Semua Ilmu, Ada manfaatnya

 Semua Ilmu, Ada manfaatnya


Ketika kamu mengetahui bahwa ada ilmu yang tidak bermanfaat, maka itulah manfaatnya, kamu akhirnya tau kalau itu tidak bermanfaat. Bingung?

Aku semakin sering tertawa geli ketika memahami bahwa ada banyak hal yang tidak didapatkan dari bangku perguruan tinggi. Ada banyak skill yang didapatkan justru setelah menemukan kasus di pekerjaan, menguliknya, mencari tau, mencari guru, lalu menemukan jawabannya. Tapi kalau aku tidak kuliah, bahkan aku tidak akan bertemu dengan kasus itu. Bingung?

Aku tertawa miris kala melihat pedagang yang berbekal pengalaman turun temurun sama bahkan bisa menghasilkan uang lebih banyak dari seorang bergelar doktoral setelah belasan tahun. Tapi kalau tidak kuliah, aku tidak tau bahwa pedangang bisa gulung tikar tapi ketajaman berpikir tak bisa hilang begitu saja. Bingung?

Aku melihat gambar-gambar dan membaca sekilas ratusan tulisan yang telah ku hasilkan. Banyak yang sampah. Tapi aku tidak tau kalau tulisan dan karya ini sampah kalau aku tidak melihat hal yang lebih baik saat mencari referensi bagi karya-karya sampahku. Bingung?


366 Hari Bersajak - 157. Seperti Ini Saja Maunya

Jalanan pulang dihiasi titik-titik cahaya meredup

Maju kedepan, suasana semakin kelam

Memang sudah malam, ditambah dengan gulita


Toko-toko lebih cepat tutup

mesin kasir sudah hitam

takut ada yang gelap mata


Sssshuushh, shuush, seorang ibu dengan lembut meniup

anak dipangkuanya tak kunjung terpejam

Terbiasa gawai pintar, sang ibu tak lagi pintar bercerita


Sudah dua jam gawai pintar tertelungkup

karena baterainya sudah padam

anaknya takkan mengerti, masih balita


Mati listrik, semua menunggu hidup

Padahal mati, tak menunggu datangnya malam


Kita tak menunggu, nanti juga dipanggil sang pencipta



366 Hari Bersajak - 155. Kembali Pulang (Cerpen)

Bandara Polonia, 2012
Aldi menghembuskan napasnya saat turun dari pesawat. "Medan," gumamnya. Dengan lambat ia menyusuri pintu keluar kedatangan luar negeri, mencari taksi setelah mengambil bagasinya.


Tak lama seorang supir taksi menghampiri Aldi. Dengan menunjukkan alamat dari gawainya, pak supir langsung melaju menyusuri jalanan kota Medan. Aldi tak peduli pemandangan Medan yang banyak berubah. Pikirannya menerawang entah ke mana. Enam tahun setelah ia meninggalkan kota kelahirannya ini. Tak ada sebenarnya yang ia rindukan dari kota ini. Sejak ia menjadi yatim piatu ketika kelas 2 SMA, ia menjadi ambisius menyelesaikan pendidikannya. Ketika itu, Aldi yang anak tunggal hanya ditemani omnya yang belum menikah di rumah mendiang orang tua Aldi. Bulan lalu omnya menikah. Karena itu, omnya meminta Aldi untuk pulang dan menempati rumah warisan orang tuanya sendiri.

Di dalam taksi, Aldi merasa matanya panas. Ia seakan ketakutan untuk kembali ke rumah itu. Ia takut kembali menjadi sendirian. Selama di National University of Singapore, ia tinggal di apartemen dengan 3 temannya yang lain sehingga tak merasakan kesepian. Dan masih bersama mereka hingga bekerja. Kini ia harus bersiap akan kembali sendiri jika harus menempati rumah orangtuanya.

Akhirnya taksi berhenti di depan rumah yang cukup besar. Tak banyak yang berubah. Pekarangannya tetap bersih karena selalu dirawat Bang Torang yang dibawa omnya untuk merawat rumah ini sejak omnya menemani dia 6 tahun lalu. Tapi Bang Torang tidak tinggal di rumah itu. Empat tahun lalu Bang Torang menikah dengan Kak Sari yang jual bumbu di pasar Simpang Limun dan tinggal di rumah istrinya sejak itu.

"Wey Di! Dah sampek ko rupanya. Kok gak bilang abang tadi biar abang jemput ko," tiba-tiba sesosok pemuda cungkring namun berotot menepuk Aldi dari belakang.

"Eh Bang Torang? Ah, bikin saya kaget saja," kata Aldi menyapa pemuda yang ternyata Bang Torang.

"Alamak, 6 taon ko di negeri singa itu ngajarkan kau jadi sungkan sama ku gini ya? Sok kali ko pake saya-saya. Hahahaha." Bang Torang lalu mengangkat koper Aldi ke dalam rumah. Aldi mengikutinya.

"Enggak gitu bang." Balas Aldi ramah. "Aku masih pakai nomer di Singapur. Roaming kalau nelpon abang. Aku komunikasi sama Om lewat BBM." Jelas Aldi.

"Haa, iya, iya. Adapun duitku beli be be em- be be em itu nanti malah dipake kakakmu apdet-apdet status." Canda Bang Torang sambil mempersilahkan Aldi untuk duduk dulu.

"Jadi, apa kabar abang sekarang Bang? Makasih ya rumah ini dirawat tetap seperti dulu," ujar Aldi setelah duduk di ruang tamu dan tak ada sedikit pun perabot berubah bentuk. Foto keluarganya pun masih tergantung rapi di dinding ruang tamu.

"Kabar ku ya gini-gini aja la. Anak abang udah 2 sekarang, besok kalo ko belum sibuk ku ajak orang tu ke sini ya. Eh maunya aku la ya nanyak kabar ko udah 6 taon di negeri orang. Cemana? Dapat cewek cantik ko di sana?" Kumis tipis Bang Torang bergerak-gerak jenaka kalau pengen tahu sesuatu.

"Apanya ko Bang! Kurang cantik kali aku rupanya hah?!" Tiba-tiba Kak Sari muncul di pintu rumah Aldi dengan membawa rantang makanan.

"Bah? Apanya ko dek. Masuk-masuk merepet pulak. Bukannya ngasi salam selamat datang sama si Aldi ini." Bang Torang mendengus sambil mengajak istrinya masuk.

"Hehe. Assalamualaikum dek Aldi. Apa kabarnya kau?" Kak Sari menyapa Aldi sambil nyengir.

"Aldi baik kak, duduklah dulu kak." Aldi mempersilakan. Sari pun duduk.

"Nah, ini ku bawakan makanan buat kau. Pasti lapar setelah perjalanan." Kak Sari membuka rantang dan mengeluarkan berbagai jenis makanan. Ada rendang, sambal terasi, dan sayur asam. Sungguh sambutan Bang Torang dan Rantang kak Sari terasa begitu hangat menyambutnya.


"Terima kasih banyak, Kak. Masakannya wangi sekali," Aldi mencoba tersenyum. Namun, di dalam hatinya, ia masih merasa hampa.


Bang Torang dan Kak Sari mencoba menciptakan suasana nyaman, namun Aldi masih merasa terjebak dalam kenangan masa lalu. Setiap sudut rumah ini menyimpan bayangan kedua orang tuanya. Malam itu, setelah Bang Torang dan Kak Sari pulang, Aldi berjalan mengelilingi rumah, menyentuh perabotan dan foto-foto yang tersusun rapi di dinding.


"Ma, Pa, Aldi sudah pulang," bisiknya pelan.


Di kamarnya, Aldi duduk di atas ranjang yang dulu sering ia tiduri. Ia merasa beban berat di dadanya perlahan mulai mengendur. Mungkin, dengan kembali ke rumah ini, ia bisa belajar menghadapi rasa kesepian yang selama ini menghantui.


Malam itu, Aldi menatap langit-langit kamarnya. Ia tahu, meskipun berat, kembali ke Medan adalah langkah pertama untuk berdamai dengan masa lalunya. Aldi menutup matanya, membiarkan kehangatan nostalgia menyelimuti dirinya.




-------------------------------
Cerpen ini ditulis di tahun 2014. Aku menemukannya saat sedang membereskan file di Hardisk lama.

366 Hari Bersajak - 151. Mengerti Apa

Terus, menyelam, dalam, dunia, maya
Padahal, ini saja, sudah, di dalam, dunia, fana

Aku mempelajari setiap ilmu dengan seksama
selain ilmu agama

Aku membaca habis setiap buku fiksi terbaru
selain satu buku

dua dekade sudah dilewati
diajari sejak sedari dini
tapi mengapa sulit mengerti
sekadar membaca tanpa tau arti

Kamu telah melihat orang-orang pergi
meninggalkan dunia yang penuh tipu muslihat
Namun tidak mengambil pelajaran pada diri sendiri
kemana mereka pergi setelah liang lahat

Hari ini aku berfikir begini
besok aku melakukan lagi begitu

hari ini aku mengasihani diri
besok seolah tak pernah menulis ini

Padahal, ini saja, sudah, di dalam, dunia, fana
Terus, menyelam, dalam, dunia, maya

366 Hari Bersajak - 149. Takdir

Aku tau kamu sedang menikmati dunia

Hidup, kesenengan, berlebih harta

Tidak apa, karena tak semua berpunya


Parasmu indah, organmu lengkap

fisik bisa bergerak sempurna

berkat genetik dari orangtua


Kau dirawat dengan penuh kasih sayang

welas asih, meski kadang lewat pengasuh

Tidak apa, karena tak semua disayang


Dan berhenti menikmati seluruh kebebasan

bebas dalam belajar dan mengasah segala hal yang kau suka

tak apa, karena tak semua bisa pergi


Kau dan aku sama-sama bersyukur

aku dan kau sama-sama paham atas nikmat ini

dan aku serta kau, tidak apa-apa kita menikmati ini bersama


mereka yang tidak berpunya

mereka yang tidak disayang

mereka yang bukan kita


Tuhan pilih, ku nikmati

kenapa pusing-pusing melihat kanan-kiri?

tak ada yang mampu menukar nasib, kan?


(tentu tidak begitu)

Review Novel dan Film Bukan Cinderella (Dhety Azmi)

        Aku gak tau sih kenapa tiba-tiba aku nulis review buku sekaligus film disini, hehe. Karena biasanya aku sering buat review film di blog utama. Blog ini khusus tulisan aku dan juga review khusus karya-karya yang berbentuk tulisan. Tapi kali ini aku gak bisa pisahin untuk review sekaligus keduanya setelah aku menonton filmnya dan lanjut membaca novelnya di wattpad. Padahal Film-nya banyak dihujat karena katanya akting Fuji lah, cuma memanfaatkan keteranan Fuji saat itulah, tapi ternyata dari pandanganku, ini bukan cuma karena Fuji aja sampe filmnya dapat rating 1,4/10 di IMDb. 


        Awalmulanya aku iseng nonton sih karena.. biasalaah~ dari Twitter atau X. Warga cicicuit itu liar dan logis sekali kalau mengomentari sesuatu. Langsung heboh tuh ngomentarin ni film yang udah tayang dari tahun 2022 setelah bisa dimasukkan kedalam tontonan di aplikasi Vidio. Kalau pengguna telkomsel gampang banget lah beli paket-paketan buat nonton di aplikasi itu. Ga mahal juga. Eits ini bukan lagi promoin aplikasi streaming film ya. Jadi balik lagi ke warga cicicuit, komentarnya bikin aku ngakak sekaligus penasaran seburuk apa sih film ini? Padahal aku tuh selalu berprinsip 'engga perlu makan kotoran untuk tau itu gak enak', jadi kalau udah ada banyak orang yang ngasi tau faktanya, enggak usah malah ga percayaan dan nyobain sendiri. hahaha. Tapi untuk kali ini, aku mau membuang waktuku sejenak, hahahah! Ampuni hamba, Tuhaaan


Review Film Bukan Cinderella (2022)

Aku akan review ini lebih dulu karena memang aku lebih dulu nonton filmnya.Film dibuka dengan monolog suara Fuji yang menjelaskan tentnag sekolahnya, bahwa sulit untuk masuk ke sekolah itu dan dia berada di kelas paling akhir. Lalu ada scene sepatu converse yang ketinggalan sebelah, di rel pagar sekolah, saat anak-anak pada berlarian masuk karena gerbang udah mau ditutup. Aku gak ngerti itu sepatu siapa karena enggak dijelasin di monolog itu, dan ga tau juga scene itu buat apaan.


Terus masuk ke suasana kelas Amora, si tokoh utama yang diperankan oleh Fuji. Enggak ngerti kenapa itu kelas yang dibilang kelas buangan lebih kayak kelas anak-anak hm... butuh perhatian khusus? Karena kesan anak rebel nya itu gaada. Cuma di scene awal-awal di ceritain kalau Ayahnya Amora ini petinju (gak keliatan dari bodinya T_T) dan Amoranya juga seneng tinju.


Alur ceritanya sangat lompat-lompat sehingga sulit mereview setiap scenenya disini.


Jadi anak kelas buangan sejak dulu ga suka dengan anak kelas unggulan yang didominasi oleh anak-anak OSIS. Ketua OSIS-nya bernama Adam, selalu aja dengan karakter ala wattpad, cowok dingin dengan aura membunuh. Kulbet banget lah pokoke. Dengan dua temennya, si Ardi dan Juna. Terus disekitar mereka ada cewek-cewek dengan rambut nyalon abis plus pirang-pirang. Apakah sekarang anak SMA di Jakarta begitu, aku ga tau.


Pada suatu hari, si Adam ini keluar dari ruang Laboratorium buru-buru, dan gak sengaja sebelah sepatunya malah ketuker sama sepatu barunya si Amora. Dengan perbedaan tinggi mereka, aku yakin itu kaki si Fuji banter ukuran 36-38 lah, sementara si Adamnya itu pasti diatas 41. Jauh banget!


Marahlah si Amora saat mengetahui sepatunya ketuker sama si Adam, di pijak pula belakang sepatunya. Dipukulkan si Amora sepatunya Adam ke pemiliknya. Serius deh.. mending mereka ketuker topi sekolah atau botol minum yang serupa lah masih masuk akal...


Masalah diselesaikan diruang BK, dan itu adalah penyelesaian masalah paling cringgggggggeeeeeeee. Mual banget nontonnya (terus kenapa masih ditonton?). Aku tuh pernah SMA, dan aku yakin sutradara serta penulis cerita juga pasti pernah SMA. Gaada perkara berantem kecil terus dikasih surat peringatan ke sekolah. Apalagi ceritanya si Adam ini anak yayasan. Gubrak, gubrak, gubrak, jeng, jeng, jeng!


Bete-lah si Adam, terus mau di bully si Amora ini oleh geng anak OSIS buat ngasih pelajaran supaya si Amora ini pahak dia gak boleh seenaknya ke si Adam. Muncul si Ardi sebagai ketua kedisiplinan, dengan alasan itu mereka mau nyeret Amora (padahal ini udah selesai di BK woy), terus di hadang dong oleh teman-temannya Amora. Nah temennya Amora ini rame juga dan gaada gunanya dalam frame itu. Serius deh. Si Eka, temen Amora, nunjukkin ke Ardi video Adam cs sedang merokok sebagai kartu AS. Ardi minta itu dihapus, kata si Eka ada syaratnya, si Adam harus nembak anak kelas buangan, yaitu Amora. Dengan dalih buat menghancurkan harga diri anak unggulan dan geng OSIS. Iya, ini OSIS udah jadi geng, bukan organisasi kesiswaan lagi. Habisnya gaada kerjaan si OSIS ini selain haha-hihi di lorong sekolah.


Adam nembak - Amora dipaksa menerima - Keluarga Adam broken home - Juna deketin Amora - Adam cemburu - Adam digebukin Preman - Amora nolong Adam - Eka dan Ardi sparing tinju (?) - Sekolah geger soal mereka pacaran boongan - Adam nyium Amora di depan banyak siswa - Mereka jadi pacaran beneran - keluarga Adam kembali rukun. 


Udah deh, kayaknya itu aja jalan cerita yang aku tangkap. ini udah kayak potongan-potongan video di satukan tanpa ada jembatan ceritanya. Mending kalau monolog di awal itu terus ada sampai akhir untuk memperjelas cerita. Ini cuma ada di awal dan akhir dan tidak mempengaruhi isi cerita juga. Haddeeeuuh...


Pemainnya rame banget, aku pusing liat layarnya. Enggak nyaman. Padahal secara visual, Fujinya udah cukup enak dilihat sih. Yang jadi Adam juga gak buruk aktingnya. Cuma memang si penulis skenario dan tim editing nya yang parah banget. Apakah digarap oleh fresh graduated semua aku juga ga ngerti. Aku udha ga minat lagi cari tau latar belakang sutradara dan penulis ceritanya. Ini itu kayak seluruh isi novel dimasukkan ke dalam AI untuk ngeresume setiap bab, terus di jadiin skenario. Gitu.


Pokoknya ini bukan karya dikerjakan pakai perasaan manusia. Asal jadi banget. Manfaatin hypenya Fuji doang.


Udah gitu aja review filmnya.



Review Novel Bukan Cinderella (2018)

Kalian bisa baca novel yang best seller ini di Ipusnas. Novel yang sebelumnya ditulis melalui platform wattpad, seperti yang sudah aku duga ditulis dengan gaya ala teenlit 2010-an. Karena ketika aku nonton filmnya, aku ngerasa ada aura dikiitt Dealova didalamnya. 


Novel ini tebalnya 450 halaman. Cukup tebal untuk sebuah novel teenlit pada umumnya. Di goodreads, mendapatkan rating 3.59 dari 5. Tidak terlalu buruk, ya?



Novel dibuka dengan cerita inti langsung, soal sepatu yang gak sengaja ketuker. Ceritanya ini sepatu converse yang baru di beli Amora pakai uang tabungannya. Nah aku gak ngerti kenapa ilustrasi di buku adalah converse yang high, bagian sepatunya sampai nutup mata kaki. padahal di jelaskan kalau si Adam mijek bagian belakang sepatu.


Amora digambarkan sebagai anak yang belum pernah masuk BK sebelumnya meski berada di kelas anak-anak buangan dan bandel. Anaknya cuek galak manis gitu. Kalau dari gambaran novelnya, aku nangkep ini anak yang kebetulan gak terlalu pandai disekolah tapi secara pergaulan dengan teman-temannya cukup bagus. Tau siapa sosok yang aku pikirkan saat membaca karakter awal si Amora ini? Chateez -___- iya, di BA e-sport itu.



Alur ceritanya sama persis dengan film, beberapa deskripsi yang lebih panjang pada novel menjelaskan beberapa plot hole di film. Meski enggak semuanya, karena tetap masih banyak plot hole dalam novelnya (padahal udah 400-an halaman woy)


Ada Juna si wakil ketua OSIS yang enggak suka sebenarnya dnegan kegiatan OSIS jadi suka sama Amora karena ngeliat tingkah cueknya Amora. Karena kebetulan ketemu Amora di tukang martabak manis, jadi dia suka beliin Amora makanan. Masuk akal.


Cuma mantanya si Juna ini Sasa, Sekertaris OSIS, cantik. Jadi semua ngerasa jomplang kali kalau si Juna malah suka sama Amora. Tapi akhirnya mereka jadian lagi sih. Terus ada konflik ternyata Junanya suka sama Dinda teman Amora. Pusing deh.


Lama kelamaan pacaran pura-pura itu malah menumbuhkan rasa di hati Adam terhadap Amora. Dia selalu bilang kalau Amora masih statusnya pacar dia dan milik dia. Ala-ala pacaran anak SMA lah. Masuk akal.


Jadi pernah satu kejadian si Juna dan Adam sama-sama jemput Amora dari rumah ke sekolah. Masa mereka ga tau kalau biasanya Amora itu berangkat sekolah sama Keenan? Jadi rebutan kan. Si Keenan malas ikutan, jadi ditinggalin deh Amora.


Pokoknya konfliknya masih berputar di situ-situ aja. Semua anak unggulan dan anak kelas buangan ini saling punya pasangan untuk 'belajar bareng' katanya. Terus tambahan cerita broken homenya keluarga Adam.


Terus di novel tetap ga dijelasin apakah video itu akhirnya dihapus apa enggak.


Kenapa si Adam digebukin. Siapa sebenarnya yang bagian dari yayasan, Ayahnya atau Ibunya Adam. Ga dijelasin kenapa Amora suka tinju dan kenapa Eka juga suka tinju. Padahal mereka bukan atlit tinju. Kenapa Keenan bisa gak pernah punya rasa sama Amora, kenapa Juna dan Adam ga pernah cemburu ke Keenan. Dan banyak lagi cerita serta tokoh ekstras yang enggak menjelaskan cerita.


Udah deh, aku mual nulis reviewnya. Maaf ya pembaca.



Tadinya di penutup aku mau nulis tentang apa aja yang sebaiknya dikurangi di film biar lebih smooth jalan ceritanya. Ternyata setelah baca novelnya juga engga terselamatkan. Perutku mual banget sekarang. Leherku kayak kecekik dan kepala ku puyeng.


Literasi anak bangsa boleh jadi meningkat, tapi penulis dan sutradara yang sudah lebih dewasa gak cuma mikirin cuan. Kasihlah karya berkualitas dikit, pakai hati buatnya. Membangun karakter bangsa memang seolah bukan tanggung jawab bersama, tapi aku enggak ingin jika punya anak mereka harus membaca dan menonton karya seperti ini. Semoga kelak anakku bisa bedain mana karya mana prakarya.


Beneran kapok deh coba-coba nonton hal yang udah direview cinecrib dan berbagai reviewer lainnya. Mereka udah berkorban terus aku ikutan jadi korban. Ampuuun, Ampuuun!

366 Hari Bersajak - 138. Tugas

buah kelapa terombang-ambing di lautan
tanpa dayung, tanpa sampan

tujuannya? tidak tahu berlabuh kemana
sampai kapan? 5-10 tahun lebih tak mengapa


ia bertahan dengan daging buahnya
sendirian, tanpa harapan ada yang membantunya

demi bertemu daratan
dan bertumbuh disana

akarnya akan muncul ketika bertemu daratan
meski ia tahu nantinya ada gangguan

sebelum bertunas, bisa jadi dimakan kepiting
sebelum bertunas, bisa jadi ditarik ombak kembali

demi menuntaskan tugas
demi menghasilkan lagi buah kelapa

yang jika tidak manusia makan
maka ia akan kembali terombang-ambing di lautan

tanpa dayung, tanpa sampan
demi bertemu daratan.



366 Hari Bersajak - 137. (Cerpen) Naskah Opera Sabun

Di salah satu cafe yang berada di kawasan perkantoran, Tania duduk sendiri asik mengetik di laptopnya. Ia menikmati suasana pagi menjelang siang di dalam ruangan dengan musik Lo-Fi yang diputar oleh pemiliknya. Tak ada orang lain di sekitarnya, hanya ada dua-tiga pengunjung yang menunggu pesannya untuk mereka bawa pergi. Kadang tangannya berhenti sejenak memikirkan lanjutan kalimat yang akan ia ketik berikutnya. Menghapus, lalu lanjut mengetik lagi. Sedang asik berimajinasi, tiba-tiba seseorang menumpahkan minuman di atas laptopnya. Refleks ia langsung membalikkan laptop untuk meminimalisir air yang masuk. Jantungnya langsung berdegup keras, bibirnya terkatup, syok menjalar keseluruh tubuh hingga tak mampu mengeluarkan suara. 


"Seru sekali ya menjadikanku terus-menerus bahan cerita." Suara berat seorang laki-laki, pelaku penyiraman itu menyadarkan Tania dari tubuhnya yang tiba-tiba kaku. Dengan cepat ia menoleh dengan perasaan ingin marah besar kepada manusia itu. Matanya menyipit tajam, menghujam mata lawan bicara. Namun itu hanya terjadi sepersekian detik. Saat menyadari sosok di samping nya itu, sorot matanya perlahan meredup dan mengarah kebawah, menunduk.


"Kenapa? mau marah? aset mu itu kan kau dapat dari menjual kisah ku." Lanjut lelaki berkaus polo itu sambil meletakkan gelas plastik kosong di meja yang berceceran Americano. Dengan tangan bergetar, Tania mengambil tisu dan masih berusaha mengelap untuk menyelamatkan laptopnya. Laptopnya masih menyala, tapi ia belum berani membalikkannya kembali, takut masih ada air. 


"Aah, sial sekali aku baru pulang ke kota ini kemarin dan langsung bertemu denganmu. Memang ada aku rasa hal yang kurang dikepala mu itu. Bisa-bisanya kamu masih fokus dengan harta haram itu!"


Sementara itu, pelayan cafe yang sedari melihat kericuhan itu berusaha mendekat dan perlahan mengeringkan meja dan membersihkan lantai perlahan. Manajer mereka sedang tidak ditempat, antara takut harus terlibat percek-cokan ini atau justru harus lebih ekstra tenaga membersihkan tumpahan kopi yang mengering.


Tania perlahan mengangkat kepalanya dan menghadap ke Sutan, seseorang dari sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas yang sama dengan Tania. "Aku tidak mengerti maksudmu, dan aku juga tidak mengenal kamu siapa." Jawab Tania tegas. Ia tidak salah, sejatinya ia tidak pernah benar-benar mengenal Sutan. Meski satu sekolah, mereka tidak pernah terlibat apapun. Selama enam tahun diantara mereka hanya mengenal wajah saja.


"Kamu..., kamu kan? kamu mengintipku dari seluruh sosial media milikku, mengintip sosial media keluarga ku juga, menyimpulkan status saudaraku yang mengeluhkan masalah keluarga dan kamu jadikan bahas cerita untuk kamu jual menjadi cerita sampah ditelevisi!" Amarah Sutan lepas dengan jelas.


Si pelayan menyela "Maaf mbak, mas, mau pindah meja atau mau keluar dulu sembari saya bersihkan mejanya?"


"Kalau saya keluar atau pindah meja repot, barang-barang saya masih disini semua." Jawab Tania.


"Kalau mau keluar dulu juga enggak apa-apa, barangnya terawasi cctv itu ya mbak." Tunjuk Pelayan laki-laki yang sangat pemberani tapi terlihat tidak tau situasi itu ke arah CCTV terdekat.


"Oke, Sutan, kita mau keluar dulu?" Tawar Tania.


Sutan menarik napas dalam-dalam, matanya melirik ke arah pelayan yang menunggu jawaban. "Iya, kita keluar dulu," jawabnya akhirnya. Tania masih membawa laptopnya terbalik dengan hati-hati, lalu mengikuti Sutan menuju pintu keluar kafe. Di luar, angin sepoi-sepoi bertiup, sedikit menenangkan suasana yang tegang.


Di trotoar, mereka berdiri berhadapan. Tania bisa melihat sorot mata Sutan yang penuh dengan kemarahan. "Aku benar-benar tidak tahu apa yang kamu bicarakan," Tania membuka percakapan, suaranya masih gemetar.


Sutan menggelengkan kepala, "Jangan bohong. Aku tahu cerita-cerita itu persis. Kamu menulisnya dengan detail yang hanya bisa diketahui oleh orang yang benar-benar stalking keluargaku."


Tania menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Dengar, aku memang seorang penulis, hal yang wajar aku mengambil inspirasi dari kehidupan pribadi orang lain. Jika ada kesamaan, itu hanya kebetulan. Lagipula, kenapa aku harus menghabiskan waktu untuk mengintip kehidupanmu, Sutan."


Mata Sutan menyipit, skeptis. "Jadi kamu bilang semua ini hanya kebetulan?"


"Jika memang ada kesamaan, aku minta maaf. Tapi aku yakin, tidak pernah menulis sesuatu yang secara spesifik mengarah pada kehidupan pribadimu."


Sutan terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Tania. Amarahnya perlahan mereda, meskipun masih ada sisa-sisa ketidakpercayaan. "Kalau begitu, kenapa cerita-ceritamu sangat mirip dengan kejadian yang pernah keluargaku alami? ibuku sampai jadi bahan tertawaan di arisannya. Semua perempuan kurang kerjaan yang menghabiskan waktunya dirumah pasti menonton drama murahan produksi PH -mu itu!"


"Sebelum aku menjawab, aku punya satu pertanyaan," Tania menatap mata Sutan dengan tegas, "Dari mana kamu tau aku bekerja untuk PH itu?"


Sutan terdiam sejenak, menatap Tania dengan kebingungan yang perlahan berubah menjadi kebingungan. "Aku... Aku melihat namamu di kredit akhir episode. Itu saja."


 "Oh begitu. Bagaimana kalau kita berbicara dengan tim produksiku? Kita bisa melihat naskah aslinya dan kamu bisa menilai sendiri."


Sutan menghela napas, dilema apakah penilaiannya sebulan terakhir memang salah. Ia Tampak mulai mempertimbangkan tawaran itu. "Baiklah, mungkin kita perlu bicara lebih lanjut, Mungkin itu bisa membantu menjernihkan semua ini." katanya akhirnya.


"Aku akan atur pertemuan dengan timku secepat mungkin." kata Tania dingin,"Dan untuk sekarang tolong kamu pergi dari sini, aku tidak mau memperpanjang penyeranganmu ini terhadapku."


Sutan mengangguk pelan. "Oke. Aku tunggu kabar darimu."


****


Beberapa hari kemudian, di kantor PH, Sutan duduk dengan gelisah di ruang rapat kedap suara. Ia dihubungi melalui nomer kantor PH Tania. Ia bertanya-tanya bagaimana mereka mendapatkan kontak dirinya. "Ah mungkin perempuan itu menemukan nomerku dari grup Alumni." gumamnya.


Tania masuk sendirian, membawa setumpuk naskah. "Sutan, ini naskah-naskah yang sudah kami produksi. Kamu bisa memeriksanya," kata Tania dengan nada ramah namun dingin.


Sutan mulai membaca naskah-naskah itu satu per satu. Semakin lama membaca, wajahnya semakin pucat. Setiap detail dalam naskah itu memang sangat mirip dengan kejadian yang menimpa keluarganya, bahkan ada beberapa yang tidak mungkin diketahui orang luar.


Tania memperhatikan reaksi Sutan dengan hati-hati. "Bagaimana? Apakah kamu melihat ada niat buruk di sini?" tanyanya, pura-pura polos.


Sutan meletakkan naskah terakhir dengan tangan gemetar. "Kamu... kamu tahu terlalu banyak. Ini tidak mungkin hanya kebetulan."


Tania tersenyum tipis, mengunci mata Sutan dengan tatapan tajam. "Kamu benar, Sutan. Ini tidak kebetulan. Aku tahu semuanya karena aku memang sejak dulu keluargamu rela melakukan apapun demi uang. Apalagi sejak pabrik rokok lokal yang dikelola turun temurun oleh keluargamu itu bangkrut. Semua cerita ini aku dapat setelah membayar adik tirimu. Untuk seseorang yang tak acuh dengan sekitarnya, kau dan keluargamu layak mendapatkan hukuman publik seperti ini."


Sutan membelalakkan mata, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Kenapa? Apa yang keluargaku pernah lakukan padamu?"

Tania mengambil napas dalam-dalam, menatap Sutan dengan mata yang penuh kebencian dan kepuasan. "Memang tidak ada hubungannya langsung denganku dan denganmu. Keluargamu merusak lingkungan dengan limbah B3 hasil pengolahan rokok. Air di kampung kita tercemar, membuat banyak perkebunan rusak. Setiap kali ada protes, keluargamu yang berkuasa selalu berdalih bahwa pabrik rokok lokal kalian membantu daerah itu dengan memperkerjakan orang-orang sana. Padahal, dulunya masyarakat hidup mandiri tanpa harus bergantung pada pabrik kalian."


Sutan menelan ludah, mencoba memproses informasi yang baru saja ia terima. "Tapi... bukankah pabrik itu memberikan pekerjaan bagi banyak orang?"


Tania mengepalkan tangannya, kemarahan terpendam selama bertahun-tahun muncul di permukaan. "Pekerjaan? Kalian merampas kehidupan kami! Dulu, kami hidup dari pertanian yang subur. Setelah pabrik kalian mencemari air, lahan rusak, panen gagal, dan banyak yang terpaksa bekerja di pabrik karena tidak ada pilihan lain. Itu bukan bantuan, Sutan, itu penjajahan modern."


Sutan terdiam, tatapan matanya penuh penyesalan. "Aku tidak tahu... Aku tidak pernah sadar tentang semua ini."


"Karena kamu tidak peduli," potong Tania tajam. "Kamu hidup dalam kemewahan tanpa peduli pada penderitaan orang lain. Aku sengaja menjatuhkan mental keluargamu agar pabrik itu bangkrut dan segera tutup. Aku ingin melakukannya dalam diam, tapi sialnya kau tiba-tiba mengenal namaku."


Sutan duduk kembali, lemas. "Lalu apa yang harus aku lakukan? Ibuku malu keluar rumah karena kamu membuat cerita perceraian ibu dan ayahku karena masalah ranjang. Ayahku pergi, ibuku menikah lagi dengan seorang lelaki muda pembual yang pernah menikahi seorang janda yang sudah memiliki anak usia remaja. Dan kini setelah ibu kandungnya mati, dia justru menjual cerita kepada kalian untuk membeli sabu. Apa kau pikir tindakanmu itu sungguh heroik?!"Cecar Sutan tak beraturan. Sebenanrya masih banyak sekali aib keluarganya yang ditulis mentah-mentah menjadi bahan cerita. Ia bingung dengan semua hal yang bukan berasal dari kesalahannya tapi sekarang hidupnya jadi hancur. Ia harus resign dari pekerjaannya di ibukota dan pulang mengurus ibunya. Saudara ibunya yang ikut mengurus pabrik warisan kakek mereka semua lepas tangan karena malu dengan saudaranya sendiri. Pabrik itu memang perlahan terbengkalai, hanya memproduksi seadanya setahun terakhir ini sejak sinetron-sinetron itu muncul.


"Aku akan terus berjuang, sampai pabrikmu itu tutup" jawab Tania tegas. "Melalui tulisan, melalui media picisan. Aku akan membuka mata semua orang tentang azab apa yang bisa terjadi atas ketidakpedulian itu. Meski azab itu tidak ada, maka aku yang membuat kalian merasakannya."


"Kamu...kamu buka Tuhan, Tania." jawab Sutan menanggapi. "Aku... aku tidak tahu harus berkata apa. dan aku juga tidak punya kuasa untuk memperbaiki ini."


Tania menatap Sutan dengan skeptis. "Aku sudah tau. Karenanya aku tidak pernah menyentuhmu langsung. Sialnya kau melihat dan mengenal namaku. Padahal aku hanya ingin menghancurkan semuanya dalam diam. Sekarang kamu mau apa? menuntut kami?" Tantang Tania.


"Tidak. Aku tidak gegabah memulai perkara baru yang akan menghabiskan banyak uang. Saat ini keluargaku sudah hancur seperti tujuanmu. Luar biasa kamu merencanakan semua ini. Pantas saja kamu mengelak saat di cafe kemarin. Kalau disini aku tidak bisa menyerangmu sembarangan."


"Kau kira aku sekolah hanya untuk mengejar gelar? hanya sekedar bekerja? Tidak Sutan, kelakuan yang kau lihat licik ini adalah hasil pola pikir seorang sarjana komunikasi."Tania menjawab dengan pongah.


Sutan sudah tak punya jawaban apapun untuk menanggapi. Dengan tertunduk ia menatap mata Tania yang menatapnya percaya diri. Berbeda sekali dengan sorot mata saat ia menyerang Tania di Cafe pekan lalu. Tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun, Sutan meninggalkan ruangan dan pergi dari sana. Entah apa yang akan ia lakukan pada keluarganya yang sudah hancur. Kemarahannya sama Tania murni karena ia terkejut mengetahui ada seseorang yang ia kenal terlibat dalam karya itu. Ia tidak menyangka ada hal seperti ini. Tania benar, ini bukan dendam antara Tania dan dirinya.


Tania menutup naskah yang tadi ia tunjukkan pada Sutan. Meski kemarin ia terkejut saat Sutan menyerangnya. Kini ia tersenyum puas. "Hmm, cari bahan baru ah." Gumamnya. Sambil berjalan kembali ke ruang kerjanya. Laptop tersiram kopi kemarin bertengger di mejanya dan masih bisa ia gunakan. Benda itu akan menjadi saksi bisu bagaimana media bisa berpengaruh dengan baik dan jahat.

366 Hari Bersajak - 136. Siklus

Kadang kita Naik - Turun
Bukan soal hidup, itu nyatanya
Kadang naik tangga lalu turun dengan lift
sudah sulit menggapai atas, mulus sekali turun kembali

Kadang kita harus memilih Kanan - Kiri
Bukan soal hidup, itu nyatanya
Akan ketemu dijalan utama yang sama
Hanya resikonya saja yang berbeda

Kadang kita akan merasakan Ramai - Sepi
Bukan soal hidup, itu nyatanya
Siang hari, terdengar ramai sekali dari segala sisi
Malam hari, terdengar jangkrik memecah sepi

Kadang kita akan mencicipi Manis - Pahit
Bukan soal hidup, itu nyatanya
Pisang masak rasanya manis sekali
Tapi yang mentah, getir, kecut

Dan semua bisa terjadi Cepat - Lambat
Ini soal hidup, itu nyatanya
kita khawatir dengan hal-hal yang sudah berpasangan
kita khawatir saat di sisi terburuk

Mengelola hati,
Mengelola emosi,
untuk sampai ke sisi lainnya
memang bukan hal yang mudah

Makanya, kita selamanya butuh sandaran
Makanya, kita selamanya butuh tuntunan
Makanya, kita selamanya butuh, Tuhan

366 Hari Bersajak - 135. Lihat Kanan-Kiri Sebelum Menyebrang

Coba lihat pohon itu. yang di ujung sana
betul daunnya rindang, ujar si tinggi
betul batangnya besar, kata perempuan yang sedang duduk
betul akarnya besar sekali, dia sambil tiduran berucap

Coba lihat pohon itu, yang di ujung sana
iya, yang daunnya melebar itu kan?
iya, yang batangnya berurat besar kan?
iya, yang akarnya muncul anakan pohon kan?

Coba lihat pohon itu, yang di ujung sana
bukan yang itu ya? maksudmu yang daunnya meruncing?
bukan yang itu ya? maksudmu yang batangnya coklat terang?
bukan yang itu ya? maksudmu yang permukaan tanahnya bersih?

Coba lihat, ada seekor burung elang sedang memantau mangsa di pucuknya
Astaga, katakan lah dari tadi. Kenapa harus memberi petunjuk tanpa arah
Astaga, jelaskan saja objek yang harus dilihat
Astaga, aku dari tadi melihat ke bawah!

Tags