366 Hari Bersajak - 1. Mulai

Ilustrasi Bing Ai

366 Hari Bersajak - 1. Mulai


Mendung menyapa seolah menggambarkan langit lelah

Selongsong petasan menumpuk di tempat sampah

Trauma menyapa hewan-hewan tak bersalah

tiga ratus enam puluh enam hari kedepan, semoga kaprah sudah berubah


Muda mudi lelah menghabiskan malam

Lelap dalam mimpi beranekaragam

Atau kosong kelam

Tahun ini sepertinya akan mencekam


Lain tempat ada yang sudah bersiap

Menyambut hari baru dan berharap

Mungkin ada impian bergemerlap

Atau hati tak lagi sendirian berdegap


- 19:30




Kembali Belajar



Ku tau dari satu kajian

tentang silaturahmi yang tak boleh diputuskan

itu hubungan kekeluargaan/kekerabatan

bukan teman, apalagi hanya kenalan

Jika pendekatan untuk memuaskan penasaran

kembali saja ke umur belasan

ini sudah waktu dimana punya tujuan

untuk masa depan

kenapa kemarin aku ketakutan

untuk memutus rantai kebimbangan

kedekatan tanpa kepastian

lebih banyak mudarat dikumpulkan

Nasihat ibuku menggema

Seolah semesta mendukung suasana

Hanya dia yang menunjukkan usaha

baru bisa kita memilih untuk menerima

Jika hanya sekedar coba-coba

untuk apa jadi gundah gulana

bisa saja ada dua atau tiga

orang yang ia perlakukan sama

Tutup semua jalur komunikasi

agar aku tak kalut sendiri

jika memang sudah waktunya nanti

percayalah, takkan ada perempuan yang merugi

dari sikap teguh menanti.

Haluan

Aku rindu masa berbalas puisi lumrah

menenggelamkan mata dalam diksi

meromantisasi setiap jejak


Rasanya hidup tak lagi seru jika setiap sajak diakhiri tanda tanya

karena jawaban biasanya pernyataan

dan kesimpulan didapat usai membaca


Kita tidak sedang berpacu dengan waktu orang lain

bahka pelari punya jalurnya sendiri

Ya, garis finish memang sama

Hanya panjang trek yang berbeda

Lentera Berdebu

Cerpen Lentera Berdebu - Ini kesekian kali aku melintasi perkebunan sawit yang luas, lalu bertemu hutan, lalu sawit lagi, lalu hutan lagi dan sampailah ke hamparan tanah merah sepanjang mata memandang. Di tengah sana, ada beberapa rumah dari kayu. Itu adalah desa kecil di tengah lahan percobaan ini. Hari itu, aku tiba di desa kecil ini dengan semangat dan harapan tinggi. Setelah menyelesaikan kuliah, aku merasa sudah saatnya untuk memberikan kontribusi nyata. Lembaga swadaya masyarakat tempatku akan memulai karier baru fokus pada pendidikan dan pembangunan di daerah terpencil. Aku tahu tantangan yang menanti, tapi apa yang aku temui di sana melebihi semua ekspektasiku.


Ilustrasi. Sumber : Unsplash.com

Sekolah-sekolah di desa ini hampir tak memiliki peralatan yang memadai. Buku-buku pelajaran nampak langka, dan anak-anak harus berjalan jauh hanya untuk mencari sedikit bahan bacaan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana mereka bisa mengejar mimpi mereka tanpa alat yang sesuai.


Pertemuan pertamaku dengan Keluarga Pak Sutomo membuatku terdiam. Mereka adalah pasangan muda yang memberikan kami tempat tinggal sementara selama masa program. Pak Sutomo adalah petani, sedangkan Ibu Sutomo bekerja sebagai buruh tani. Mereka memiliki dua anak, Satria dan Nisa, yang harus membantu orang tua mereka di ladang atau dengan pekerjaan rumah tangga begitu pulang dari sekolah. Aku melihat betapa mereka harus berjuang keras dalam kehidupan yang keras.


"Budi dan Rina selalu berbicara tentang ingin menjadi dokter dan guru," cerita Ibu Sutomo pada suatu sore. "Tapi dengan keterbatasan di desa ini, rasanya sulit untuk mewujudkan impian mereka."


Kata-kata itu merasukiku. Aku ingin membantu, tapi bagaimana caranya? Pada suatu hari, aku mulai mengajar anak-anak di desa ini setelah pulang sekolah. Mereka lapar akan pengetahuan dan sangat antusias belajar. Namun, aku sadar bahwa usaha ini bukanlah solusi jangka panjang.


Atasanku dikegiatan ini, bang Gani, juga merasakan hal yang sama. Begitu juga dengan Hana yang menjadi rekanku disini. Dengan semangat itu, bang Gani mengupayakan untuk membangun perpustakaan kecil. Dengan dukungan dari teman-teman di kota, aku mengumpulkan buku-buku dan mencari cara agar anak-anak dapat mengakses informasi lebih mudah. Setelah beberapa minggu, perpustakaan itu mulai berfungsi. Anak-anak menghabiskan waktu luang mereka di sana, merasa seperti mereka memiliki dunia baru yang terbuka di depan mata.


"Namanya Perpustakaan Lentera," ucap Bang Gani bangga. "Semoga bisa menjadi cahaya bagi mereka."


Anak-anak kini bisa mengakses lebih banyak pengetahuan, dan aku melihat semangat baru dalam mata mereka. Namun, tantangan masih ada di mana-mana. Tapi, sekurang-kurangnya, kami telah mencoba membuka pintu menuju perubahan.


Perlahan-lahan, lebih banyak orang mulai tertarik untuk membantu. Perpustakaan 'Lentera' diresmikan oleh pejabat setempat. Secara rutin kami juga mengajari keterampilan untuk anak-anak. Para relawan juga datang dari kota untuk memberikan pelatihan tambahan kepada anak-anak. 


Anak-anak semakin bersemangat belajar dan mengejar impian mereka. Walaupun masih banyak rintangan, kami tidak lagi merasa sendirian dalam perjuangan ini. Kami saling menguatkan.


Melihat Budi dan Rina yang semakin dekat dengan impian mereka membuatku merasa senang. Meskipun desa ini mungkin masih terpencil, semangat dan harapan yang kami bangun bersama telah membuka jalan menuju masa depan yang lebih baik. Aku kira begitu.


Hari-hari penuh semangat yang kami lalui bersama anak-anak di desa ini tiba-tiba menjadi gelap. Perpustakaan kecil yang telah kami bertiga bangun dengan susah payah harus tutup akibat konflik yang tak terduga di desa. Keputusan ini tak terelakkan dan hatiku hancur.


Kesulitan di desa ini bukanlah hal baru bagiku. Namun, aku tidak pernah mengira bahwa konflik akan mengambil alih perlahan-lahan. Aku melihat bagaimana perbedaan pendapat di antara beberapa warga desa perlahan merajalela, hingga akhirnya mencapai titik yang tidak bisa diredakan lagi. Keadaan semakin memburuk, dan keamanan kami menjadi terancam. Beberapa keluarga yang memiliki anak kecil juga sudah pindah demi keamanan mereka.


"Kita harus pulang," kata Bang Gani dengan suara serak. "Ini tidak aman lagi untuk kita bertiga di sini. Apalagi kalian berdua Perempuan. Aku gak bisa terus jaga kalian." 


Aku dan Hana mengagguk perlahan.


Kami pulang kembali ke kota. Aku pindah program dan Hana masih membantu bang Gani dari kantor utama. Bang Gani masih berusaha menyelesaikan dengan bolak-balik kota ke desa.

Dengan berat hati, Bang Gani mengambil kembali buku-buku dari perpustakaan. Anak-anak yang biasanya berlari-lari riang di sana kini sudah tidak ada. Aku tahu betapa mereka merasa kecewa dan bingung. Aku merasa seperti telah merobek harapan mereka.


"Anak-anak yang biasanya berlari-lari riang di sana kini sudah tidak ada." Ujar bang Gani melalui sambungan telepon dengan kami berdua. aku tak banyak merespon. Air mataku perlahan sudah jatuh.


Di malam hari, ketika sunyi telah menyelimuti kediamanku, aku duduk di meja dengan tumpukan buku di depan. Aku mulai menulis surat perpisahan. Hatiku berat, dan tangis tak terbendung mengalir saat menulis kata demi kata.


Tapi aku hanya menulis pesan singkat saja.


"Kemanapun angin berlabuh, berusahalah tetap mengepakkan sayap. Tak apa sesekali beristirahat. tapi dengan sayap tetap membentang di atas langit. Salam sayang, Kak Dina. Semoga kita bertemu lagi"


Surat itu aku fotokopi sebanyak anak-anak yang selalu hadir ke perpustakaan Lentera. Sambil melipat surat-surat itu dengan hati sedih, aku merasa bahwa harapanku belum mati sepenuhnya. Aku tahu betapa pentingnya pendidikan dan semangat belajar bagi anak-anak dimanapun mereka berada. Meskipun cahaya perpustakaan telah padam untuk sementara waktu, semangat kemarin itu semoga ada pengaruh untuk suatu hari di Masa depan.


Masked Desires - English Poem

 In a realm of screens and fleeting light,

She danced upon the pixels' flight,

Seeking validation's gentle touch,

Yet within, her heart held a secret clutch.


A yearning soul with whispers deep,

Longing for affirmation's sweep,

Her posts are adorned with crafted glee,

A mask concealing truth unseen.



Oh, the hearts and likes would pour,

A symphony of praises, nothing more,

Yet in her quiet moments of reprieve,

Doubtful shadows she'd perceive.


For she craved validation's artful gaze,

A currency earned in modern days,

But deep within her silent core,

She knew there was something more.


A paradox she bore within,

A battle silent, yet akin,

For in the midst of virtual cheers,

She yearned for solace's tender tears.


Exposure's flame burned bright and high,

Yet left her feeling cold and shy,

A prisoner of the online stage,

Hiding behind a curated page.


Her heart questioned the worth of gold,

That vanity's tale had often told,

Genuine connection was the goal,

Not just hollow praise from every scroll.


In a world where screens deceive,

She longed for truth, for reprieve,

To be seen and loved for who she was,

Beyond the metrics, beyond applause.


In this tale of seeking without end,

May she find a path to mend,

To value self beyond the show,

And let her authentic spirit glow.


For validation sought from afar,

Will never heal the soul's own scar,

But when self-love blooms from deep within,

True validation will truly begin.

Kepala itu, akan menjadi 3. Tapi, apakah ada isinya?

Kata orang, untuk belajar tak ada kata terlambat
Namun semakin menua, semua terhasa menghambat
Kepala itu bertambah, dari dua, menjadi tiga, lalu empat
Namun neuron didalamnya, terasa sudah tak merambat

Kata orang, kita punya waktunya masing-masing
Sehingga diri yang memaksa produktif menjadi asing
Kenapa harus berpikir pusing-pusing
Besok saja kan bisa, lalu memejamkan mata sambil berbaring

Tunggu moodnya...
Tunggu klik!
Tunggu ada pemantik
Katanya....

Sosial media menyediakan banyak berita
dan kita kira otak kita tetap terasah saat membacanya
nyatanya kita hanya disuguhi konten belaka
tak ada usaha kepala berpikir mencari faktanya

Lalu dimana upaya proses itu
Dimana tukang asah dengan baja penajam?
Dia punya tapi tak bekerja
Karena tidak dibayar oleh pikiran yang merajelala

Proses berpikir tentu berbeda dnegan berimajinasi
Diangan-angan melayang
Jenuh dengan penuhnya informasi gentanyangan
Semua menjadi basai kala dipanggil kembali

Sajak-sajak ku tulis dengan hati-hati
kini sudah ada ChatGPT
meski tak ada nyawa dalam karya
yang penting telrihat hebat saja

Larut, dalam kemudahan teknologi
semakin melupakan bagaimana kerangka dan alur pikir

Ah, aku akan memberitahu sesuatu
terserah kau tidak atau akan mencari tau
Perbedaan manusia dengan hewan
yang satu melihat dan meniru, yang satu melihat dan masuk kedalam pikiran.

Jadi, kepala sudah akan tiga
adakah isinya
atau masih berfungsikah?

Pikir Saja

Nak, tak ada hujan diatas sini

tak ada banjir menghantui

padahal sebelum pergi

langit gelap bak dini hari


lalu semua hilang

saat burung besi ini terbang

begitu pula langkah hidup

ketika sulit menjepit

merangkak pelang ke tempat yang lebih tinggi

guncangannya ada

turbulensi semakin terasa

(terutama sesuai harga)



Tapi semakin di atas

kesulitan itu tak lagi menjadi batas

menggeliat dan terbanglah

untukmu yang terhimpit lembah kehidupan


18:08 Air Asia

30 januari 2023

Yang, Sudah. Tidurlah.

Semakin malam, semakin liar kepalaku berpikir. Menulis, menghapus, menulis sajak-sajak yang terlintas dalam pikiran lalu mencoret beberapa huruf, kata, satu kalimat penuh. Meremas kertas, membuangnya ke lantai dingin dari pawana. Mengambil kertas baru, mencoret, memungut remasan tadi, membuka dan menyalin beberapa kata kembali.

Kafein. Pecandu mencibir mereka yang terjaga lewat tengah malam karena meneguk satu sloki espresso dengan susu kental manis satu gelas.

Mata sudah berat, ayal menulis kembali. 

Neuron-neuron masih saja saling berkelakar melempar impuls, bergosip kasus terbaru atau mempertanyakan apakah pedang takkan bisa lagi menghujam musuh apabila digunakan untuk mengiris bawang sebelumnya. Kenapa pula bisa begitu, entahlah, mungkin tukang masak sudah tak ada pisau untuk membuat masakan para prajurit, karena tumpul semua setelah memotong bawang.

Dendrit menari-nari. Menggapai teman lain yang juga masih dibawah pengaruh kopi terbaik menurut pemilik ladang.

Pikiran semakin liar, bukan terhadap hal negatif. Tentu. Karena kaki masih mencecah, artinya kita dipengaruhi geotropisme positif.

Apa kubilang, tulisannya ini semakin merajalela, bukan?

Lalu kenapa kau masih disini? Mengajakku beristirahat, wah tidak bisa. Dopping ku belum habis. Bisa-bisa bila ku paksa lelap, aku akan salto dalam tidur.

Yang, sudah.

Baik.

Sampai jumpa sebelum mentari menari, bisakan?

Menapaktilasi Hidup Sendiri

Ada satu masa kita bosan dengan hidup
Oksigen tak lagi nikmat untuk dihirup
Mati tak boleh,
Hanya bisa bertahan sudah

Tidak boleh juga pasrah

Permasalahannya, apa yang membuatmu putus asa?
Mari berdialog dengan diri sendiri
Mengulas kembali perjalanan yang telah dititi
Karena masa depan, tak meminta kata tapi

Tarik mundur satu - dua tahun lalu
kamu hebat melalui terpaan pandemi
Langkah memang terhambat satu-satu
Lalu, semua terlewati,
Kan?

Tarik mundur 5 tahun lalu
tawa bahagiamu diawal dua puluh
mimpi-mimpi tertulis rapi dalam buku
sudah tak terasa lagi tetesan peluh

Jauh ke sepuluh tahun lalu
Bunga-bunga kejayaan masa remaja menerpa 
Beberapa momen tentu membuatmu malu
Momen lainnya, tatapan terlempar padamu seperti memuja

Lima belas tahun yang lalu
Perasaan kehilangan pertama
Diri seperti kehilangan arah, semu
Pertama kalinya tameng pembela tiada

Jiwa tidak baik-baik saja
Namun raga baik-baik saja

Kita hidup dengan kesyukuran
Aib juga sudah ditutup oleh Tuhan
Lalu, apalagi yang harus dikhawatirkan?

Semua ada penyakit ada obatnya,
Diri ini pasti akan segera sembuh,

Hanya perlu sedikit berjuang
Kita selalu punya peluang.

Hiduplah jiwa bebas!
Harus berapa banyak validasi untuk meyakinkan diri
bahwa banyak yang ingin hidupmu saat ini
bahwa Tuhan memberimu keberkahan
bahwa Tuhan menguji mu untuk selalu di jalan kebaikan
bahwa kau, sedang Tuhan rindukan.

Kembalilah hidup...

Segera.

26

 Dua puluh enam tahun



Angka ini tidak pernah terpikirkan secara khusus akan aku capai

Manusia tanpa ambisi

dan ketakutannya akan usia usai dini

membuatnya hanya berpikir jangan sampai mati dalam sunyi


atau hilang diantara dosa

Kumohon, Tuhan. Kepada-MU aku meminta ampunan


Keinginan berkeluarga,

Ada.


Tanpa memikirkan, melewetai angka dua puluh enam dan sesudahnya.


Seolah, dunia akan berhenti di dua puluh lima.

Seperempat abad.

Usia yang seharusnya sudah matang secara raga dan jiwa


Bisa mengendalikan emosi

Punya ambisi

Tau tujuan untuk diri sendiri


Salahkah menjadi manusia naif, 

insan ini hanya ingin bertemu rabbnya dengan keadaan yang baik

ingin menjumpai Nabinya dengan bentuk yang baik

Ketakukannya di dunia akhir jaman ternyata tumbuh menjadi manusia munafik


Takut. takut. takut.

Wajar.


Baiklah.

Dua puluh enam tahun.

Berapa tahun sudah setelah akhil baligh

Berapa tahun sudah memupuk dosa-dosa

yang seringkali

disengaja.


Penanggalan masehi.

Saat hari berganti.

angka satu menjadi dua

mereka satu persatu mengucapkan panjang umurnya


fajar menyingising

Lelaki pertama dalam hidup menelpon melalui telepon seluler

Mengucapkan doa-doa dan harapan terbaik

yang masih sering kupatahkan dengan sikap-sikap ku


Tepat dijam lahir, wanita yang melahirkanku menghubungiku melalui videocall

bertanya bungsunya kapan pulang

biar bisa makan kue bolu bersama


Pulang

dihari bahagia sang putri

sakit

5 hari

lalu semua lupa tentang rencana-rencana bahagia


Usia bertambah

tak ada perubahan.


Semoga ada.

Semoga ada.


Ke arah yang lebih baik.


Doakan aku selalu dalam jalan kebajikan.

Doakan aku melewati tahun-tahun berikutnya dijalan kebenaran.

Doakan aku menghembuskan nafas dalam Islam.



Tags