Mimpi Seperti Itu Lagi (Cerpen)

 Aku membuka mata dengan perasaan sesak di dada. Terbangun dan duduk di tempat tidur. Tak lama, air mataku mengalir dengan sendirinya. Baru saja aku bermimpi sesuatuyang tak terjadi, namun perasaan nyata itu membuatku semakin sakit.


Bahkan aku bisa menceritakan mimpi itu lagi. Aku diantar oleh Ayah untuk pergi ke suatu cafe. Nyaris larut malam. Hari hujan. Saat aku sampai, salah seorang temanku sudah mau pulang dan Ayah menawarkan untuk menngantarnya sampai simpang terdekat. Aku tau kenapa temanku ini ada di dalam mimpiku. Karena aku punya pekerjaan dengannya yang belum selesai.


Aku masuk kedalam cafe itu. Memesan beberapa menu terlebih dahulu. Dari kejauhan, teman-teman sudah melihat keberadaanku. Kau, melambai ke arahku. Cukup lama aku berbicara dengan pelayan kasir, lalu setelah menyelesaikan transaksi, aku pun berjalan ke meja lesehan di pojok itu. Di meja ada kau, teman kita dan pasangannya, dan satu teman lagi. Berlima dneganku, kita duduk di meja itu. Obrolan seperti biasa terasa akrab, sampai akhirnya kepada pembicaraan sensitif yang bahkan kia berdua juga menjaganya agar tidak pernah permbicaraan itu terjadi dianatara kita. Aku terkejut. Karena aku tau betul, di dunia nyata takkan mungkin kamu melakukan hal ini, terutama di depan teman-teman kita. Masalahnya, kamu tiba-tiba berpindah duduk disebelahku. Aku yang sulit kontak mata dengan lawan bicara, kali ini aku menatap matamu. Sial, tatapan itu terasa begitu dalam. Aku dapat melihat warna coklat tua, gradiasi antara pupil dan sklera di balik kornea matamu. Menatap lekat setiap detail bulu mata, raut alis yang menujukkan ekspresi menekan ku untuk segera menjawab pernyataanmu. Dan di detik ketidaknyamanan itu aku kabur dengan terbangun di dunia nyata.


Pukul dua pagi. Secara sadar aku mengilhami ini bagian dari kasih sayang Allah, di tengah malam, sebaiknya aku segera bermunajat dan meminat ampun.


Aku kembali melanjutkan tidur dan mimpi itu berlanjut dengan memori samar. Kembali aku terbangun dengan perasaan sesak yang sama.


Ini salahku membangun diorama kisah itu didalam ruang memori. Dengan mudah aku terhanyut hanya dengan satu-dua kata dari sudut pandang orang lain dalam melihat kedekatan kami. Padahal sejak lama pembicaraan ini sudah disepakati, antara kita berdua memang suka membangun relasi dengan banyak orang. Kita memang senang berteman, dan diantara kita juga memang hanya sebatas teman.


Baik aku dan kau pasti merasa ketidaknyaman yang sama jika ini bermuara pada masalah asmara. Kita hanya teman diskusi, teman cerita dengan tipe canda setara. 


Aku sudah pernah patah hati tepat disaat aku baru memutuskan untuk jatuh kedalam cinta. Kali pertama sakit luar biasa hingga butuh waktu tahunan untuk kembali membuka hati. Kali kedua, serupa. Hanya saja pemulihannya tidak begitu lama. Aku cukup sekali memutus hubungan dengannya, lalu urusan ku selesai begitu saja. Dan aku tak ingin jadi keledai, jatuh di lubang yang sama. Seperti lirik dari lagu 'Jangan jatuh cinta' dari Maidany - Tuhanku, berikan ku cinta, yang kau titipkan, bukan cinta yang pernah ku tanam...


Aku paham betul tipe mu. Cantik, kulitnya bersih, rapi, lemah lembut, pokoknya idealnya perempuan. Aku juga paham betul tipe ku. Maka wajar diantara kita juga seharusnya tidak akan terbentuk hubungan asmara. Masalahnya seperti pepatah jawa, witing tresno jalaran soko kulino, cinta datang karena terbiasa. Baik. Sepertinya memang harus dengan cara mengurani komunikasi sebeisa mungkin. Karena aku tak bisa langsung memblokirnya seperti kisah sebelumnya. Ia murni seorang teman dan juga tak menujukkan tanda-tanda lebih dari teman kepadaku. Kalau orang-orang bilang, takkan ada persahabatan murni antara laki-laki dan perempuan. Salah satunya pasti akan muncul perasaan. Aku akui itu. Sekarang saatnya diri sendiri kembali mengontrol diri.


Semoga takkan ada lagi mimpi-mimpi serupa di kemudian hari dalam sistuasi seperti ini. Berbahaya sekali.


Guna tak Berguna

Jika  ucapan tak lagi mampu dimengerti

Jika teriakan tak mampu lagi dipahami

Apalagi sikap dari sekitar, pasti sudah mati

Apalagi peringatan yang bisa diberi


Ego mu tinggi tak ada guna

Kuasa hanya akal-akalan iblis saja

Kepuasan takkan pernah ada ujungnya

Tak ada nikmat jika sendiri saja


Jika tak mampu, belajarlah dahulu

Jika tak mampu, biarkan yang lain membantu

Jika tak mampu, turunkan sedikit egomu

Jika tak mampu, paksalah agar mampu


Umur semakin menua

Yang ingin dibuktikan sudah mati semua

2,8 juta jiwa masih bernyawa

Dijadikan taruhan manusia tanpa jiwa.


-Setelah 3.5 Jam.



Gotong Royong

Suatu hari rasanya ingin menanam pohon

Lalu bercerita, mereka mendengarkan

Suatu hari kamu memikirkan pohon apa yang ingin ditanam

Lalu berdiskusi, semua sibuk menghalangi

Suatu hari kamu menanam pohon impian

Lalu menunjukkan, dan lainnya berkata akan semoga bisa 

Suatu hari pohon kamu terkena rayap, hari lainnya kekeringan, hari lainnya lagi diserang hama

Lalu mencari bantuan, bantuan yang didapat adalah nasihat; berhenti saja, itu akan sia-sia


Waktu berlalu, pohon berbuah ranum

Menggoda semua yang melihatnya

Hari kamu akan memanen, suara memanggil berulang kali

"Panen ya? ajak-ajak dong! Kami bantu!"


Dan semua tertawa bersama menikmati buah ranum yang lama bisa dinikmati, dari masa ke masa.


Aku ingin

Aku tak ingin pintar jika membuat ku tak bisa mendengar

Aku tak ingin kaya jika membuatku merasa berkuasa

Aku tak ingin tenar jika membuatku merasa benar

Aku tak ingin sesuatu jika pada akhirnya tiada arti dibawah batu.

Lama Tuan

Diriku sesungguhnya mudah sekali ditebak, tuan

suka jika suka

sedih jika sedih

kecewa jika kecewa

tertawa saat merasa bahagia

meninggikan suara saat amarah membalut

mengecilkan suara jika kepercayaan diri menciut


Hatiku sesungguhnya lemah sekali, tuan

mudah terbawa perasaan

baik sedikit pikiranku sudah kemana-mana

imajinasiku jauh menuju masa depan

bayanganku mengikuti alur cerita

ah, memalukan


Tapi aku menahan semuanya, tuan

lama sekali prosesnya

hingga aku terlihat tak ada ekperesi apa-apa

hingga tawaku terlihat palsu

hingga sedihku ditutup canda

dan amarahku dianggap angin lalu saja


dan hingga perasaanku sama sekali tak terbaca

samar.

For Val - Sebuah Cerita Pendek untuk Mengenang

Aku bangun dengan mata sembab pagi itu. Badanku terasa letih usai perjalanan panjang. Aku baru tiba di rumah semalam, sekitar pukul setengah sepuluh, setelah menempuh penerbangan malam.

Karena kepalaku sedikit pusing, aku tak melakukan kebiasaanku seperti biasa—mencari smartphone begitu bangun tidur. Aku segera mandi untuk menyegarkan diri, mengenakan pakaian, dan bersiap untuk sarapan bersama keluarga. Ini hari Jumat, hari yang menyenangkan bagi umat Muslim. Baru sekitar pukul 10, aku mencari handphone dan membukanya. Ada pesan WhatsApp dari salah satu adik kelasku di kampus.

"Kak, udah dengar kabar? Vallenza meninggal."

Deg. Jantungku serasa dipukul mendadak. Aku mencoba mengingat kapan terakhir kali mendengar kabarnya.

Tepat kemarin, sebelum aku terbang, aku sempat melihat postingan penggalangan dana untuk Vallenza di media sosial himpunan jurusan kami. Saat itu, aku berpikir, "Ah, besok setelah beres-beres sebentar, aku akan menjenguknya."

Namun ternyata, semuanya terlambat. Aku membuka kembali percakapan kami di WhatsApp. Dalam pesannya, ia pernah bercerita bahwa kemoterapi sangat menyakitkan.

Aku membuat status WhatsApp untuk mengenangnya, dan seorang junior membalas, menanyakan apakah aku akan pergi ke rumah duka. Saat itu, aku tidak memikirkan masalah agama. Yang ada di benakku hanya satu: aku ingin melihatnya untuk terakhir kali.

Kami pun berangkat ke rumah duka. Perasaanku sedih.

Sesampainya di sana, kami menuju ke arah belakang, tempat persemayaman. Semua teman satu angkatannya berkumpul di sana. Aku menyalami ayahnya, yang kemudian mengajak kami berdua untuk melihat Valen.

Saat melihatnya, air mataku tumpah. Aku menangis tersedu-sedu, dadaku terasa sesak. Wajahnya tak lagi bernyawa. Aku tidak tahu keajaiban apa yang terjadi, tapi ia tidak sekurus saat terakhir kali kami bertemu. Rambutnya dipasangi wig, membuatnya terlihat seperti dirinya saat masih sehat. Dengan suara bergetar, ayahnya berbicara kepada jasad Valen, "Alo, Nak, lihat teman-temanmu dari kampus datang. Alo, kakakmu di kampus kemari buat lihat kamu, Nak."

Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya tertunduk menangis, lalu berbalik badan menuju tempat duduk bersama para pelayat lainnya.

Ayahnya mengatakan bahwa ia akan dikremasi lusa.

Aku terduduk, mengenang bagaimana pertemanan kami terjalin.

***

Akhir 2022, aku sedang berada di provinsi sebelah untuk bekerja beberapa waktu. Himpunan jurusanku menghubungiku, memintaku membuka stand untuk meramaikan dies natalis fakultas kami. Aku kebingungan karena tak ada yang bisa menjaga stand. Salah seorang junior berjanji mengumpulkan beberapa teman lain untuk membantu.

Melalui telepon, ibuku yang turut memantau stand bercerita bahwa ada seorang anak yang sangat ceria dan bersemangat dalam mempromosikan produk kami.

Saat aku kembali ke kampus, aku bertemu dengannya yang lebih dulu menyapaku. "Kak! Kakak Kak Iyah, ya? Aku Valen, yang kemarin jaga stand mama Kakak!" Aku terkesiap melihat anak yang sangat ramah ini.

Obrolan kami berlanjut ke pembidangan semester lima. Ia berkata ingin masuk ekologi hewan. Aku senang mendengarnya, karena itu berarti kami akan sebidang.

Aku juga pernah menjadi asisten laboratorium untuk praktikumnya saat sedang senggang. Aku pernah memarahinya karena selalu membawa kipas angin tangan saat praktikum. Aku galak, tapi ia hanya tertawa, tetap ceria, dan ikut memperbaiki gambar praktikum bersama teman-temannya.

Anaknya cepat akrab. Kami sering membalas story Instagram jika ada sesuatu yang lucu atau menarik. Kadang, ia membuat video jedag-jedug tentang teman-temannya.

Suatu hari, aku meminta bantuannya, tapi untuk pertama kali ia menolak, mengatakan bahwa dadanya sakit. Sorenya, aku menemukannya di salah satu ruang laboratorium.

"Kenapa tidak ke klinik?" tanyaku, berpikir bahwa ia hanya malas membantuku.

"Kemarin sudah, Kak. Besok ngambil darah lagi. Ini cuma butuh istirahat sedikit aja."

"Kamu sakit apa?"

"Belum tahu, Kak."

Lalu tibalah hari ketika hasil pemeriksaannya dibacakan. Ia didiagnosis tumor paru. Namun, katanya, tumornya masih kecil dan bisa sembuh dengan operasi kecil serta beberapa kali kemoterapi.

Tak lama setelah itu, ketua jurusan meminta Valen cuti agar fokus dengan pengobatannya. Aku kesal karena ia sudah semester tujuh yang sebenanrnya sudah tidak banyak aktivitas perkuliahan. 

Aku mengenal banyak pasien kanker dan tumor yang berhasil sembuh. Aku percaya Valen juga akan sembuh. Aku bahkan melupakan fakta bahwa ia sedang sakit parah. Kami tidak pernah membicarakan kemungkinan terburuk, karena aku yakin ia akan baik-baik saja. Lihat saja, ia sudah bertahan lebih dari tujuh bulan dan masih bisa datang ke kampus...

***

Namun ternyata, yang bertahan hanya memori tawa dan keceriaannya, bukan raganya di dunia.

Di bangku pelayat, adik kelasku bertanya kenangan apa yang membuatku begitu sedih saat melihat jasadnya.

Aku bilang, bukan kenangan. Kenangan bersamanya selalu menyenangkan. Yang membuatku menangis tersedu adalah ketika aku tak mampu mengucapkan apa pun di depan tubuh yang telah berpisah dengan nyawa.

Ia pergi tepat di hari Jumat, dan keesokan harinya adalah Ramadan. Ia pergi di waktu yang diidamkan banyak Muslim. Ia pergi setelah menahan sakit begitu lama, yang pasti telah menggugurkan banyak dosanya—jika ia seorang Muslim. Namun aku tahu, takkan ada doa-doa dariku yang sampai kepadanya di alam yang berbeda.

Jika kami masih berada dalam satu alam, aku masih bisa mendoakan keselamatan dan keberkahan hidupnya. Tapi kini, ketika alam kami sudah berbeda, tentu tidak ada lagi keterikatan di antara kami.

Yang kutangisi adalah kenyataan bahwa aku tak bisa lagi mendoakanmu.

Kini, kamu sudah bersatu dengan lautan. Jasadmu dikremasi dan abumu dilarungkan ke laut. Kamu telah menjadi bagian dari ekosistem perairan, memberi nutrisi kepada ikan-ikan.

Kamu seperti hiburan di dunia, kehadirannya singkat saja.

Selamat jalan, Vallenza.

Teori Ikatan Hati (Cerpen)

Udara siang itu terasa gerah, angin sesekali bertiup pelan, membawa aroma kertas dan tinta dari dalam ruangan administrasi. Kampus mereka sedang program ecogreen time, jadi untuk mengurangi penggunaan listrik, pendingin ruangan dan pengeras suara dimatikan. Suasana terasa beitu lengang. Jendela-jendela dibuka. Karena pada dasarnya arsitektur kampus ini bagus, sirkulasi udara berlangsung baik. Hanya saja suhu diluar tak bisa berbohong.


Beberapa mahasiswa lain terlihat menunggu, beberapa berbicara pelan, sementara yang lain sibuk dengan ponselnya. Tita dan Ulya duduk di bangku panjang depan ruangan. Mereka berdua sudah menyelesaikan studi magister bulan lalu. Hari ini, mereka datang untuk mengambil ijazah dan transkrip sebagai penanda resmi bahwa masa perkuliahan telah benar-benar berakhir.  


"Habis ini mau ngapain ya? Kerjaan udah ada, kemarin ambil S2 juga buat upgrade ilmu aja."  Ulya mencoba mencari bahan obrolan selagi menunggu. Ia sudah bosen scroll-scroll layar ponselnya.


"Sama, aku juga belum ada rencana ganti karir," jawab Tita, menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Tapi kalau ada kesempatan yang lebih baik, sebenarnya aku mau pindah kerja."  


"Memang kantor lo nggak nyaman?" tanya Ulya, menoleh ke arah sahabatnya. Setaunya, kantor Tita cukup homey dan juga penghasilan sesuai standar.


"Nyaman sih, cuma kan kita nggak bisa selamanya di zona nyaman. Lagian aku juga mau nyari peluang."  


"Weeeesss, ngincer gaji lebih tinggi nih kayaknya?" goda Ulya, menaikkan alisnya sambil tertawa kecil.  


Tita ikut tertawa, lalu menggeleng. "Ya kalau itu sih nggak nolak juga, tapi aku lebih pengen nyari sirkel baru. Lagi pengen serius cari jodoh."  


Ulya tertawa lepas. "Nyari jodoh jangan di tempat kerja lah, males banget jadi bahan gosip kantor."  


"Sirkel-nya loh," Tita menekankan kata itu. "Siapa tahu ada connecting line baru, memperpendek benang merah jodoh."  


"Iya kalau memperpendek, kalau malah makin panjang? Kusut pula."  


"Eh, ngomong yang baik-baik aja. Ucapan itu doa, loh," tegur Tita, serius.  


"Hehe, iya-iya, maaf,"   


Tita melirik Ulya yang juga belum memiliki pasangan sepertinya dengan penasaran. "Kamu sendiri, nyari apa sih biar yakin kalau dia pasanganmu?"  


Ulya sudah beberapa kali mencba punya hubungan namun kandas. Ia terdiam sejenak, seperti memilih kata-kata. "Nyari chemistry."  


Tita menaikkan alis. "Ngapain nyari kimia?" tanyanya dengan wajah polos pura-pura tidak paham.  


"Aduh, kamu nggak ngerti bahasa zaman sekarang," keluh Ulya sambil menggelengkan kepala.  


Tita tertawa. "Haha, becanda. Aku tahu kok. Maksudmu nyari ‘klik’-nya, kan?"  


"Iyaaa..." Ulya menghela napas. "Soalnya kalau ditanya aku nyari yang gimana, aku juga bingung jawabnya."  


"Bingung atau nggak percaya diri?" Tita menatapnya penuh arti, sedikit menantang.  


"Ya... itu juga ada. Takutnya aku nyari yang terlalu tinggi, ternyata value-ku sendiri nggak nyampe ke situ."  


Tita menyilangkan tangannya di dada. "Ya tingkatin dong value-mu, jangan malah nurunin standar."  


"Enak banget ngomongnya. Kamu sendiri aja juga masih nyari," balas Ulya sambil melirik tajam.  


"Hehehe, ya ini lebih ke obrolan teman senasib sih. Mana tahu ada hikmahnya," ujar Tita sambil tertawa kecil.  


Tiba-tiba, Ulya berkata, "Sebenernya kalau soal chemistry, di antara kita juga ada chemistry loh."  


Tita langsung menoleh tajam. "Astagfirullah, aku masih normal ya," ucapnya refleks.  


"Duh, udah magister tapi masih dangkal ya, Bu," sahut Ulya sambil menggelengkan kepala.  


"Becandaaa," Tita tertawa, pipinya sedikit merona.  


"Kimia itu kan sebenarnya interaksi dan ikatan. Ada yang saling bertemu tapi nggak bereaksi, ada yang bereaksi tapi nggak terikat, ada juga yang terikat tapi lemah. Macam-macam. Semua dari kita pasti punya chemistry dengan orang lain."  


Tita mengangguk, mulai memahami arah pembicaraan. "Betul juga. Berarti aku harus cari chemistry yang kayak apa yang mau aku bangun sama pasangan nanti."  


"Kalau aku sih, pengennya kayak pertemuan aluminium sama merkuri," kata Ulya tiba-tiba.  


Tita mengernyit. "Kenapa gitu?"  


"Aku pernah lihat videonya. Nih, bentar... Nah, lihat ini," Ulya menunjukkan sebuah video di ponselnya. "Mereka ‘growth’ tanpa menghilangkan identitas asli masing-masing."  


Tita memperhatikan dengan serius. Dalam video itu, reaksi antara aluminium dan merkuri membentuk pola unik yang terus berkembang tanpa merusak struktur dasarnya.  


"Wow, keren! Aku baru lihat video ini. Selama ini isi explore-ku cuma quote-quote galau atau soal mental illness," ujarnya, terkekeh.  


"Makanya, harus ngebangun sirkel baru biar wawasanmu lebih luas. Jadi isi explore-mu nggak itu-itu aja."  


Sebelum Tita sempat membalas, pintu ruang administrasi terbuka. Seorang pegawai tata usaha memanggil nama mereka dan menyerahkan berkas ijazah serta transkrip mereka. Akhirnya, urusan mereka selesai.  


Saat berjalan keluar gedung, angin sore mulai berhembus lebih sejuk. Mereka berdua melangkah santai di sepanjang koridor kampus menuju parkiran, merasakan nostalgia yang perlahan menyelinap di antara percakapan ringan mereka. Dan berikutnya —entah dengan siapa dan di mana chemistry itu akan membawa mereka.  


Tita membuka pintu mobilnya dan menoleh ke Ulya sambil tersenyum. "Aku tunggu undangan nikahmu, ya."  


Ulya tertawa kecil. "Aku juga ya! Hahaha."  



Hati Nurani Telah Mati

Entah siapa Nur Ani

Entah dari mana dia datang

Dan entah kapan dia pergi


Kenapa bisa hatinya mati?

Mungkin sel-selnya sudah tidak berfungsi?

Karena rusak setelah organ pendukung lain malfungsi?


Entah siapa Nur Ani

Namanya sering disebut-sebut di bangku sekolah dasar

Namanya digaungkan pada pelajaran moral dan etika


Tapi buat apa kita memikirkan Nur Ani

Yang kita butuh kulit-kulit sehat

Berkilauan agar paripurna di layar ponsel seseorang


Dampak-dampak-dampak, harus terlihat jelas

Baik atau buruk itu masalah presepsi

Nur Ani tak mengerti cara kerja dunia saat ini


Lapar-lapar-lapar, ya dikasih makan

solusinya harus tepat dan terlihat

Nur Ani tak bisa mengikuti cara kerja dunia saat ini


Kalau hati Nur Ani mati, wajar saja

Sudah tidak dikasih makan di era modernisasi

Didukung organ pelindung tak bekerja semestinya


Nama Nur Ani sudah lama hilang dari peredaran

Buku tematik tak lagi memuat namanya

Wajar saja, jika hari ini tak ada yang mengerti si Hati Nurani.


-

4 Februari 2025

Ditulis menyikapi pemberitaan mengenai kebijakan pemerintah tanpa kaji.



Jalani saja

aku tidak menyukai diri

yang tidak mampu mengendalikan diri

aku tidak menyukai hidup

yang ingin mengakhiri hidup


Dimana salahnya

ketidaktahuan

Dimana celahnya

merasa sendirian


Tak tau apakah perjalanan ini

masih panjang atau besok berhenti


Mengapa yang lain bisa berlari

seolah tak ada penghambat dihati

Jiwa ku semakin sulit mengerti

bisakah aku mengendalikan diri

A Garden

It’s not my first time,

This bloom within my chest,

A seed so small, now sprawling,

Turning calm into unrest.


Should I hold it tightly?

Or let it freely grow?

Its roots dig deeper daily,

Yet where it leads, I do not know.


The petals ache with beauty,

Each color speaks of pain,

If I grip too hard, they crumble,

If I let go, they reign.


This seed, a gift—or accident—

From hands that brushed my own,

Did you mean to plant it?

Or was it tossed, unknown?


Day by day, it changes,

Its whispers fill my mind,

A garden growing wildly,

With peace I cannot find.


But maybe in this chaos,

The flower tells me true:

That every bloom holds choices,

And all the roots lead to you.

Tags