366 Hari Bersajak - 366. Selesai Lebih Baik Dari Sempurna

Sibuk nian orang-orang hari ini
Semua riuh merencanakan 
Atau menyebarkan jangan ikut-ikutan

Ini memasuki bulan tujuh pada putaran bulan
Bulan dengan banyak arahan tak bertuan
Salah-salah kita jadi bulan-bulanan

Ini tahunnya siapa ini tuhannya siapa
apakah tuhan memesan kalender dunia
padahal tanggal-tanggal tak turun dari langit

Sibuk nian orang-orang hari ini
bahkan lupa istimewa hitungan tahun ini
dan mengucapkan terimakasih tiga enam lima

di pojokan tanggal dua sembilan mengadu
padahal ada yang memberi dan mencipta
tapi bisa-bisanya makhluk memuji karangan makhluk, lucu

Sudah selesai tugas empat
Tongkat estafet diserahkan ke lima
Jangan lupa mengganti administrasi yang ada

Besok kita mulai lagi
menyelesaikan yang sudah dimulai
tau memulai sesuatu untuk diselesaikan

Terserah, yang penting baik saja
meski itu belum tentu jadi baik
Bisa, kan?


---------------------
1 Rajab 1446, memasuki usia 29.

366 Hari Bersajak - 365. Sajak Sajak Kosong

Penghujung tahun di depan mata

Namun mataku masih berada di depan ponsel saja

Gulir, gulir, ibu jari di atas layar

Sudah penuh kepala ku dengan video dan gambar


Rasa-rasanya aku terus tak mampu

Mengendalikan emosi menggebu

Membenci alur-alur tak sesuai teori

Untuk apa mempelajari sisi kanan dan kiri


Air mata tak habis juga

Buangan memang sia-sia

Apalah jawabanku nanti

aku hanya mampu memendam dalam hati


Nyawa-nyawa hilang begitu saja

Bentuknya manusia tapi sudah tinggal raga

Disini ada yang bernyawa

Dengan raga tak berguna


Bertahun-tahun sudah masih sama saja

Putih hitam terus ada dimana-mana

Abu-abu merasa paling pengertian

Padahal tetap noda hitam jadi campuran


Katanya tidak sesederhana itu

Atau memang skenario rumit belaka

Satu-satu dapat tertipu

Hingga semua bersatu dalam neraka


Penghujung tahun di depan mata

Kenyataan pun sama berupa

tidakkah bisa semua upaya

sedikit saja terlihat  berguna?


366 Hari Bersajak - 359. Semua Merayakan

Ada hari di penghujung tahun
Yang membuatku selalu bingung
Apa lagi yang mau kusandingkan
Untuk menemani buket bunga buatan

Sampai tahun dua ribu sembilan
Memilih bunga menjadi kegiatan menyenangkan
Lalu memilih dua hadiah berikutnya
Tak perlu mahal, yang penting bermakna

Kaus kaki untuk Nenek
Sapu tangan untuk Atok
Bisa juga dibalik, ah tidak bisa
Hanya Atok yang selalu terbatuk-batuk

Ada tahun dimana tabunganku habis
Untuk membeli tas barbie dengan troli
Dengan alih-alih romantis
Hadiah tahun itu kubacakan sebuah puisi

Kini aku bisa membeli selusin kaus kaki
Dan satu kodi saputangan di shopi
Tapi kaki lincah itu sudah tak ada
Dan suara batuk dengan senyum itu pun lebih dulu tiada

Di bulan desember setiap tanggal dua lima
menjadi acara kumpul keluarga
kami mengirim doa bersama
sebagai hadiah yang lebih berharga dari bunga

Ya Rabbi, sejukkan kuburnya
Berdua merupakan orangtua ibuku
Pasangan yang begitu sederhana
namun memperjuangkan segalanya demi cita-cita anak-anaknya

Ya Rabbi, tenangkan kuburnya
Zurriatnya akan mengabadikan kisah mereka berdua
Si punya yang tak jumawa
Si tak berpunya yang berusaha

Ya Rabbi, kami semua merayakan
hari kelahiran mereka berdua dan juga hari pernikahan
pertanda untuk kami mengambil pelajaran kehidupan
Maafkan jika ini sebuah kesalahan, sungguh kami hanya ingin mengambil kebaikan

Ada hari di penghujung tahun
Dan akan aku ingat dari tahun ke tahun.

Amin.


366 Hari Bersajak - 356. Yang Aku Pertanyakan

Biasanya pagi terasa riuh
Arahnya dari dapur ibu
yang tak lama berteriak
karena bantuan tak kunjung bangun

Biasanya perkemahan memulai hari dengan gaduh
Asalnya dari tim masak
kebingungan mengolah logistik
dan ternyata lupa membawa gasnya

Biasanya fajar di hutan diringi kicau
Burung-burung mencari makan, tupai dan hewan lainnya

Umumnya begitu di semua lini
Semua mengutamakan mengisi perut sejak pagi

Tapi ternyata ada suatu waktu
Tak perduli ada yang mengadu
Dengan tenang bermain dalam pikiran
Semua sesuai dan bisa pada setiap orang

Ah lucunya, yang seharusnya dimuliakan
justru ia samakan dengan hewan dan tumbuhan
Bisa mencari dan mengolah sendiri
Urusan sederhana yang bisa dilakukan sendiri

Biasanya, ada hari yang tidak seperti biasa
Ternyata ini harinya.

366 Hari Bersajak - 355. Hari-Hari Rupa-Rupa (Cerpen)

Di penghujung fajar, seonggok daging bernyawa terburu menunaikan tugas sebagai insan berakal. Ia tegopoh menyiram air ke beberapa bagian tubuhnya. Jika mencari kesempurnaan dari ritual itu, ia akan berkata,"Wajarlah tak sempurna, bukan nabi ini boy." Ada saja jawaban ajaib mengikuti tren yang sedang berkembang. Tanpa dipikir, tanpa dikaji, semua mengikut arus nyaman dari dunia maya. Tak sampai 3 menit, usai rasanya. dan ia kembali membungkus diri untuk menghalau dingin yang menusuk. Jangan kau tanyakan soal doa-doa, lagi ia akan berkata,"Tuhan tau apa yang terbaik untuk kita."


Perlahan udara mulai menghangat, ia mengambil gawai dan mulai mengulirkan ibu jari diatas layar keatas dan kebawah. Lama, sampai ada teriakan menyuruhnya bangkit dari tempat tidur dan ia akan menjawab,"Sudah bangun dari tadi!." Entah apa bangun yang ia maksud, apakah mata yang terbuka, raga yang bergerak atau seharusnya bangun dalam artian isi kepalanya sudah dapat digunakan dengan baik untuk beraktivitas seperti orang-orang pada umumnya di pagi hari.


Bersungut merengut ia mengerjakan banyak hal dengan auto-pilot. Merasa hidup sempurnanya bukan bagian dari pertangungjawaban nantinya. Apakah ia tak pernah berpikir bagaimana bisa manusia akan mendapatkan akhir yang sama dengan usaha yang berbeda. Hidup tanpa perang, hidup tanpa kelaparan, hidup tanpa kemiskinan dan berbagai kemalangan yang menerpa banyak kalangan. Dan bukan dia.


Ia kembali mengambil gawainya, melihat ada salah satu templat dari fitur add story temannya. Iapun menambahkan kedalam ceritanya, "ah, senang rasanya sudah berbuat baik pagi ini." Kebaikan sederhana yang sangat tipis sekali dengan jumawa diri.


Hari-hari begitu normal dalam hidupnya, kadang ada tawa berlebihan, kadang ada tangis berlebihan. sesekali ia bisa menjadi taat tak ketulungan, di lain waktu menjadi futur dan mengenaskan. Tapi berkat keluarga yang katanya toxic, ia sulit untuk lama-lama dalam kefuturan. Setidaknya menjadi biasa-bisa saj ayang penting sudah melakukan kewajiban meski kesempurnaannya masih dipertanyaan. Lagi, "Wajarlah tak sempurna, bukan nabi boy."


Tapi sesekali ada perenungan dalam dirinya, bertanya-tanya bagaiman hidupnya setelah di dunia. Maka, meski ia telah mendapatkan gelar sarjana, ia pun bertanya pada AI Meta dari aplikasi Whatsapp. Jawabannya tentu, masih ngawur. Semua orang sedang membicarakan aplikasi itu sepekan ini, mempertanyakan eksistensi nama mereka di dunia digital, apakah sudah cuku terkenal atau tidak. Berusaha mencari validasi selain dari sesama manusia yang seringkali terasa palsu, padahal kecerdasan buatan benar-benar palsu.


Menjelang siang hari, bukannya mengejar dhuha -- meski kadang ia melakukannya -- ia justru memikirkan akan makan siang apa. Tak jauh dari rumahnya bisa jadi ada keluarga yang melihat apa yang bisa dimakan di rumah reyot mereka. Hidup sungguh adil dengan ujiannya masing-masing. Tapi anak manja ini dalam hati berdoa penuh takut ujian apa yang akan ia hadapi untuk kenikmatan hari-harinya ini. 


Sungguh yang bisa dilakukan hanya lebih baik dari hari kemarin, atau bahkan seburuk-buruknya bertahan saja. Seonggok daging yang dibekali nyawa dan akal mungkin besok akan menjadi lebih baik. Ia akan tetap menjadi seonggok daging bergerak sampai akhir hidupnya kelak. Semoga hari-hari penuh rupa-rupa yang ia jalani menjadikan ia insan yang baik hingga akhirnya ia benar-benar seonggok daging ditanam tanah.

366 Hari Bersajak - 350. Kereta Luncur Jiwa

 Duhai, pagiku tersenyum mengingat rencana hari ini

Aku akan berlarian dan sesekali melompat kecil

Duhai, indah nian hari kemarin, hari ini dan ku yakin esok hari

Dan sebagian dari kebahagiaan itu tentu ada raga menjadi andil


Tatkala jari bergulir pelan pada layar ponsel pintar

Tanpa niat, aku seperti sedang menyakiti diri sendiri

Sepasang kelopak mataku perlahan bergetar

Lalu terasa seperti ada benda tumpul memukul dada ini


Hari-hariku seharusnya riang gembira

Bentuk syukur pada nikmat sang pencipta

itu kata lagu-lagu di masa kecil

dan kini justru terasa ada sesuatu yang tak adil


Aku ingin surga

Dunia terasa menyiksa

Meski bukan aku yang disiksa

Aku mengharap surga yang sama


Keterlaluan rasanya.

366 Hari Bersajak - 335. Mencintai Ketidaksempurnaan

Matahari dan rembulan beberapa kali berseteru
Terkadang soal rotasi
Terkadang soal bumi

Petir menyambar-nyambar
tak menyakiti, namun memberi trauma
tak lama, hujan turun dengan derasnya

Katak kecil keluar dari tempurung
Menikmati hujan yang terasa sakit
Namun nyaman

Sisi-sisi alami dari sebuah kehidupan
bukan mesin dengan coding dan logika

Matahari dan rembulan boleh berseteru
Terkadang soal rotasi
Terkadang soal bumi

Manasaja tak apa,
Selama tak menyakiti
Selama tak menghakimi

366 Hari Bersajak - 177. Semua Ilmu, Ada manfaatnya

Ketika kamu mengetahui bahwa ada ilmu yang tidak bermanfaat, maka itulah manfaatnya, kamu akhirnya tau kalau itu tidak bermanfaat. Bingung?


Aku semakin sering tertawa geli ketika memahami bahwa ada banyak hal yang tidak didapatkan dari bangku perguruan tinggi. Ada banyak skill yang didapatkan justru setelah menemukan kasus di pekerjaan, menguliknya, mencari tau, mencari guru, lalu menemukan jawabannya. Tapi kalau aku tidak kuliah, bahkan aku tidak akan bertemu dengan kasus itu. Bingung?


Aku tertawa miris kala melihat pedagang yang berbekal pengalaman turun temurun sama bahkan bisa menghasilkan uang lebih banyak dari seorang bergelar doktoral setelah belasan tahun. Tapi kalau tidak kuliah, aku tidak tau bahwa pedangang bisa gulung tikar tapi ketajaman berpikir tak bisa hilang begitu saja. Bingung?


Aku melihat gambar-gambar dan membaca sekilas ratusan tulisan yang telah ku hasilkan. Banyak yang sampah. Tapi aku tidak tau kalau tulisan dan karya ini sampah kalau aku tidak melihat hal yang lebih baik saat mencari referensi bagi karya-karya sampahku. Bingung?


366 Hari Bersajak - 157. Seperti Ini Saja Maunya

Jalanan pulang dihiasi titik-titik cahaya meredup

Maju kedepan, suasana semakin kelam

Memang sudah malam, ditambah dengan gulita


Toko-toko lebih cepat tutup

mesin kasir sudah hitam

takut ada yang gelap mata


Sssshuushh, shuush, seorang ibu dengan lembut meniup

anak dipangkuanya tak kunjung terpejam

Terbiasa gawai pintar, sang ibu tak lagi pintar bercerita


Sudah dua jam gawai pintar tertelungkup

karena baterainya sudah padam

anaknya takkan mengerti, masih balita


Mati listrik, semua menunggu hidup

Padahal mati, tak menunggu datangnya malam


Kita tak menunggu, nanti juga dipanggil sang pencipta



366 Hari Bersajak - 155. Kembali Pulang (Cerpen)

Bandara Polonia, 2012
Aldi menghembuskan napasnya saat turun dari pesawat. "Medan," gumamnya. Dengan lambat ia menyusuri pintu keluar kedatangan luar negeri, mencari taksi setelah mengambil bagasinya.


Tak lama seorang supir taksi menghampiri Aldi. Dengan menunjukkan alamat dari gawainya, pak supir langsung melaju menyusuri jalanan kota Medan. Aldi tak peduli pemandangan Medan yang banyak berubah. Pikirannya menerawang entah ke mana. Enam tahun setelah ia meninggalkan kota kelahirannya ini. Tak ada sebenarnya yang ia rindukan dari kota ini. Sejak ia menjadi yatim piatu ketika kelas 2 SMA, ia menjadi ambisius menyelesaikan pendidikannya. Ketika itu, Aldi yang anak tunggal hanya ditemani omnya yang belum menikah di rumah mendiang orang tua Aldi. Bulan lalu omnya menikah. Karena itu, omnya meminta Aldi untuk pulang dan menempati rumah warisan orang tuanya sendiri.

Di dalam taksi, Aldi merasa matanya panas. Ia seakan ketakutan untuk kembali ke rumah itu. Ia takut kembali menjadi sendirian. Selama di National University of Singapore, ia tinggal di apartemen dengan 3 temannya yang lain sehingga tak merasakan kesepian. Dan masih bersama mereka hingga bekerja. Kini ia harus bersiap akan kembali sendiri jika harus menempati rumah orangtuanya.

Akhirnya taksi berhenti di depan rumah yang cukup besar. Tak banyak yang berubah. Pekarangannya tetap bersih karena selalu dirawat Bang Torang yang dibawa omnya untuk merawat rumah ini sejak omnya menemani dia 6 tahun lalu. Tapi Bang Torang tidak tinggal di rumah itu. Empat tahun lalu Bang Torang menikah dengan Kak Sari yang jual bumbu di pasar Simpang Limun dan tinggal di rumah istrinya sejak itu.

"Wey Di! Dah sampek ko rupanya. Kok gak bilang abang tadi biar abang jemput ko," tiba-tiba sesosok pemuda cungkring namun berotot menepuk Aldi dari belakang.

"Eh Bang Torang? Ah, bikin saya kaget saja," kata Aldi menyapa pemuda yang ternyata Bang Torang.

"Alamak, 6 taon ko di negeri singa itu ngajarkan kau jadi sungkan sama ku gini ya? Sok kali ko pake saya-saya. Hahahaha." Bang Torang lalu mengangkat koper Aldi ke dalam rumah. Aldi mengikutinya.

"Enggak gitu bang." Balas Aldi ramah. "Aku masih pakai nomer di Singapur. Roaming kalau nelpon abang. Aku komunikasi sama Om lewat BBM." Jelas Aldi.

"Haa, iya, iya. Adapun duitku beli be be em- be be em itu nanti malah dipake kakakmu apdet-apdet status." Canda Bang Torang sambil mempersilahkan Aldi untuk duduk dulu.

"Jadi, apa kabar abang sekarang Bang? Makasih ya rumah ini dirawat tetap seperti dulu," ujar Aldi setelah duduk di ruang tamu dan tak ada sedikit pun perabot berubah bentuk. Foto keluarganya pun masih tergantung rapi di dinding ruang tamu.

"Kabar ku ya gini-gini aja la. Anak abang udah 2 sekarang, besok kalo ko belum sibuk ku ajak orang tu ke sini ya. Eh maunya aku la ya nanyak kabar ko udah 6 taon di negeri orang. Cemana? Dapat cewek cantik ko di sana?" Kumis tipis Bang Torang bergerak-gerak jenaka kalau pengen tahu sesuatu.

"Apanya ko Bang! Kurang cantik kali aku rupanya hah?!" Tiba-tiba Kak Sari muncul di pintu rumah Aldi dengan membawa rantang makanan.

"Bah? Apanya ko dek. Masuk-masuk merepet pulak. Bukannya ngasi salam selamat datang sama si Aldi ini." Bang Torang mendengus sambil mengajak istrinya masuk.

"Hehe. Assalamualaikum dek Aldi. Apa kabarnya kau?" Kak Sari menyapa Aldi sambil nyengir.

"Aldi baik kak, duduklah dulu kak." Aldi mempersilakan. Sari pun duduk.

"Nah, ini ku bawakan makanan buat kau. Pasti lapar setelah perjalanan." Kak Sari membuka rantang dan mengeluarkan berbagai jenis makanan. Ada rendang, sambal terasi, dan sayur asam. Sungguh sambutan Bang Torang dan Rantang kak Sari terasa begitu hangat menyambutnya.


"Terima kasih banyak, Kak. Masakannya wangi sekali," Aldi mencoba tersenyum. Namun, di dalam hatinya, ia masih merasa hampa.


Bang Torang dan Kak Sari mencoba menciptakan suasana nyaman, namun Aldi masih merasa terjebak dalam kenangan masa lalu. Setiap sudut rumah ini menyimpan bayangan kedua orang tuanya. Malam itu, setelah Bang Torang dan Kak Sari pulang, Aldi berjalan mengelilingi rumah, menyentuh perabotan dan foto-foto yang tersusun rapi di dinding.


"Ma, Pa, Aldi sudah pulang," bisiknya pelan.


Di kamarnya, Aldi duduk di atas ranjang yang dulu sering ia tiduri. Ia merasa beban berat di dadanya perlahan mulai mengendur. Mungkin, dengan kembali ke rumah ini, ia bisa belajar menghadapi rasa kesepian yang selama ini menghantui.


Malam itu, Aldi menatap langit-langit kamarnya. Ia tahu, meskipun berat, kembali ke Medan adalah langkah pertama untuk berdamai dengan masa lalunya. Aldi menutup matanya, membiarkan kehangatan nostalgia menyelimuti dirinya.




-------------------------------
Cerpen ini ditulis di tahun 2014. Aku menemukannya saat sedang membereskan file di Hardisk lama.

Tags