Aku bangun dengan mata sembab pagi itu. Badanku terasa letih usai perjalanan panjang. Aku baru tiba di rumah semalam, sekitar pukul setengah sepuluh, setelah menempuh penerbangan malam.
Karena kepalaku sedikit pusing, aku tak melakukan kebiasaanku seperti biasa—mencari smartphone begitu bangun tidur. Aku segera mandi untuk menyegarkan diri, mengenakan pakaian, dan bersiap untuk sarapan bersama keluarga. Ini hari Jumat, hari yang menyenangkan bagi umat Muslim. Baru sekitar pukul 10, aku mencari handphone dan membukanya. Ada pesan WhatsApp dari salah satu adik kelasku di kampus.
"Kak, udah dengar kabar? Vallenza meninggal."
Deg. Jantungku serasa dipukul mendadak. Aku mencoba mengingat kapan terakhir kali mendengar kabarnya.
Tepat kemarin, sebelum aku terbang, aku sempat melihat postingan penggalangan dana untuk Vallenza di media sosial himpunan jurusan kami. Saat itu, aku berpikir, "Ah, besok setelah beres-beres sebentar, aku akan menjenguknya."
Namun ternyata, semuanya terlambat. Aku membuka kembali percakapan kami di WhatsApp. Dalam pesannya, ia pernah bercerita bahwa kemoterapi sangat menyakitkan.
Aku membuat status WhatsApp untuk mengenangnya, dan seorang junior membalas, menanyakan apakah aku akan pergi ke rumah duka. Saat itu, aku tidak memikirkan masalah agama. Yang ada di benakku hanya satu: aku ingin melihatnya untuk terakhir kali.
Kami pun berangkat ke rumah duka. Perasaanku sedih.
Sesampainya di sana, kami menuju ke arah belakang, tempat persemayaman. Semua teman satu angkatannya berkumpul di sana. Aku menyalami ayahnya, yang kemudian mengajak kami berdua untuk melihat Valen.
Saat melihatnya, air mataku tumpah. Aku menangis tersedu-sedu, dadaku terasa sesak. Wajahnya tak lagi bernyawa. Aku tidak tahu keajaiban apa yang terjadi, tapi ia tidak sekurus saat terakhir kali kami bertemu. Rambutnya dipasangi wig, membuatnya terlihat seperti dirinya saat masih sehat. Dengan suara bergetar, ayahnya berbicara kepada jasad Valen, "Alo, Nak, lihat teman-temanmu dari kampus datang. Alo, kakakmu di kampus kemari buat lihat kamu, Nak."
Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya tertunduk menangis, lalu berbalik badan menuju tempat duduk bersama para pelayat lainnya.
Ayahnya mengatakan bahwa ia akan dikremasi lusa.
Aku terduduk, mengenang bagaimana pertemanan kami terjalin.
***
Akhir 2022, aku sedang berada di provinsi sebelah untuk bekerja beberapa waktu. Himpunan jurusanku menghubungiku, memintaku membuka stand untuk meramaikan dies natalis fakultas kami. Aku kebingungan karena tak ada yang bisa menjaga stand. Salah seorang junior berjanji mengumpulkan beberapa teman lain untuk membantu.
Melalui telepon, ibuku yang turut memantau stand bercerita bahwa ada seorang anak yang sangat ceria dan bersemangat dalam mempromosikan produk kami.
Saat aku kembali ke kampus, aku bertemu dengannya yang lebih dulu menyapaku. "Kak! Kakak Kak Iyah, ya? Aku Valen, yang kemarin jaga stand mama Kakak!" Aku terkesiap melihat anak yang sangat ramah ini.
Obrolan kami berlanjut ke pembidangan semester lima. Ia berkata ingin masuk ekologi hewan. Aku senang mendengarnya, karena itu berarti kami akan sebidang.
Aku juga pernah menjadi asisten laboratorium untuk praktikumnya saat sedang senggang. Aku pernah memarahinya karena selalu membawa kipas angin tangan saat praktikum. Aku galak, tapi ia hanya tertawa, tetap ceria, dan ikut memperbaiki gambar praktikum bersama teman-temannya.
Anaknya cepat akrab. Kami sering membalas story Instagram jika ada sesuatu yang lucu atau menarik. Kadang, ia membuat video jedag-jedug tentang teman-temannya.
Suatu hari, aku meminta bantuannya, tapi untuk pertama kali ia menolak, mengatakan bahwa dadanya sakit. Sorenya, aku menemukannya di salah satu ruang laboratorium.
"Kenapa tidak ke klinik?" tanyaku, berpikir bahwa ia hanya malas membantuku.
"Kemarin sudah, Kak. Besok ngambil darah lagi. Ini cuma butuh istirahat sedikit aja."
"Kamu sakit apa?"
"Belum tahu, Kak."
Lalu tibalah hari ketika hasil pemeriksaannya dibacakan. Ia didiagnosis tumor paru. Namun, katanya, tumornya masih kecil dan bisa sembuh dengan operasi kecil serta beberapa kali kemoterapi.
Tak lama setelah itu, ketua jurusan meminta Valen cuti agar fokus dengan pengobatannya. Aku kesal karena ia sudah semester tujuh yang sebenanrnya sudah tidak banyak aktivitas perkuliahan.
Aku mengenal banyak pasien kanker dan tumor yang berhasil sembuh. Aku percaya Valen juga akan sembuh. Aku bahkan melupakan fakta bahwa ia sedang sakit parah. Kami tidak pernah membicarakan kemungkinan terburuk, karena aku yakin ia akan baik-baik saja. Lihat saja, ia sudah bertahan lebih dari tujuh bulan dan masih bisa datang ke kampus...
***
Namun ternyata, yang bertahan hanya memori tawa dan keceriaannya, bukan raganya di dunia.
Di bangku pelayat, adik kelasku bertanya kenangan apa yang membuatku begitu sedih saat melihat jasadnya.
Aku bilang, bukan kenangan. Kenangan bersamanya selalu menyenangkan. Yang membuatku menangis tersedu adalah ketika aku tak mampu mengucapkan apa pun di depan tubuh yang telah berpisah dengan nyawa.
Ia pergi tepat di hari Jumat, dan keesokan harinya adalah Ramadan. Ia pergi di waktu yang diidamkan banyak Muslim. Ia pergi setelah menahan sakit begitu lama, yang pasti telah menggugurkan banyak dosanya—jika ia seorang Muslim. Namun aku tahu, takkan ada doa-doa dariku yang sampai kepadanya di alam yang berbeda.
Jika kami masih berada dalam satu alam, aku masih bisa mendoakan keselamatan dan keberkahan hidupnya. Tapi kini, ketika alam kami sudah berbeda, tentu tidak ada lagi keterikatan di antara kami.
Yang kutangisi adalah kenyataan bahwa aku tak bisa lagi mendoakanmu.
Kini, kamu sudah bersatu dengan lautan. Jasadmu dikremasi dan abumu dilarungkan ke laut. Kamu telah menjadi bagian dari ekosistem perairan, memberi nutrisi kepada ikan-ikan.
Kamu seperti hiburan di dunia, kehadirannya singkat saja.
Selamat jalan, Vallenza.