bersajak - 335. Mencintai Ketidaksempurnaan
366 Hari Bersajak - 177. Semua Ilmu, Ada manfaatnya
Ketika kamu mengetahui bahwa ada ilmu yang tidak bermanfaat, maka itulah manfaatnya, kamu akhirnya tau kalau itu tidak bermanfaat. Bingung?
Aku semakin sering tertawa geli ketika memahami bahwa ada banyak hal yang tidak didapatkan dari bangku perguruan tinggi. Ada banyak skill yang didapatkan justru setelah menemukan kasus di pekerjaan, menguliknya, mencari tau, mencari guru, lalu menemukan jawabannya. Tapi kalau aku tidak kuliah, bahkan aku tidak akan bertemu dengan kasus itu. Bingung?
Aku tertawa miris kala melihat pedagang yang berbekal pengalaman turun temurun sama bahkan bisa menghasilkan uang lebih banyak dari seorang bergelar doktoral setelah belasan tahun. Tapi kalau tidak kuliah, aku tidak tau bahwa pedangang bisa gulung tikar tapi ketajaman berpikir tak bisa hilang begitu saja. Bingung?
Aku melihat gambar-gambar dan membaca sekilas ratusan tulisan yang telah ku hasilkan. Banyak yang sampah. Tapi aku tidak tau kalau tulisan dan karya ini sampah kalau aku tidak melihat hal yang lebih baik saat mencari referensi bagi karya-karya sampahku. Bingung?
366 Hari Bersajak - 157. Seperti Ini Saja Maunya
Jalanan pulang dihiasi titik-titik cahaya meredup
Maju kedepan, suasana semakin kelam
Memang sudah malam, ditambah dengan gulita
Toko-toko lebih cepat tutup
mesin kasir sudah hitam
takut ada yang gelap mata
Sssshuushh, shuush, seorang ibu dengan lembut meniup
anak dipangkuanya tak kunjung terpejam
Terbiasa gawai pintar, sang ibu tak lagi pintar bercerita
Sudah dua jam gawai pintar tertelungkup
karena baterainya sudah padam
anaknya takkan mengerti, masih balita
Mati listrik, semua menunggu hidup
Padahal mati, tak menunggu datangnya malam
Kita tak menunggu, nanti juga dipanggil sang pencipta
366 Hari Bersajak - 155. Kembali Pulang (Cerpen)
Tags
- Cerpen (38)
- HST (5)
- Melodi Kata (105)
- SPEAK UP (3)
- Teriakan Kata (7)