366 Hari Bersajak - 151. Mengerti Apa
366 Hari Bersajak - 149. Takdir
Aku tau kamu sedang menikmati dunia
Hidup, kesenengan, berlebih harta
Tidak apa, karena tak semua berpunya
Parasmu indah, organmu lengkap
fisik bisa bergerak sempurna
berkat genetik dari orangtua
Kau dirawat dengan penuh kasih sayang
welas asih, meski kadang lewat pengasuh
Tidak apa, karena tak semua disayang
Dan berhenti menikmati seluruh kebebasan
bebas dalam belajar dan mengasah segala hal yang kau suka
tak apa, karena tak semua bisa pergi
Kau dan aku sama-sama bersyukur
aku dan kau sama-sama paham atas nikmat ini
dan aku serta kau, tidak apa-apa kita menikmati ini bersama
mereka yang tidak berpunya
mereka yang tidak disayang
mereka yang bukan kita
Tuhan pilih, ku nikmati
kenapa pusing-pusing melihat kanan-kiri?
tak ada yang mampu menukar nasib, kan?
(tentu tidak begitu)
Review Novel dan Film Bukan Cinderella (Dhety Azmi)
Aku gak tau sih kenapa tiba-tiba aku nulis review buku sekaligus film disini, hehe. Karena biasanya aku sering buat review film di blog utama. Blog ini khusus tulisan aku dan juga review khusus karya-karya yang berbentuk tulisan. Tapi kali ini aku gak bisa pisahin untuk review sekaligus keduanya setelah aku menonton filmnya dan lanjut membaca novelnya di wattpad. Padahal Film-nya banyak dihujat karena katanya akting Fuji lah, cuma memanfaatkan keteranan Fuji saat itulah, tapi ternyata dari pandanganku, ini bukan cuma karena Fuji aja sampe filmnya dapat rating 1,4/10 di IMDb.
Awalmulanya aku iseng nonton sih karena.. biasalaah~ dari Twitter atau X. Warga cicicuit itu liar dan logis sekali kalau mengomentari sesuatu. Langsung heboh tuh ngomentarin ni film yang udah tayang dari tahun 2022 setelah bisa dimasukkan kedalam tontonan di aplikasi Vidio. Kalau pengguna telkomsel gampang banget lah beli paket-paketan buat nonton di aplikasi itu. Ga mahal juga. Eits ini bukan lagi promoin aplikasi streaming film ya. Jadi balik lagi ke warga cicicuit, komentarnya bikin aku ngakak sekaligus penasaran seburuk apa sih film ini? Padahal aku tuh selalu berprinsip 'engga perlu makan kotoran untuk tau itu gak enak', jadi kalau udah ada banyak orang yang ngasi tau faktanya, enggak usah malah ga percayaan dan nyobain sendiri. hahaha. Tapi untuk kali ini, aku mau membuang waktuku sejenak, hahahah! Ampuni hamba, Tuhaaan
Review Film Bukan Cinderella (2022)
Aku akan review ini lebih dulu karena memang aku lebih dulu nonton filmnya.Film dibuka dengan monolog suara Fuji yang menjelaskan tentnag sekolahnya, bahwa sulit untuk masuk ke sekolah itu dan dia berada di kelas paling akhir. Lalu ada scene sepatu converse yang ketinggalan sebelah, di rel pagar sekolah, saat anak-anak pada berlarian masuk karena gerbang udah mau ditutup. Aku gak ngerti itu sepatu siapa karena enggak dijelasin di monolog itu, dan ga tau juga scene itu buat apaan.
Terus masuk ke suasana kelas Amora, si tokoh utama yang diperankan oleh Fuji. Enggak ngerti kenapa itu kelas yang dibilang kelas buangan lebih kayak kelas anak-anak hm... butuh perhatian khusus? Karena kesan anak rebel nya itu gaada. Cuma di scene awal-awal di ceritain kalau Ayahnya Amora ini petinju (gak keliatan dari bodinya T_T) dan Amoranya juga seneng tinju.
Alur ceritanya sangat lompat-lompat sehingga sulit mereview setiap scenenya disini.
Jadi anak kelas buangan sejak dulu ga suka dengan anak kelas unggulan yang didominasi oleh anak-anak OSIS. Ketua OSIS-nya bernama Adam, selalu aja dengan karakter ala wattpad, cowok dingin dengan aura membunuh. Kulbet banget lah pokoke. Dengan dua temennya, si Ardi dan Juna. Terus disekitar mereka ada cewek-cewek dengan rambut nyalon abis plus pirang-pirang. Apakah sekarang anak SMA di Jakarta begitu, aku ga tau.
Pada suatu hari, si Adam ini keluar dari ruang Laboratorium buru-buru, dan gak sengaja sebelah sepatunya malah ketuker sama sepatu barunya si Amora. Dengan perbedaan tinggi mereka, aku yakin itu kaki si Fuji banter ukuran 36-38 lah, sementara si Adamnya itu pasti diatas 41. Jauh banget!
Marahlah si Amora saat mengetahui sepatunya ketuker sama si Adam, di pijak pula belakang sepatunya. Dipukulkan si Amora sepatunya Adam ke pemiliknya. Serius deh.. mending mereka ketuker topi sekolah atau botol minum yang serupa lah masih masuk akal...
Masalah diselesaikan diruang BK, dan itu adalah penyelesaian masalah paling cringgggggggeeeeeeee. Mual banget nontonnya (terus kenapa masih ditonton?). Aku tuh pernah SMA, dan aku yakin sutradara serta penulis cerita juga pasti pernah SMA. Gaada perkara berantem kecil terus dikasih surat peringatan ke sekolah. Apalagi ceritanya si Adam ini anak yayasan. Gubrak, gubrak, gubrak, jeng, jeng, jeng!
Bete-lah si Adam, terus mau di bully si Amora ini oleh geng anak OSIS buat ngasih pelajaran supaya si Amora ini pahak dia gak boleh seenaknya ke si Adam. Muncul si Ardi sebagai ketua kedisiplinan, dengan alasan itu mereka mau nyeret Amora (padahal ini udah selesai di BK woy), terus di hadang dong oleh teman-temannya Amora. Nah temennya Amora ini rame juga dan gaada gunanya dalam frame itu. Serius deh. Si Eka, temen Amora, nunjukkin ke Ardi video Adam cs sedang merokok sebagai kartu AS. Ardi minta itu dihapus, kata si Eka ada syaratnya, si Adam harus nembak anak kelas buangan, yaitu Amora. Dengan dalih buat menghancurkan harga diri anak unggulan dan geng OSIS. Iya, ini OSIS udah jadi geng, bukan organisasi kesiswaan lagi. Habisnya gaada kerjaan si OSIS ini selain haha-hihi di lorong sekolah.
Adam nembak - Amora dipaksa menerima - Keluarga Adam broken home - Juna deketin Amora - Adam cemburu - Adam digebukin Preman - Amora nolong Adam - Eka dan Ardi sparing tinju (?) - Sekolah geger soal mereka pacaran boongan - Adam nyium Amora di depan banyak siswa - Mereka jadi pacaran beneran - keluarga Adam kembali rukun.
Udah deh, kayaknya itu aja jalan cerita yang aku tangkap. ini udah kayak potongan-potongan video di satukan tanpa ada jembatan ceritanya. Mending kalau monolog di awal itu terus ada sampai akhir untuk memperjelas cerita. Ini cuma ada di awal dan akhir dan tidak mempengaruhi isi cerita juga. Haddeeeuuh...
Pemainnya rame banget, aku pusing liat layarnya. Enggak nyaman. Padahal secara visual, Fujinya udah cukup enak dilihat sih. Yang jadi Adam juga gak buruk aktingnya. Cuma memang si penulis skenario dan tim editing nya yang parah banget. Apakah digarap oleh fresh graduated semua aku juga ga ngerti. Aku udha ga minat lagi cari tau latar belakang sutradara dan penulis ceritanya. Ini itu kayak seluruh isi novel dimasukkan ke dalam AI untuk ngeresume setiap bab, terus di jadiin skenario. Gitu.
Pokoknya ini bukan karya dikerjakan pakai perasaan manusia. Asal jadi banget. Manfaatin hypenya Fuji doang.
Udah gitu aja review filmnya.
Review Novel Bukan Cinderella (2018)
Kalian bisa baca novel yang best seller ini di Ipusnas. Novel yang sebelumnya ditulis melalui platform wattpad, seperti yang sudah aku duga ditulis dengan gaya ala teenlit 2010-an. Karena ketika aku nonton filmnya, aku ngerasa ada aura dikiitt Dealova didalamnya.
Novel ini tebalnya 450 halaman. Cukup tebal untuk sebuah novel teenlit pada umumnya. Di goodreads, mendapatkan rating 3.59 dari 5. Tidak terlalu buruk, ya?
Novel dibuka dengan cerita inti langsung, soal sepatu yang gak sengaja ketuker. Ceritanya ini sepatu converse yang baru di beli Amora pakai uang tabungannya. Nah aku gak ngerti kenapa ilustrasi di buku adalah converse yang high, bagian sepatunya sampai nutup mata kaki. padahal di jelaskan kalau si Adam mijek bagian belakang sepatu.
Amora digambarkan sebagai anak yang belum pernah masuk BK sebelumnya meski berada di kelas anak-anak buangan dan bandel. Anaknya cuek galak manis gitu. Kalau dari gambaran novelnya, aku nangkep ini anak yang kebetulan gak terlalu pandai disekolah tapi secara pergaulan dengan teman-temannya cukup bagus. Tau siapa sosok yang aku pikirkan saat membaca karakter awal si Amora ini? Chateez -___- iya, di BA e-sport itu.
Alur ceritanya sama persis dengan film, beberapa deskripsi yang lebih panjang pada novel menjelaskan beberapa plot hole di film. Meski enggak semuanya, karena tetap masih banyak plot hole dalam novelnya (padahal udah 400-an halaman woy)
Ada Juna si wakil ketua OSIS yang enggak suka sebenarnya dnegan kegiatan OSIS jadi suka sama Amora karena ngeliat tingkah cueknya Amora. Karena kebetulan ketemu Amora di tukang martabak manis, jadi dia suka beliin Amora makanan. Masuk akal.
Cuma mantanya si Juna ini Sasa, Sekertaris OSIS, cantik. Jadi semua ngerasa jomplang kali kalau si Juna malah suka sama Amora. Tapi akhirnya mereka jadian lagi sih. Terus ada konflik ternyata Junanya suka sama Dinda teman Amora. Pusing deh.
Lama kelamaan pacaran pura-pura itu malah menumbuhkan rasa di hati Adam terhadap Amora. Dia selalu bilang kalau Amora masih statusnya pacar dia dan milik dia. Ala-ala pacaran anak SMA lah. Masuk akal.
Jadi pernah satu kejadian si Juna dan Adam sama-sama jemput Amora dari rumah ke sekolah. Masa mereka ga tau kalau biasanya Amora itu berangkat sekolah sama Keenan? Jadi rebutan kan. Si Keenan malas ikutan, jadi ditinggalin deh Amora.
Pokoknya konfliknya masih berputar di situ-situ aja. Semua anak unggulan dan anak kelas buangan ini saling punya pasangan untuk 'belajar bareng' katanya. Terus tambahan cerita broken homenya keluarga Adam.
Terus di novel tetap ga dijelasin apakah video itu akhirnya dihapus apa enggak.
Kenapa si Adam digebukin. Siapa sebenarnya yang bagian dari yayasan, Ayahnya atau Ibunya Adam. Ga dijelasin kenapa Amora suka tinju dan kenapa Eka juga suka tinju. Padahal mereka bukan atlit tinju. Kenapa Keenan bisa gak pernah punya rasa sama Amora, kenapa Juna dan Adam ga pernah cemburu ke Keenan. Dan banyak lagi cerita serta tokoh ekstras yang enggak menjelaskan cerita.
Udah deh, aku mual nulis reviewnya. Maaf ya pembaca.
Tadinya di penutup aku mau nulis tentang apa aja yang sebaiknya dikurangi di film biar lebih smooth jalan ceritanya. Ternyata setelah baca novelnya juga engga terselamatkan. Perutku mual banget sekarang. Leherku kayak kecekik dan kepala ku puyeng.
Literasi anak bangsa boleh jadi meningkat, tapi penulis dan sutradara yang sudah lebih dewasa gak cuma mikirin cuan. Kasihlah karya berkualitas dikit, pakai hati buatnya. Membangun karakter bangsa memang seolah bukan tanggung jawab bersama, tapi aku enggak ingin jika punya anak mereka harus membaca dan menonton karya seperti ini. Semoga kelak anakku bisa bedain mana karya mana prakarya.
Beneran kapok deh coba-coba nonton hal yang udah direview cinecrib dan berbagai reviewer lainnya. Mereka udah berkorban terus aku ikutan jadi korban. Ampuuun, Ampuuun!
366 Hari Bersajak - 138. Tugas
366 Hari Bersajak - 137. (Cerpen) Naskah Opera Sabun
Di salah satu cafe yang berada di kawasan perkantoran, Tania duduk sendiri asik mengetik di laptopnya. Ia menikmati suasana pagi menjelang siang di dalam ruangan dengan musik Lo-Fi yang diputar oleh pemiliknya. Tak ada orang lain di sekitarnya, hanya ada dua-tiga pengunjung yang menunggu pesannya untuk mereka bawa pergi. Kadang tangannya berhenti sejenak memikirkan lanjutan kalimat yang akan ia ketik berikutnya. Menghapus, lalu lanjut mengetik lagi. Sedang asik berimajinasi, tiba-tiba seseorang menumpahkan minuman di atas laptopnya. Refleks ia langsung membalikkan laptop untuk meminimalisir air yang masuk. Jantungnya langsung berdegup keras, bibirnya terkatup, syok menjalar keseluruh tubuh hingga tak mampu mengeluarkan suara.
"Seru sekali ya menjadikanku terus-menerus bahan cerita." Suara berat seorang laki-laki, pelaku penyiraman itu menyadarkan Tania dari tubuhnya yang tiba-tiba kaku. Dengan cepat ia menoleh dengan perasaan ingin marah besar kepada manusia itu. Matanya menyipit tajam, menghujam mata lawan bicara. Namun itu hanya terjadi sepersekian detik. Saat menyadari sosok di samping nya itu, sorot matanya perlahan meredup dan mengarah kebawah, menunduk.
"Kenapa? mau marah? aset mu itu kan kau dapat dari menjual kisah ku." Lanjut lelaki berkaus polo itu sambil meletakkan gelas plastik kosong di meja yang berceceran Americano. Dengan tangan bergetar, Tania mengambil tisu dan masih berusaha mengelap untuk menyelamatkan laptopnya. Laptopnya masih menyala, tapi ia belum berani membalikkannya kembali, takut masih ada air.
"Aah, sial sekali aku baru pulang ke kota ini kemarin dan langsung bertemu denganmu. Memang ada aku rasa hal yang kurang dikepala mu itu. Bisa-bisanya kamu masih fokus dengan harta haram itu!"
Sementara itu, pelayan cafe yang sedari melihat kericuhan itu berusaha mendekat dan perlahan mengeringkan meja dan membersihkan lantai perlahan. Manajer mereka sedang tidak ditempat, antara takut harus terlibat percek-cokan ini atau justru harus lebih ekstra tenaga membersihkan tumpahan kopi yang mengering.
Tania perlahan mengangkat kepalanya dan menghadap ke Sutan, seseorang dari sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas yang sama dengan Tania. "Aku tidak mengerti maksudmu, dan aku juga tidak mengenal kamu siapa." Jawab Tania tegas. Ia tidak salah, sejatinya ia tidak pernah benar-benar mengenal Sutan. Meski satu sekolah, mereka tidak pernah terlibat apapun. Selama enam tahun diantara mereka hanya mengenal wajah saja.
"Kamu..., kamu kan? kamu mengintipku dari seluruh sosial media milikku, mengintip sosial media keluarga ku juga, menyimpulkan status saudaraku yang mengeluhkan masalah keluarga dan kamu jadikan bahas cerita untuk kamu jual menjadi cerita sampah ditelevisi!" Amarah Sutan lepas dengan jelas.
Si pelayan menyela "Maaf mbak, mas, mau pindah meja atau mau keluar dulu sembari saya bersihkan mejanya?"
"Kalau saya keluar atau pindah meja repot, barang-barang saya masih disini semua." Jawab Tania.
"Kalau mau keluar dulu juga enggak apa-apa, barangnya terawasi cctv itu ya mbak." Tunjuk Pelayan laki-laki yang sangat pemberani tapi terlihat tidak tau situasi itu ke arah CCTV terdekat.
"Oke, Sutan, kita mau keluar dulu?" Tawar Tania.
Sutan menarik napas dalam-dalam, matanya melirik ke arah pelayan yang menunggu jawaban. "Iya, kita keluar dulu," jawabnya akhirnya. Tania masih membawa laptopnya terbalik dengan hati-hati, lalu mengikuti Sutan menuju pintu keluar kafe. Di luar, angin sepoi-sepoi bertiup, sedikit menenangkan suasana yang tegang.
Di trotoar, mereka berdiri berhadapan. Tania bisa melihat sorot mata Sutan yang penuh dengan kemarahan. "Aku benar-benar tidak tahu apa yang kamu bicarakan," Tania membuka percakapan, suaranya masih gemetar.
Sutan menggelengkan kepala, "Jangan bohong. Aku tahu cerita-cerita itu persis. Kamu menulisnya dengan detail yang hanya bisa diketahui oleh orang yang benar-benar stalking keluargaku."
Tania menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Dengar, aku memang seorang penulis, hal yang wajar aku mengambil inspirasi dari kehidupan pribadi orang lain. Jika ada kesamaan, itu hanya kebetulan. Lagipula, kenapa aku harus menghabiskan waktu untuk mengintip kehidupanmu, Sutan."
Mata Sutan menyipit, skeptis. "Jadi kamu bilang semua ini hanya kebetulan?"
"Jika memang ada kesamaan, aku minta maaf. Tapi aku yakin, tidak pernah menulis sesuatu yang secara spesifik mengarah pada kehidupan pribadimu."
Sutan terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Tania. Amarahnya perlahan mereda, meskipun masih ada sisa-sisa ketidakpercayaan. "Kalau begitu, kenapa cerita-ceritamu sangat mirip dengan kejadian yang pernah keluargaku alami? ibuku sampai jadi bahan tertawaan di arisannya. Semua perempuan kurang kerjaan yang menghabiskan waktunya dirumah pasti menonton drama murahan produksi PH -mu itu!"
"Sebelum aku menjawab, aku punya satu pertanyaan," Tania menatap mata Sutan dengan tegas, "Dari mana kamu tau aku bekerja untuk PH itu?"
Sutan terdiam sejenak, menatap Tania dengan kebingungan yang perlahan berubah menjadi kebingungan. "Aku... Aku melihat namamu di kredit akhir episode. Itu saja."
"Oh begitu. Bagaimana kalau kita berbicara dengan tim produksiku? Kita bisa melihat naskah aslinya dan kamu bisa menilai sendiri."
Sutan menghela napas, dilema apakah penilaiannya sebulan terakhir memang salah. Ia Tampak mulai mempertimbangkan tawaran itu. "Baiklah, mungkin kita perlu bicara lebih lanjut, Mungkin itu bisa membantu menjernihkan semua ini." katanya akhirnya.
"Aku akan atur pertemuan dengan timku secepat mungkin." kata Tania dingin,"Dan untuk sekarang tolong kamu pergi dari sini, aku tidak mau memperpanjang penyeranganmu ini terhadapku."
Sutan mengangguk pelan. "Oke. Aku tunggu kabar darimu."
****
Beberapa hari kemudian, di kantor PH, Sutan duduk dengan gelisah di ruang rapat kedap suara. Ia dihubungi melalui nomer kantor PH Tania. Ia bertanya-tanya bagaimana mereka mendapatkan kontak dirinya. "Ah mungkin perempuan itu menemukan nomerku dari grup Alumni." gumamnya.
Tania masuk sendirian, membawa setumpuk naskah. "Sutan, ini naskah-naskah yang sudah kami produksi. Kamu bisa memeriksanya," kata Tania dengan nada ramah namun dingin.
Sutan mulai membaca naskah-naskah itu satu per satu. Semakin lama membaca, wajahnya semakin pucat. Setiap detail dalam naskah itu memang sangat mirip dengan kejadian yang menimpa keluarganya, bahkan ada beberapa yang tidak mungkin diketahui orang luar.
Tania memperhatikan reaksi Sutan dengan hati-hati. "Bagaimana? Apakah kamu melihat ada niat buruk di sini?" tanyanya, pura-pura polos.
Sutan meletakkan naskah terakhir dengan tangan gemetar. "Kamu... kamu tahu terlalu banyak. Ini tidak mungkin hanya kebetulan."
Tania tersenyum tipis, mengunci mata Sutan dengan tatapan tajam. "Kamu benar, Sutan. Ini tidak kebetulan. Aku tahu semuanya karena aku memang sejak dulu keluargamu rela melakukan apapun demi uang. Apalagi sejak pabrik rokok lokal yang dikelola turun temurun oleh keluargamu itu bangkrut. Semua cerita ini aku dapat setelah membayar adik tirimu. Untuk seseorang yang tak acuh dengan sekitarnya, kau dan keluargamu layak mendapatkan hukuman publik seperti ini."
Sutan membelalakkan mata, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Kenapa? Apa yang keluargaku pernah lakukan padamu?"
Tania mengambil napas dalam-dalam, menatap Sutan dengan mata yang penuh kebencian dan kepuasan. "Memang tidak ada hubungannya langsung denganku dan denganmu. Keluargamu merusak lingkungan dengan limbah B3 hasil pengolahan rokok. Air di kampung kita tercemar, membuat banyak perkebunan rusak. Setiap kali ada protes, keluargamu yang berkuasa selalu berdalih bahwa pabrik rokok lokal kalian membantu daerah itu dengan memperkerjakan orang-orang sana. Padahal, dulunya masyarakat hidup mandiri tanpa harus bergantung pada pabrik kalian."
Sutan menelan ludah, mencoba memproses informasi yang baru saja ia terima. "Tapi... bukankah pabrik itu memberikan pekerjaan bagi banyak orang?"
Tania mengepalkan tangannya, kemarahan terpendam selama bertahun-tahun muncul di permukaan. "Pekerjaan? Kalian merampas kehidupan kami! Dulu, kami hidup dari pertanian yang subur. Setelah pabrik kalian mencemari air, lahan rusak, panen gagal, dan banyak yang terpaksa bekerja di pabrik karena tidak ada pilihan lain. Itu bukan bantuan, Sutan, itu penjajahan modern."
Sutan terdiam, tatapan matanya penuh penyesalan. "Aku tidak tahu... Aku tidak pernah sadar tentang semua ini."
"Karena kamu tidak peduli," potong Tania tajam. "Kamu hidup dalam kemewahan tanpa peduli pada penderitaan orang lain. Aku sengaja menjatuhkan mental keluargamu agar pabrik itu bangkrut dan segera tutup. Aku ingin melakukannya dalam diam, tapi sialnya kau tiba-tiba mengenal namaku."
Sutan duduk kembali, lemas. "Lalu apa yang harus aku lakukan? Ibuku malu keluar rumah karena kamu membuat cerita perceraian ibu dan ayahku karena masalah ranjang. Ayahku pergi, ibuku menikah lagi dengan seorang lelaki muda pembual yang pernah menikahi seorang janda yang sudah memiliki anak usia remaja. Dan kini setelah ibu kandungnya mati, dia justru menjual cerita kepada kalian untuk membeli sabu. Apa kau pikir tindakanmu itu sungguh heroik?!"Cecar Sutan tak beraturan. Sebenanrya masih banyak sekali aib keluarganya yang ditulis mentah-mentah menjadi bahan cerita. Ia bingung dengan semua hal yang bukan berasal dari kesalahannya tapi sekarang hidupnya jadi hancur. Ia harus resign dari pekerjaannya di ibukota dan pulang mengurus ibunya. Saudara ibunya yang ikut mengurus pabrik warisan kakek mereka semua lepas tangan karena malu dengan saudaranya sendiri. Pabrik itu memang perlahan terbengkalai, hanya memproduksi seadanya setahun terakhir ini sejak sinetron-sinetron itu muncul.
"Aku akan terus berjuang, sampai pabrikmu itu tutup" jawab Tania tegas. "Melalui tulisan, melalui media picisan. Aku akan membuka mata semua orang tentang azab apa yang bisa terjadi atas ketidakpedulian itu. Meski azab itu tidak ada, maka aku yang membuat kalian merasakannya."
"Kamu...kamu buka Tuhan, Tania." jawab Sutan menanggapi. "Aku... aku tidak tahu harus berkata apa. dan aku juga tidak punya kuasa untuk memperbaiki ini."
Tania menatap Sutan dengan skeptis. "Aku sudah tau. Karenanya aku tidak pernah menyentuhmu langsung. Sialnya kau melihat dan mengenal namaku. Padahal aku hanya ingin menghancurkan semuanya dalam diam. Sekarang kamu mau apa? menuntut kami?" Tantang Tania.
"Tidak. Aku tidak gegabah memulai perkara baru yang akan menghabiskan banyak uang. Saat ini keluargaku sudah hancur seperti tujuanmu. Luar biasa kamu merencanakan semua ini. Pantas saja kamu mengelak saat di cafe kemarin. Kalau disini aku tidak bisa menyerangmu sembarangan."
"Kau kira aku sekolah hanya untuk mengejar gelar? hanya sekedar bekerja? Tidak Sutan, kelakuan yang kau lihat licik ini adalah hasil pola pikir seorang sarjana komunikasi."Tania menjawab dengan pongah.
Sutan sudah tak punya jawaban apapun untuk menanggapi. Dengan tertunduk ia menatap mata Tania yang menatapnya percaya diri. Berbeda sekali dengan sorot mata saat ia menyerang Tania di Cafe pekan lalu. Tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun, Sutan meninggalkan ruangan dan pergi dari sana. Entah apa yang akan ia lakukan pada keluarganya yang sudah hancur. Kemarahannya sama Tania murni karena ia terkejut mengetahui ada seseorang yang ia kenal terlibat dalam karya itu. Ia tidak menyangka ada hal seperti ini. Tania benar, ini bukan dendam antara Tania dan dirinya.
Tania menutup naskah yang tadi ia tunjukkan pada Sutan. Meski kemarin ia terkejut saat Sutan menyerangnya. Kini ia tersenyum puas. "Hmm, cari bahan baru ah." Gumamnya. Sambil berjalan kembali ke ruang kerjanya. Laptop tersiram kopi kemarin bertengger di mejanya dan masih bisa ia gunakan. Benda itu akan menjadi saksi bisu bagaimana media bisa berpengaruh dengan baik dan jahat.
366 Hari Bersajak - 136. Siklus
366 Hari Bersajak - 135. Lihat Kanan-Kiri Sebelum Menyebrang
366 Hari Bersajak - 134. Pikiranku
366 Hari Bersajak - 133. Juri
366 Hari Bersajak - 132. Daur
Suara hujan terdengar deras menderu
di dalam istanaku, aku mengintip dari jendela
seseorang memegang payung rusak
tak mampu melindunginya dari basah
tapi ia terus berjalan, perlahan hilang dari pandangan
udara bergerak semakin kuat
tekanan suhu membuatnya semakin liar
seseorang memeluk dirinya sendiri erat
badan ringkih itu seolah tak mampu menahan
ia tetap berjalan perlahan, hilang dari pandangan
Terlihat penuh kesulitan dan kegetiran,
namun mataku melihat esensi kehidupan
entitas itu melebur dalam hujan
ia bebas membaur dalam kompetisi bertujuan
sementara putri kecil di istananya yang megah
aku tak perlu risau dengan hujan badai tak terarah
sejatinya aku tak kemana-mana
terpenjara dalam tembok dan atap yang indah
sekarang, siapa pemenangnya?
366 Hari Bersajak - 131. Tidak ada Imajinasi
dengan riang gembira aku katakan
kita akan pergi ke benua bernama eropa,
ia bertanya, benua itu apa?
dengan riang gembira aku beritahu
nanti kubawakan oleh-oleh dari Kathmandu
ia bertanya, toko apa itu?
dengan riang gembira ku beri kabar
kau bisa jadi dokter saat sudah besar,
ia menjawab lirih, tidak mungkin, kemarin temanku saja tak sempat menjadi besar... perut dan matanya kulihat keluar
366 Hari Bersajak - 130. Batu
Hari ini hujan tidak lagi mengagetkan di bulan Juni
Karena kebohongan di bulan April sudah berulang
Mei menjadi mediator rasa sakit yang sempurna
Cuaca tak memperhitungkan perasaan
Kekejaman hanya memetingkan tujuan
Disini yang mengerti hanya mampu terdiam
Perubahan apapun yang terjadi
Tak membuat banyak bergeming isi hati
mungkin sudah lama berubah jadi batu, tak tahu
Ternyata benar, tidak mudah sudah menjadi terlahir.
dengan wujud yang belum terlahir sudah berakhir.
.
.
.
Maaf, Rafah.
366 Hari Bersajak - 129. Besar Kecil
366 Hari Bersajak - 128. Ramalan-Nya
Sulit rasanya harus menahan isak tangis
Sulit rasanya raga tak bergetar setiap mendengar kabar
Hari ini, Rafah luluh lantah
Hari ini,
kenapa pasrah...
Jumlah pembela banyak
tapi seperti buih dipermukaan
diriakkan, muncul terang-terangan
lalu hilang dibawa angin, lalu hilang digulung ombak
diriakkan, muncul kembali semakin banyak,
lalu... apa?
Buih itu tak ada pertahanannya. Ia hanya bentuk dari tegangan permukaan
Dulu, kita bingung kenapa begitu sulit membedakan air dan api
Kini, untuk melihat saudara kita, masih harus menggunakan produk y*hudi
Sulit.
Pahit.
Sakit.
Apa... Tuhan... hamba takut... tak bisa menjadi bagian dari perlawanan... hamba takut... hanya menjadi buih lautan....
Apa yang harusnya kita lakukan...
366 Hari Bersajak - 127. Putar Balik
Dulu miskin ilmu, tapi pengamalannya penuh
setitik saja terlihat penjelmaannya
terasah dan bercahaya
Kini ilmunya banyak, tapi layas mencari pembenaran
hati terperangkap, dalam labirin berputar-putar
Dalam pertanyaan, mencari jawaban
366 Hari Bersajak - 123. Guna Guna Guna
Apa gunanya sekolah, jika tak menjamin hidupmu mudah
Apa gunanya belajar, jika tak menjamin kita menjadi kaya raya
Apa gunanya pendidikan, jika hanya untuk memajang ijazah
Apa gunanya nalar, jika tetap memakai jejaring keluarga
Guna, dari berguna
guna-guna, kelenik punya bahasa
jadi manusia harus berguna
terjebak dalam guna-guna
Ya itu, gunanya.
jangan seperti guru yang berguna tapi harus masuk dalam guna-guna.
366 Hari Bersajak - 122. Aneh betul piramida ini
Tags
- Cerpen (29)
- HST (5)
- Melodi Kata (95)
- SPEAK UP (3)
- Teriakan Kata (7)