Sebuah notifikasi muncul di ponsel pintarku, menambah daftar notifikasi lain yang belum sempat kubuka. Notifikasi baru itu menunjukkan bahwa salah seorang temanku menyebut akunku dalam story Instagram-nya. Aku pun membukanya, penasaran. Isinya? Meme. Dengan takarir: "Menurut penelitian, masa remaja sekarang berlangsung sampai usia 34 tahun." Tanpa sumber. Tanpa konteks. Cuma ketawa-ketawa aja. Tapi entah kenapa, aku ikut ngakak. Aku hanya merespons "LOL" sambil membagikannya kepada teman-teman sebaya lainnya. Entah itu hoaks atau bukan, yang penting kami bisa menertawakan nasib early Gen Z yang sering kebingungan menghadapi dunia orang dewasa
Belum sempat aku membuka notifikasi lainnya, telepon masuk. Panggilan. Kia.
"Halo, Jelly..."
"Halo, iya, Kiaa."
“Kita jadi nongkrong bahas open jastip festival bulan depan, nggak?”
“Jadi. Aldo udah ngehubungin gue dua hari lalu. Gue nunggu kejelasan waktu dia juga.”
“Lah, katanya waktu lo yang belum jelas?”
"Lah... asal weekend gue kosong, kok. Tapi kalo dadakan ya bye. Sabtu ini gue ada janji di Bogor."
"Mau ke Bogor? Jam berapa? Kita ketemuan di sana aja deh, lebih deket dari rumah gue."
“Pagi sih. Cuma kumpul komunitas buku. Piknik-piknik gitu. Abis itu nganggur.”
“Oke, nanti gue atur. Gue bilang ke Aldo ya, kita ketemu abis kegiatan lo.”
“Sip.”
"See you on Saturday, Jelly!" Kia menutup telepon.
Belum juga napas balik, masuk DM dari Aldo.
"Je, hari Sabtu ke Bogor naik apa?"
"Dih perhatian banget. Naik kereta lah. Gak kuat gue motoran antar kota."
"Gue jemput ya. Bareng ke sana."
"Lu mau ikut acara komunitas gue? Pagi loh?"
"Iya, sekalian. Tapi gue bawa motor. Atau lo maunya gue bawa mobil?"
Hmmm… asas manfaat mulai berkicau di kepala. Gue emang nggak ada barengan ke Bogor. Naik kereta sendirian males. Tapi… motor? Aduh. Kalau sama adek atau abang sih enak, nyaman, bisa selonjor, bisa bantal. Ini? Temen cowok? Motor? Gimana ya?
“Sabtu pagi gue kabarin lagi ya, Do.”
“Oke.”
---
Sabtu pagi.
Gue masih belum ngabarin Aldo. Pikirku, paling dia bangun siang. Bisa jadi alasan nggak jadi dijemput. Ternyata, jam 07.30 tepat, dia ngechat:
“Kirim alamat rumah lo. Cepet.”
“Iya iya, bentar.”
“Gue sampai, lo udah harus siap. Gue nggak mau nunggu.”
“Iya.”
Sambil buru-buru dandan, Kang Huda chat.
“Jadi pergi ke Bogor? Sama siapa jadinya?”
“Sama temen, Kang.”
“Naik mobil, kan?”
Kang Huda ini kenalan dari Instagram. Belum pernah ketemu. Tapi gaya nanyanya kayak kepala biro perjalanan.
Belum sempat bales, Aldo sampai.
Naik motor sport.
Motor. Sport.
Gue diam. Bukan karena terharu. Tapi… ya ampun, mas, segitunya?
Karena udah mepet, dan gue terlalu mager buat drama pagi-pagi, ya udah. Naik aja. Salah gue juga sih, nggak tegas dari awal.
---
Di jalan...
“Je, udah sarapan?”
“Udah.”
“Duh, gue belum. Kita berhenti dulu ya, lemes banget gue.”
“Waduh ya harus. Jauh ini. Nyawa gue literally di elu hari ini.”
Kami berhenti di warung sarapan sederhana. Aldo makan nasi uduk pesananannya dengan santai. Aku menyeruput teh manis dan nahan pengen nanya: “Lu nggak punya motor bebek, ya?”
“Do, cewek lo tau lo bawa gue?” Cetus gue.
“Udah nggak ada cewek. Padahal udah sempet ke wedding expo, lho. Akhirnya bubar jalan juga. Hahaha.”
“Ooh. Pantes. Gila aja kalo masih ada cewe lo dan dia tau lo jemput gue.”
“Kalau lo punya cowok, emangnya lo bakal larang cowok lo bawa cewek lain?”
“Ya gila aja. Pasti gue larang lah. Mau naik mobil kek, searah kek, tetep nggak izinin. Ada Gojek, ada angkot. Nyari cara sendiri dong, Bang.”
Aldo ketawa, tapi entah kenapa gue merasa dia kayak nyimpen sesuatu.
---
Sampai di lokasi acara komunitas.
Gue turun dari motor dengan kaki gemetaran. Udah duduk tinggi, nggak bisa sandaran pula. Gue sepanjang jalan nahan badan supaya nggak nempel ke punggungnya. Gengsi, cuy. Plus... agak awkward juga. Kita cuma kenalan, bukan teman dekat. Bukan gebetan juga.
Gue udah bisa nebak banyak mata ngelirik. Males jelasinnya. Untung Aldo ngerti diri dan bilang, “Gue tunggu di luar aja ya.”
Kang Huda kirim pesan lagi:
“Udah sampai?”
“Udah, Kang.”
“Lewat tol?”
“Enggak, Kang.”
Gue malas menjelaskan. Kayak, ya udahlah ya. Kenapa juga harus laporan sedetail itu?
---
Acara selesai, kami ketemuan sama Kia di kafe dekat situ.
“Lah, jadi lu jemput Jelly dari rumahnya?” Kia langsung nembak.
“Iya.”
“Aman?”
“Aman lah,” jawab Aldo.
Aku nyengir. Dalam hati nyumpahin punggung sendiri yang mulai ngilu.
Kami lanjut ngobrol soal bisnis. Festival musik banyak banget bulan depan. Potensi jastip terbuka lebar.
Setelah itu, aku dan Aldo balik ke Jakarta. Perjalanan pulang lebih tenang sambil kita ngobrol santai. Tapi gue mulai merasa ada yang aneh. Aldo beberapa kali noleh ke belakang.
Aku mikir: motor dia nggak ada spion, ya? Atau ada tapi gaya doang?
Atau jangan-jangan... dia cek traffic? Tapi kok sering banget?
Gue nggak tanya. Capek. Pinggang gue udah mulai nyeri dari tengah jalan. Tapi tahan-tahan aja. Gengsi, lagi-lagi. Lagian... siapa suruh gue sok kuat?
---
Sampai rumah, Kang Huda kirim pesan lagi.
“Sudah sampai rumah?”
“Iya, sudahaaah.”
“Dianter sampai rumah? Bertiga aja?”
Oh. Dia lihat story Kia. Ada foto bertiga. Yang gue repost tanpa mikir.
“Iya.”
Lagi-lagi, malas jelasin. Kadang, aku heran sama diriku sendiri. Kenapa masih ngeladenin orang yang bahkan belum pernah ketemu? Mungkin karena kesepian? Atau karena aku masih nyari sesuatu yang belum jelas bentuknya?
---
Esok paginya, gue bangun dengan pinggang sakit parah.
Selama ini gue pikir naik motor jauh itu biasa aja. Tapi ternyata... kalau lo duduk setinggi itu, nggak bersandar, dan nahan badan selama satu setengah jam?
Ya ampun. Punggung bisa misuh.
Dua hari gue nggak bisa kerja maksimal. Tiap gerak kayak nenek-nenek.
Mungkin ini... bukan cuma soal motor. Tapi soal semua yang gue tahan.
Perasaan, kejelasan, bahkan gengsi.
Tubuh gue mungkin udah jujur lebih dulu:
“Lo capek, Jel. Capek pura-pura.”