Semua Ilmu, Ada manfaatnya

 Semua Ilmu, Ada manfaatnya


Ketika kamu mengetahui bahwa ada ilmu yang tidak bermanfaat, maka itulah manfaatnya, kamu akhirnya tau kalau itu tidak bermanfaat. Bingung?

Aku semakin sering tertawa geli ketika memahami bahwa ada banyak hal yang tidak didapatkan dari bangku perguruan tinggi. Ada banyak skill yang didapatkan justru setelah menemukan kasus di pekerjaan, menguliknya, mencari tau, mencari guru, lalu menemukan jawabannya. Tapi kalau aku tidak kuliah, bahkan aku tidak akan bertemu dengan kasus itu. Bingung?

Aku tertawa miris kala melihat pedagang yang berbekal pengalaman turun temurun sama bahkan bisa menghasilkan uang lebih banyak dari seorang bergelar doktoral setelah belasan tahun. Tapi kalau tidak kuliah, aku tidak tau bahwa pedangang bisa gulung tikar tapi ketajaman berpikir tak bisa hilang begitu saja. Bingung?

Aku melihat gambar-gambar dan membaca sekilas ratusan tulisan yang telah ku hasilkan. Banyak yang sampah. Tapi aku tidak tau kalau tulisan dan karya ini sampah kalau aku tidak melihat hal yang lebih baik saat mencari referensi bagi karya-karya sampahku. Bingung?


366 Hari Bersajak - 157. Seperti Ini Saja Maunya

Jalanan pulang dihiasi titik-titik cahaya meredup

Maju kedepan, suasana semakin kelam

Memang sudah malam, ditambah dengan gulita


Toko-toko lebih cepat tutup

mesin kasir sudah hitam

takut ada yang gelap mata


Sssshuushh, shuush, seorang ibu dengan lembut meniup

anak dipangkuanya tak kunjung terpejam

Terbiasa gawai pintar, sang ibu tak lagi pintar bercerita


Sudah dua jam gawai pintar tertelungkup

karena baterainya sudah padam

anaknya takkan mengerti, masih balita


Mati listrik, semua menunggu hidup

Padahal mati, tak menunggu datangnya malam


Kita tak menunggu, nanti juga dipanggil sang pencipta



366 Hari Bersajak - 155. Kembali Pulang (Cerpen)

Bandara Polonia, 2012
Aldi menghembuskan napasnya saat turun dari pesawat. "Medan," gumamnya. Dengan lambat ia menyusuri pintu keluar kedatangan luar negeri, mencari taksi setelah mengambil bagasinya.


Tak lama seorang supir taksi menghampiri Aldi. Dengan menunjukkan alamat dari gawainya, pak supir langsung melaju menyusuri jalanan kota Medan. Aldi tak peduli pemandangan Medan yang banyak berubah. Pikirannya menerawang entah ke mana. Enam tahun setelah ia meninggalkan kota kelahirannya ini. Tak ada sebenarnya yang ia rindukan dari kota ini. Sejak ia menjadi yatim piatu ketika kelas 2 SMA, ia menjadi ambisius menyelesaikan pendidikannya. Ketika itu, Aldi yang anak tunggal hanya ditemani omnya yang belum menikah di rumah mendiang orang tua Aldi. Bulan lalu omnya menikah. Karena itu, omnya meminta Aldi untuk pulang dan menempati rumah warisan orang tuanya sendiri.

Di dalam taksi, Aldi merasa matanya panas. Ia seakan ketakutan untuk kembali ke rumah itu. Ia takut kembali menjadi sendirian. Selama di National University of Singapore, ia tinggal di apartemen dengan 3 temannya yang lain sehingga tak merasakan kesepian. Dan masih bersama mereka hingga bekerja. Kini ia harus bersiap akan kembali sendiri jika harus menempati rumah orangtuanya.

Akhirnya taksi berhenti di depan rumah yang cukup besar. Tak banyak yang berubah. Pekarangannya tetap bersih karena selalu dirawat Bang Torang yang dibawa omnya untuk merawat rumah ini sejak omnya menemani dia 6 tahun lalu. Tapi Bang Torang tidak tinggal di rumah itu. Empat tahun lalu Bang Torang menikah dengan Kak Sari yang jual bumbu di pasar Simpang Limun dan tinggal di rumah istrinya sejak itu.

"Wey Di! Dah sampek ko rupanya. Kok gak bilang abang tadi biar abang jemput ko," tiba-tiba sesosok pemuda cungkring namun berotot menepuk Aldi dari belakang.

"Eh Bang Torang? Ah, bikin saya kaget saja," kata Aldi menyapa pemuda yang ternyata Bang Torang.

"Alamak, 6 taon ko di negeri singa itu ngajarkan kau jadi sungkan sama ku gini ya? Sok kali ko pake saya-saya. Hahahaha." Bang Torang lalu mengangkat koper Aldi ke dalam rumah. Aldi mengikutinya.

"Enggak gitu bang." Balas Aldi ramah. "Aku masih pakai nomer di Singapur. Roaming kalau nelpon abang. Aku komunikasi sama Om lewat BBM." Jelas Aldi.

"Haa, iya, iya. Adapun duitku beli be be em- be be em itu nanti malah dipake kakakmu apdet-apdet status." Canda Bang Torang sambil mempersilahkan Aldi untuk duduk dulu.

"Jadi, apa kabar abang sekarang Bang? Makasih ya rumah ini dirawat tetap seperti dulu," ujar Aldi setelah duduk di ruang tamu dan tak ada sedikit pun perabot berubah bentuk. Foto keluarganya pun masih tergantung rapi di dinding ruang tamu.

"Kabar ku ya gini-gini aja la. Anak abang udah 2 sekarang, besok kalo ko belum sibuk ku ajak orang tu ke sini ya. Eh maunya aku la ya nanyak kabar ko udah 6 taon di negeri orang. Cemana? Dapat cewek cantik ko di sana?" Kumis tipis Bang Torang bergerak-gerak jenaka kalau pengen tahu sesuatu.

"Apanya ko Bang! Kurang cantik kali aku rupanya hah?!" Tiba-tiba Kak Sari muncul di pintu rumah Aldi dengan membawa rantang makanan.

"Bah? Apanya ko dek. Masuk-masuk merepet pulak. Bukannya ngasi salam selamat datang sama si Aldi ini." Bang Torang mendengus sambil mengajak istrinya masuk.

"Hehe. Assalamualaikum dek Aldi. Apa kabarnya kau?" Kak Sari menyapa Aldi sambil nyengir.

"Aldi baik kak, duduklah dulu kak." Aldi mempersilakan. Sari pun duduk.

"Nah, ini ku bawakan makanan buat kau. Pasti lapar setelah perjalanan." Kak Sari membuka rantang dan mengeluarkan berbagai jenis makanan. Ada rendang, sambal terasi, dan sayur asam. Sungguh sambutan Bang Torang dan Rantang kak Sari terasa begitu hangat menyambutnya.


"Terima kasih banyak, Kak. Masakannya wangi sekali," Aldi mencoba tersenyum. Namun, di dalam hatinya, ia masih merasa hampa.


Bang Torang dan Kak Sari mencoba menciptakan suasana nyaman, namun Aldi masih merasa terjebak dalam kenangan masa lalu. Setiap sudut rumah ini menyimpan bayangan kedua orang tuanya. Malam itu, setelah Bang Torang dan Kak Sari pulang, Aldi berjalan mengelilingi rumah, menyentuh perabotan dan foto-foto yang tersusun rapi di dinding.


"Ma, Pa, Aldi sudah pulang," bisiknya pelan.


Di kamarnya, Aldi duduk di atas ranjang yang dulu sering ia tiduri. Ia merasa beban berat di dadanya perlahan mulai mengendur. Mungkin, dengan kembali ke rumah ini, ia bisa belajar menghadapi rasa kesepian yang selama ini menghantui.


Malam itu, Aldi menatap langit-langit kamarnya. Ia tahu, meskipun berat, kembali ke Medan adalah langkah pertama untuk berdamai dengan masa lalunya. Aldi menutup matanya, membiarkan kehangatan nostalgia menyelimuti dirinya.




-------------------------------
Cerpen ini ditulis di tahun 2014. Aku menemukannya saat sedang membereskan file di Hardisk lama.

Tags