366 Hari Bersajak - 22. Jangan Mati

Mengerikan membayangkan akhir kehidupan

Saat diam dan tak ingin tahu

mengikuti tarikan nafas tanpa pengertian

kenapa sejatinya kita diciptakan


dikira dua kalimat saja sudah menyelamtakan

merasa beruntung sudah didalam garis keturunan

kunci sudah dipegang, apalagi yang dikhawatirkan?

tanpa mencari tau sebenarnya itu kunci apa


mengerikan membayangkan akhir kehidupan

mempasrahkan diri dengan hal yang kita percaya

atau sebenarnya kita bukan percaya

hanya masa bodoh dengan apa yang dipercaya


Pohon yang sehat, buahnya bisa busuk sebelum matang dan jatuh

Sungai yang deras, bisa berakhir karena terjebak jalur

Hewan terbesar, bisa mati dengan satu peluru

Hewan terbuas, bisa masuk dalam kerangkeng selamanya


Lantas apalah kekuatan dari kalimat yang disenandungkan

bahkan disaat kita belum mampu melihat

apalagi mengingat

siapa yang memberi jaminan


jika tidak terus mencari

jika tidak terus mengejar

jika tidak mencari tujuan

jika tidak menyadari kekeliruan


jangan mati

sebelum menemukan kebenaran.

366 Hari Bersajak - 21. Cara

Bagaimana caranya, agar bersyukur
tidak dengan nikmat orang lain diukur

Bagaimana caranya, agar bahagia
tanpa merasakan nestapa

Bagaimana caranya

366 Hari Bersajak - 20. Kurir Rasa (Cerpen)

Sudah dua jam aku berdiam di tepi danau ini. Terduduk menikmati aroma embun pagi, cericip burung dan tupai yang melompat-lompat di dahan hingga membuat pohon-pohon bergerak ringan. Matahari belum terasa begitu terik.  Entah apa nama tempat ini, aku hanya berjalan menyusuri jalan setapak dari penginapan. Bahkan masih kabut saat aku keluar, kakiku melangkah pasti selama masih ada jalan. Aku tidak memakai kacamataku, semua tampak buram ditambah kabut yang belum kunjung mereda. Ujung-ujung rokku basah. Dingin, namun nyaman.

Aku pergi sendiri ke tempat ini. Aku katakan aku ingin liburan setelah menyelesaikan beberapa urusan pekerjaan. Tak ada yang menahanku, karena memang aku bukan tipikal karyawan yang sering meminta cuti atau tidak menyelesaikan target pekerjaan di kantor. Bahkan mungkin atasanku lega saat aku mengajukan cuti setelah melihat pandanganku yang kosong selama sepekan ini.

Ada hal yang semakin aneh rasanya dalam diriku. Setelah dia, Wasa, menghubungi sepekan lalu. Dalam ingatanku, hubunganku dengan Wasa hanya sebatas teman kenal begitu saja. Tidak lebih, tidak kurang. Dalam ingatanku juga, obrolan dan interaksi kami hanya ramah-tamah sebagai teman. Aku tidak pernah memandangnya lebih dari teman. Jika suatu hari kami reunian sekolah dan dia tidak hadir, percayalah aku tidak akan mencarinya. Ini juga aku sadari saat aku lulus (kami satu kampus, berbeda fakultas), aku tidak mengundangnya, bahkan tidak mengingatnya untuk sekadar mengabari. Diluar teman kampus, aku hanya mengabari teman geng sekolahku yang berjumlah 4 orang perempuan dan 4 laki-laki. Mereka berdelapan merupakan orang-orang di malam mingguku, malam libur dan banyak malam lainnya kami habiskan bersama. Wasa, tidak pernah ada dalam pertemanan dekat ku, sejauh yang aku ingat.

Beberapa tahun silam, Wasa pernah menunjukkan gestur marah padaku saat aku seolah tidak memprioritaskan hadir saat teman kami berduka. Lagi, itu teman yang tidak terlalu dekat denganku, aku pikir. Lagipula, saat itu kegiatanku di kampus sedang padat-padatnya.

Besok kita akan kuliah seperti biasa, tapi teman kita tidak berduka selamanya, ucap Wasa saat itu.

Terkadang aku bingung mengapa Wasa merasa seolah kami dekat. Jika ia membangun kedekatan itu untuk urusan asmara, maka semakin tepat aku meresponnya dengan dingin. Dalam ingatanku, Wasa bukanlah laki-laki baik. Ditambah cerita dari teman geng ku, Tia, yang mengatakan ia sebal dengan Wasa karena mencoba mendekati salah satu teman-nya, minta dijodohkan, lalu ditinggalkan dengan ketidakjelasan begitu saja. Gita, yang sudah menikah dengan Heru, teman geng kami, juga mengatakan hal yang sama soal Wasa. Siapapun, asal jangan Wasa. Dia bukan orang yang tepat. Nasihat Gita padaku saat aku menceritakan komunikasi Wasa yang seolah sedang mendekatiku.

Sepertinya, Wasa hanya menjadikanku pilihan dan mencoba-coba. Sementara aku, tidak kepikiran sama sekali sampai seminggu yang lalu.

"Plung." Aku melempar kerikil kecil ke dalam danau. Dekat saja.

Kalau diingat-ingat, sebenarnya ada momen kami jalan berdua. Masalahnya, aku pergi berdua dengan lawan jenis tidak hanya dengannya. Kalau ada yang minta aku temani ke satu tempat, ada kegiatan dan lain halnya, selama memang bisa, aku temani tanpa memandang gender.

Wasa juga meminta hasil makanan yang aku buat untuk tugas kuliah, saat kuposting di media sosial. Dengan senang hati aku memberikannya, karena memang bukan hanya dia yang meminta, ada banyak yang senang bila diberi makanan gratis, bukan?

Rasa lembab semakin menjalar di tempatku duduk. Memang aku tidak memakai alas apapun sejak awal.

Sungguh aku tidak mengerti bagaimana sistem ingatanku bekerja. Biasanya, kalau ada hal yang aku tidak suka, kenangan buruk dan akan memicu perasaan tidak nyaman, aku akan mencoba melupakannya. Dan ternyata aku terbiasa sampai akhirnya momen diantara kenangan buruk itu ikut terhapus begitu saja. akhirnya yang menjadi pengingatku hanya satu, bukti. Itupun aku tidak akan ingat detailnya, hanya jika bukti itu jelas dan tak tersangkal, aku menerimanya. Dan sekarang itulah yang terjadi.

Aku memutus hubungan dengan Wasa secara sepihak saat teman-temanku memberikan pandangan bahwa Wasa selamanya tidak akan tepat bergabung dengan kami. Aku menuruti mereka. Betul, masalahnya ada di Wasa. Sampai pada akhirnya aku membuka kolom percakapan kami berdua di sosial media, dari awal. Sial, ternyata aku pernah menggoda Wasa. Aku pernah mengganggunya dan menunjukkan ketertarikan padanya. Siapapun yang membaca percakapan kami akan menilai bahwa saat itu aku menyukainya. Masalahnya, di linimasa itu, aku sedang punya hubungan dengan orang diluar sekolah dan juga sedang menyukai seseorang di sekolah juga. Siapa yang memulai mencoba-coba bermain api? Akulah perempuan yang jahat, saat itu.

Semua manusia tentu punya penilaian antara satu sama lain. Tentu saja aku menerima jika ada penilaian buruk mengenaiku dari orang lain. Lantas, mengapa aku bisa-bisanya menghakimi Wasa secara sepihak begini.

Tapi aku sudah mengakhirinya. Sekarang aku dan diriku perlu terus berefleksi agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Agar tidak ada Wasa-wasa lainnya dalam kehidupanku.


"Srek, srek" terdengar suara rumput dipijak dari arah belakangku.

"Sera...", seseorang memanggil namaku. suaranya sedikit serak sehingga aku sulit mengenalinya. Katanya kalau sedang sendirian tiba-tiba ada yang memanggil nama kita, jangan disahuti. Aku bergeming.

Terdengat suara seperti plastik dibentang dan diletakkan disebelahku. Seseorang itu lantas duduk diatasnya. Aku menoleh, lalu menghela nafas, lega. Ternyata Tia.

"Astaga, kamu mengagetkanku, Tia. Darimana kamu tau aku disini?" Tanyaku.

"Sini merapat dulu, kebiasaan duduk sembarangan. Nanti kamu masuk angin gimana." Omel Tia.

"Sudah basah juga sampai ke celana dalamku, hehehe." Jawabku sambil menuruti permintaannya. Akupun duduk dialas yang sama dengan sahabat ku ini.

Tia menyodorkan roti dan teh panas. "Kata penginapan kamu keluar pagi-pagi sekali sebelum sarapan." Rasa hangat mulai menjalar perlahan. Aku menerima pemberian Tia. "Kamu itu ya, kamu pikir kamu pinter banget sok-sokan ngilang? kali lain location di hape matiin dulu. Akun google-mu masih nyangkut di laptop aku."

Aku nyengir. Akun e-mail ya, pantas saja Tia menemukanku dengan mudah. Daerah ini memang sudah tempat wisata dengan jaringan yang bagus. Memang sejak awal aku bukannya ingin kabur atau sok misterius. Di formulir cuti aku juga mencantumkan lokasi yang aku tuju. Hanya untuk ke lokasi ini aku benar-benar hanya mengikuti jalan setapak, aku tidak ingat pernah kesini. 

"Pemandangan dari sini sudah banyak berubah ya, sejak kita perpisahan sekolah, dulu." Kenang Tia sambil melihat pemandangan di depan kami. Kabut sudah hampir menghilang semua.

"Iya, setelah erupsi dulu, ternyata malah membuat lahan tandus didepan sana menjadi hutan, ya."

"Sera, ingat tidak kejadian saat kita bertiga disini?"

"Ki-ta..? bertiga? Tidak, rasanya aku baru ke bagian sisi danau ini setelah melewati jalan setapak yang baru diaspal, deh?" aku menanggapi pertanyaannya dengan bingung.

"Ah, ternyata itu malah menjadi kenangan buruk bagimu ya? aku ingatkan deh, disini, kamu menemaniku saat menyatakan perasaan pada Wasa." Tia menerangkan sedikit ingatanku dengan santai. Tapi entah kenapa, kepalaku perlahan berdenyut, sakit. Tia melanjutkan ceritanya,"Beberapa bulan yang lalu, aku cukup sedih saat mengetahui Wasa mendekatimu. Aku juga tidak suka saat dia memintaku mengenalkan temanku padanya. Aku tidak mengerti mau Wasa apa. Setiap ada pesta teman kita, dia selalu mengajakku. Kami sering pergi pesta berdua dan aku hadir juga dibeberapa acara keluarganya. Ibunya sudah bolak-balik memberi kode kepadaku untuk segera menjadi bagian dari keluarganya. Tapi entah kenapa ada keraguan dari Wasa." Cerita Tia ini membuat kepalaku semakin sakit. Tapi sepertinya ia belum ada niat untuk menghentikannya.

"Aku pikir selama ini aku terus-terusan menyukainya secara sepihak. Sehingga aku tidak lagi mengenal rasa cemburu, aku selalu bersiap dengan rasa ikhlas jika ia bukan berakhir denganku. Aku senang setiap kali pergi dengannya. Aku selalu cerita, kan? makanya kadang aku tidak merasa istimewa karena ia juga jalan dengan oranglain, sepertimu, juga." Tia terus melanjutkan ceritanya tanpa memperhatikan perubahan ekspresi diwajahku.

"Dan akhirnya kamu tau, Sera? Dia bersama keluarganya datang kerumahku tiga hari lalu. Itu setelah aku bertanya apa arti dari sikapnya selama ini. Ternyata Sera, dia memperhatikan perasaanku dengan detail. Dia memastikan bahwa teman-teman disekitarku yang terlihat ramah memang bukan karena menyukai dia, karena memang ramah saja. Dan kau termasuk dalam teman ku yang di ujinya itu. Untung ternyata kamu tegas bersikap dan memang tidak ada perasaan apapun padanya. Aduh, lucu sekali ya?"

"3 bulan lagi kami akan menikah, kamu jangan pergi kemana-mana ya? kosongkan jadwal untuk menjadi bridesmaid ku, Sera. Ini perintah! Wajib! aku sudah mengabari semua geng kita. Makanya aku sampai bela-belain cari kamu kesini. Aku tidak sabar menunggu kamu pulang." Tia tersenyum sambil memelukku erat. Ia lalu mengusap pipiku, gemas, seperti yang biasa ia lakukan. Aku membalasnya dengan tersenyum getir. Sepertinya aku akan kembali melupakan tempat ini.

"Kamu kapan check-out? mau pulang bareng kami hari ini, tidak?" Tia tidak menunggu tanggapanku atas ceritanya barusan. 

"Memang kamu kesini sama siapa?" Hanya itu yang bisa aku tanyakan kembali. Rasanya denyut dikepalaku belum menyelesaikan seluruh cerita Tia untuk aku cerna.

"Wasa. Itu dia lagi ngobrol sama manager hotel. Sedang mempertimbangkan lokasi ini menjadi trip liburan keluarga kita setelah acara resepsi."



Ah, sepertinya, aku akan melupakan seluruh tempat ini, Tia. Selamanya.

366 Hari Bersajak - 19. Berpikir, bukan bergulir begitu saja

Tahun ini dua puluh delapan sudah usiaku

Masih lama memang menuju akhir tahun

Namun tetap saja kepala tiga semakin dekat bertemu


Bukannya menguatkan diri untuk karakter dewasa

Aku malah asyik terus berseluncur di dunia maya

Jari-jemari ini asik sekali menggulirkan linimasa


Lantas aku sadar ini menumpulkan pikiran

Sesederhana aku baru menyadari satu kelakuan

yang ternyata tidak sesimpel itu saat dipandang dari sisi dua insan


Aku tenggelam dalam perasaan

takut ini akan menjadi penantian

padahal tak ada yang memberi kepastian


Perlahan aku memikirkan

obrolan-obrolan singkat

ada detail kecil yang kau ceritakan

tentangku, tidak kuingat


dan... tentang mu, juga tidak kuingat.


Aku akui memutus begitu saja membuat salah paham

Lagi, itupun setelah orang-orang memberikan wejangan

Aku hanya memikirkan diriku, yang takut kembali melakukan kebodohan


Berpikir-berpikir-berpikir

tidak bisa hanya bergulir

tidak bisa hanya mengalir


Sebentar lagi usiaku dua delapan

semoga diri ini istiqomah dalam kebenaran

dan semakin matang dalam mengambil keputusan


Sungguh, aku berusaha agar tak lagi di kuasai emosi sesaat

Agar berikutnya ada jeda untuk berpikir dengan kiat

dan bertindak dengan sarat

366 Hari Bersajak - 18. Bagaimana aku bisa baik-baik saja

Rasanya hati terus bergetar
meruntuhkan dinding batu akibat tawa
meluruhkan lapisan angkuh didalamnya
semakin tipis, dan menjadi mudah terluka

Pemberitaan belum kunjung memberikan rasa lega
Bantuan masih terjebak diperbatasan sana
ledakan masih mendominasi suara
padangan masih dihujani senjata

semantara ada yang mengambil momen
mengirimkan bantuan 
yang kita tau takkan mungkin lewat perbatasan
takkan sampai sesuai permintaan

Gulana menyiksa, setiap Tuhan berikan ku nikmat
Ini serasa ujian, saat bersyukur bisa menjadi mudharat

Pintaku surga abadi
tapi didunia aku sibuk sendiri
Pintaku kubur yang damai
tapi didunia aku ribut sendiri

aku  takut diambil kenikmatan iman
aku  takut layas dalam memandang ujian

Meski... tidak boleh berjalan terus-terusan dalam kekhawatiran
Tentu suratan dan perjanjian berbeda-beda bagi setiap insan

Semoga Allah segera selesaikan,
Semoga Allah segera beri kebaikan,
Amin.

366 Hari Bersajak - 17. Niat

Bagaimana aku menjelaskan

Bahwa aku tak pernah menjalin komitmen

Terakhir aku menaruh perasaan

dicampakkan dengan alasan cukup cemen


jika dikatakan hari-hari penuh kegalauan

bukan kah kita sering melangkah dalam kebimbangan

sering kali terjebak dalam keraguan

dan melihat masa depan tanpa kepastian


Apa takutmu melukaiku

Apa takutmu tak cukup untukku

Jika sejak awal sudah berpikir begitu

Jangan coba-coba bermain dalam zona kalbu


Kau tau bara?

Yang sekali terpantik akan menyala selama hidupnya?

Yang sekali terbakar akan panas selamanya?


Meski cuaca dingin, meski cuaca berangin


Ada cara memadamkannya,

Rendam dikedalaman

Benam dikepadatan

Pijak-pijak dengan kekuatan


Tegakah kau melakukan itu padaku?


dalam proses terus meminta sim (surat izin menikah)



366 Hari Bersajak - 16. Ridho

Sebelum berdoa, aku selalu bertanya

kepada ibu, apakah doa kita sama?


Sebelum melangkah, aku selalu melihat arah

Apakah ini diketahui oleh Ayah?


Sebelum aku menikah, aku selalu percaya

agar pintaku dikabulkan oleh-Nya


Perkara ini tak main-main

Karena tak ada kehidupan yang lain


Setelahnya, tanyaku, langkahku, akan berpindah

kepada orang asing yang suatu hari,

akan direstui Ibu.

akan diterima Ayah.

366 Hari Bersajak - 15. Kopi

Biji putih gading berubah menjadi coklat tua
kadang ku temukan tua sekali hampir hitam

Aromanya nyaman dirasa
Ada juga yang hangus kurasa

satu-dua, bulat-lonjong, beri-beri
yang mana saja diberi
ku sesap dengan sepenuh hati

Hanya untuk campuran canephora
murni canephora
nama indah itu membuat dadaku berdebar
Aduh, sendiku ikut bergetar

Kuhindari
namun kadang, godaannya sulit untuk ku antisipasi

Mereka tak sedia yang murni
lidahku tak tahan mencicip aroma terapi yang tercium
Bagaimana ini
Resikonya, sepanjang malam aku terjaga dalam maklum

Besok, akan aku ingat

Ah, lupa lagi.

366 Hari Bersajak - 14. Yang Aku Benci

Malam ini terasa begitu menyebalkan

Keheningan yang seharusnya ternoda oleh riuh nyanyian

Suaranya tak salah

Namun dadaku terus merasa sesak dan gelisah


Aku pikir, aku menyukai malamnya hutan karena misterius

Aku pikir, aku menyukai menyelam karena tak ingin terbawa arus

Ternyata yang kucari ketenangan  

Ternyata yang kucari keheningan


Mereka yang lahir dan besar dalam hening,

Memintaku untuk menemaninya dalam riuh

Sebaliknya aku yang tumbuh hiruk pikuk

Berlari menuju wilayah senyap


Sayang, aku bukan putri raja

Yang bisa meminta hal menyebalkan ini disingkirkan

366 Hari Bersajak - 13. Sudahlah

Apakah ini menjadi terlalu aneh ketika aku tidak punya ketertarikan lebih dari pertemanan di usia segini?Jangan terlalu pilih-pilih kata para senior yang sudah menikah


Salahkah aku yang sangat takut akan menjadi bagian orang-orang yang belum dimatikan sampai akhir jaman lantas menerima seseorang yang tidak peduli akan agamanya?

Salahkan aku yang peduli dengan kesehatan lantas menerima seorang perokok? bahkan ayahku, tidak.

Salahkah aku yang senang berdiskusi menerima seseorang yang tak terima perempuan terlalu banyak meminta informasi?

Salahkah aku yang ramah pada siapa saja lantas membuat seseorang bingung terkait perasaannya?


Lagipula, untuk apa memupuk rasa istimewa (lagi) untuk orang yang tak pasti?

Bertahun aku melewati fase penyangkalan, marah, menawar, depresi, dan penerimaan.

Dan tidak, untuk diriku sendiri, aku tak mampu menyakiti lebih dari itu.


Mungkin nanti, siapapun takdir itu, seperti kata Hamka, kita akan bertaut dalam rasa kasihan.



Cannu, Darussalam

Tags