Sinyal-Sinyal Putus (Cerpen)

"...hahaha, iya, iya, pokoknya aku tunggu kamu sampai di Tanjung Pinang baru kita rencanakan jalan-jalan kita yaaa!"


Nurra menjepit telepon di antara telinga dan bahu sambil merapikan berkas-berkas liputannya yang berserakan di meja kayu kosnya. Telinganya mulai terasa panas, percakapan dengan Pika sudah berlangsung satu jam lebih, setelah beberapa kali putus-nyambung memalui jaringan internet dan akhirnya menyerah dengan telepon melalui jaringan seluler biasa demi bisa cerita panjang lebar dengan sahabatnya ini. Dari luar, suara debur ombak memenuhi kamar kecil yang sudah dihuninya selama satu tahun ini. Di dinding, peta lokasi live-in-nya penuh stabillo warna-warni, menandai wilayah dan topik yang sudah ia jajal untuk artikel jurnalistik mendalamnya.


"Iyaaa, pokoknya siapkan tempat untukku sampai 2 minggu disana ya. Aku bener-bener butuh liburan banget kali ini. Lagi burn out." keluh Pika dari seberang telepon, suaranya setengah tertawa setengah sendu.


"Setahun juga boleh, nemenin aku liputan disini. Tiap hari nanti kita makan otak-otak buatan Mak Ngah yang punya kosan aku," Nurra menghibur sambil memandang gantungan kunci dengan lambang pengeras suara, milik angkatan mereka, jurusan komunikasi.


"Boleh juga, buat nambah otakku lagi kalau beneran udah ke-burn semua ya. Eh, Btw… ada yang mau aku tanya, deh." Pika tiba-tiba mematahkan obrolan mereka.


"Apa tuu?" Sahut Nurra langsung.


"Eh, tapi nggak jadi ah. Nunggu aku sampai Tanjung Pinang aja," sahut Pika, suaranya tiba-tiba kecil.


"Kebiasaan deh, nggak mauuu! Sekarang aja, dong. Nunggu minggu depan kamu sampai pasti udah lupa," omel Nurra sambil mengibas sarang laba-laba yang terlihat menempel di ambang pintu.


"Ntar ajaaa, pas aku sampai. Nggak penting juga kok ini."


"Karena nggak penting, malah bikin penasaran. Jangan sampe aku kebawa mimpi!"


Pika menarik napas. "Iyaa, udah. Tapi ini cuma nanya ya... Kamu nggak pernah kepikiran jadian sama Fauzan?"


"....Fauzan? Tiba-tiba?"


Nurra menatap laut lepas melalui jendela kosnya. Angin malam mulai berhembus, membawa bau pantai yang terlihat dari lantai tiga kos an nya.


"Aku nggak tau apa kamu sadar atau enggak, Nurra. Kalian kan deket banget ini. Nggak pernah ada pembicaraan ke situ?" Lanjut Pika membuka bahasan baru.


"Nggak ada sih..." Dia menggaruk lengan yang digigit nyamuk. "Hampir nggak pernah kami nyentuh obrolan urusan asmara."


"Wah, padahal kalian sering banget main bareng kan." Pika mencoba mengulik perlahan, penasaran apakah Nurra memang enggak sadar atau pura-pura enggak mau tau.


"Hmm... pernah sih, sekali ada obrolan kearah sana. Sekitar tahun lalu itu Fauzan, Dito, sama Kak Rahmat tiba-tiba video call grup,


        "Tomboi kayak kamu pernah jatuh cinta nggak sih?" tanya Dito suatu malam dalam video call grup. "Pernah. Sekali. Lalu patah hati. Cukup," jawab Nurra sambil terkekeh pelan diakhir karena enggak pernah-pernahnya para bro nya membahas hal seperti ini. "Sekarang aku cuma mau sama orang yang jelas-jelas suka sama aku. Udah lelah one-sided love." 


setelah itu kami mengalihkan pembicaraan ke rencana diving di Bintan sekalian buat eksplor, itu awal-awal aku ditugaskan di sini." jawab Nurra.


"Kamu baik, Fauzan juga baik. Aku ngebayangin kalian bagus aja kalau bareng. Apa nggak pernah kepikiran?"


'Teeng!' dari luar terdengar suara tiang dipukul sekali. Menandakan sudah pukul satu malam. Mengingatkannya pada masa-masa mereka liputan malam hari untuk tugas kuliah.


Nurra menghela napas. Fauzan. Teman satu jurusan yang selalu jadi partner outdoornya, yang sekarang entah lagi liputan menantang dimana. Mereka memang terlalu serupa—sama-sama nekat, sama-sama menjadikan adrenalin sebagai bahan bakar hidup.


"Kita cuma teman kampus, Pik.  keetulan cocok juga jadi teman main, teman liputan, teman…"


"Teman yang ngasih kamu hadiah-hadiah gear sesuai kebutuhan kamu?"


Nurra memandang pisau lipat pemberian Fauzan yang tergantung di tas ranselnya, salah satu hadiah saat ia mendapatkan tugas liputan in-depth pertamanya.


"Kita sama-sama tahu Fauzan bukan tipe yang clingy. Kalau ada perasaan, pasti udah lama dia ngomong."


"Atau… dia nunggu kamu yang ngomong?" Pika menghela napas. "Ya udah, aku cuma nanya kemungkinan nya aja sih, kalau kamu nggak mau ambil pusing…"


Layar telepon berkedip—notifikasi chat masuk.


Fauzan: "Ra jangan lupa besok jam 9 di Cafe Pelabuhan. Yulia dan Tika udah aku oke buat gabung. Sekilas juga udah aku jelasin soal volunteering bersih pantai."


Dia menatap pesan itu, lalu foto profil Fauzan yang masih memakai helm peliputan. Tiba-tiba, bayangan mereka berdua rappelling di tebing Nusa Penida muncul lagi. "Memang sih…sejauh ini kita selalu bareng karena kebetulan hobi dan kerjaan kita sama," gumamnya.


Tapi Nurra cepat mengusik pikiran itu. Selain video call grup itu, mereka juga pernah meluruskan masalah ini bahwa hadiah-hadiah personal itu memang menyesuaikan saja. Hadiah seperti itu tak hanya diterima oleh Nurra. Soal kedekatan mereka berdua, sepakat karena minat yang sama saja.

Sikapnya tetap biasa sejak itu, masih mengajaknya diving, masih mengkritik tulisan-tulisannya dengan pedas, masih jadi orang pertama yang telepon saat kala Nurra butuh bantuan.


"Ya, pasti aku jadi kepikiran sih karena kamu bahas, Pik. Bohong banget kalau enggak," ujar Nurra jujur.


"Aduh, maaf yaaa. Ya udah, ini udah malem banget, ntar kita lanjut cerita-cerita langsung aja pas aku udah di sana, yaa."


"Iyaaa, see you soon, dear!"


"See yaa, Nurra! Luv u!"


Pika mematikan telepon.


Nurra mengusap telinganya yang terasa panas, lalu mengecas ponselnya yang sudah low battery. Setelah itu, ia menghempaskan tubuhnya ke kasur dan menatap langit-langit.


Di luar, ombak terus menerpa karang. Seperti pertanyaan Pika tadi yang masih mengganjal, kalau ia dan Fauzan memang cocok di mata orang lain, haruskah ia mencoba? Tapi… dari mana mulainya?


Tapi kayaknya enggak deh. Ia tak siap kembali patah hati.

Tribute to Gusti Irwan Wibowo

Rasanya begitu sesak setiap kehilangan hal-hal favorit. 

Kenapa tidak sampah-sampah saja yang menghilang. 

Justru bintang-bintang cantik cepat sekali perginya.

15 Juni 2025

-

Tatkala membentang tangan diantara angin sepoi-sepoi

Sekelebat saja menelusup  udara sedikit berbeda, geli, nyaman,

Dia adalah jenre endikup (enak di kuping)


-

Kuiyakan sambil menggeleng

Tidak dengan mengangguk

Kamu resmi masuk

dalam dunia Bekasi.


-

Naik-naik ke puncak gunung

Tinggi-tinggi, Abadi.


-

Ternyata ia bukan saudaranya Chava,

Ia meniru jalan Nike Ardila.


-

Semua berdoa baik kepada Gusti.


-

Tak ada yang memberitahuku bahwa badan besar memiliki hati yang besar, tawa yang besar, jenaka berkelakar.


-

Sudah ya? Terimakasih telah menjadi baik.

Batas (Cerpen)

"Drrtt... drttt..."


Salma melirik dan mencari arah suara getaran. Ah, ponselnya berbunyi, menampilkan nama "Grity SMA". Meski matanya kembali berfokus pada drama serial yang sedang ia tonton, jemarinya bergegas mengangkat panggilan itu tanpa tendensi apa-apa.


"Halooo, Gritteee~" sapa Salma ramah.


"Iya, halo. Um, Salma lagi di mana?"


"Lagi di rumah. Kenapa? Kamu lagi di sini, ya?"


"Enggak. Ini aku mau minta tolong, pinjam 10 juta..."


Salma langsung mem-pause tontonannya dan berfokus pada panggilan telepon sembari menjawab, "Aduh, Teee... bukannya enggak mau, tapi aku enggak ada."


"Enggak ada banget, ya? Aku lagi butuh banget..."


"Iya, enggak ada, Te. Kemarin ada yang mau minjem 3 juta juga, aku cuma bisa minjemin 500 ribu..."


"Tapi aku butuhnya 10 juta, Salma..."


"Beneran enggak ada. Aku lagi kosong, setahun ini lagi nganggur... udah coba pinjam ke yang lain?"


"Sudah... aku udah coba ke Hans, Aldi, Gina..."


"Dela udah?"


"Aku enggak yakin sih..."


"Tapi kayaknya dia punya tabungan cukup, ya..."


"Ya udah, makasih ya, Salma. Aku coba ke yang lain."


"Iya, Tee. Semoga segera dapat, ya..."


Tuut. Sambungan telepon diputus.


Salma tertegun, merasa bersalah karena tak bisa membantu Grity. Ia sadar bahwa dirinya tak pernah menyiapkan uang dingin, tak punya simpanan, dan hanya bergantung pada bisnis keluarga selama setahun ini.


Ia benar-benar merasa bersalah. Di media sosial, ia selalu menunjukkan dirinya baik-baik saja—bisa nonton, jalan-jalan, main, bisnis keluarga lancar. Namun, kini ia menyadari bahwa tak punya tabungan sendiri membuatnya berpikir ulang. Merenung.


Salma memang tak pernah meminjam uang teman-temannya, kecuali sekadar "pakai dulu" saat makan bersama, titip barang lucu, atau jajanan. Pernah juga ia meminjam uang untuk bayar kuliah, tapi itu karena ia tahu bulan depan proyeknya cair dengan nominal dua kali lipat. Persoalan ini muncul karena ia tak punya simpanan, meski sudah mewanti-wanti beberapa bulan sebelumnya bahwa ia akan butuh uang.


Soal pinjam-meminjam, baginya, ada hal yang harus dikuatkan: mental bahwa uang itu mungkin tak akan kembali. Setelahnya, ia menarik garis—tak mau lagi berurusan dengan orang itu dalam urusan uang dan bisnis. Salma paham betul segala risikonya.


Tapi kali ini, ia merasa sangat bersalah karena benar-benar tak punya uang untuk dipinjamkan. Grity, selama 10 tahun lebih mereka berteman, tak pernah punya masalah finansial. Ini pertama kalinya. Suara Grity yang terdengar putus asa barusan mengisi kepalanya. Salma membuka media sosialnya, melihat foto-foto mereka waktu SMA—Grity yang dermawan, yang menyambutnya saat ia sampai di kota baru, tempat Grity bekerja.


"Harusnya aku bisa bantu," gumamnya, menatap layar laptop yang masih memajang drama favoritnya. Tapi episode kali ini tak lagi menarik. Jarinya mengetik pelan di kalkulator: 500 ribu x 20 bulan. Angka itu cukup untuk jadi dana darurat.


Esok pagi, Salma membuka aplikasi bank dan memindahkan sebagian uang jajannya ke rekening baru dan mengganti nama icon dengan nama "Jangan Sentuh". Ia tak tahu kapan Grity akan membutuhkannya lagi, atau kapan ia sendiri akan terjepit. Tapi setidaknya, kali ini ia tak ingin hanya bisa menggeleng.


"Drrtt... drttt..."


Ponselnya bergetar. Notifikasi dari Grity:

"Sal, aku ada di kota ini weekend ini. Ketemuan yuk, makan siang."


Salma tersenyum, membalas cepat:

"Boleh bangeeet. Aku yang traktir yaaa."


Ia mematikan laptop, lalu menyimpan kalkulatornya di laci. Masih ada sisa uang untuk ditabung hari ini.

Tamak

Duhai kasihku,

Jika benar kau mencintaiku, apa bentuk cinta yang kau tawarkan?

Jaminan udara dari air purifier itu?

Air bersih dari filter batu alam tiruan?

Atau nuansa hijau di taman privat?


Duhai kasihku,

jika benar seperti itu,

aku jadi takut padamu,

bentuk manusia yang mencoba bersaing dengan Ia Yang Maha Kuasa


Duhai kasihku,

sebelum hadirmu, sebelum ku pinta pula pada Nya

Pohon-pohon sudah memberikan udara terbaik kelas satu

Sebelum hadirmu, batu sungai sudah memurnikan air terbaik untuk minum dan mandiku

Sebelum hadirmu, rancangan gunung, hutan, air terjun sudah tersaji di depan mata untuk siapapun bisa melihat


Duhai kasihku,

jika benar kau mencintaiku

berilah aku cinta yang tulus, bukan sajian palsu yang kau tiru terus menerus


Duhai kasihku,

Jika benar kau mencintaiku

setidaknya kau memahami bahwa aku takkan mampu menelan dunia


Duhai kasihku

Jika kau mencintaiku

dan sungguh-sungguh mencintaiku,

seharusnya kau akan mencintai seluruh keturunan kita, kelak.


#SaveRajaAmpat

Tags