366 Hari Bersajak - 20. Kurir Rasa (Cerpen)

Sudah dua jam aku berdiam di tepi danau ini. Terduduk menikmati aroma embun pagi, cericip burung dan tupai yang melompat-lompat di dahan hingga membuat pohon-pohon bergerak ringan. Matahari belum terasa begitu terik.  Entah apa nama tempat ini, aku hanya berjalan menyusuri jalan setapak dari penginapan. Bahkan masih kabut saat aku keluar, kakiku melangkah pasti selama masih ada jalan. Aku tidak memakai kacamataku, semua tampak buram ditambah kabut yang belum kunjung mereda. Ujung-ujung rokku basah. Dingin, namun nyaman.

Aku pergi sendiri ke tempat ini. Aku katakan aku ingin liburan setelah menyelesaikan beberapa urusan pekerjaan. Tak ada yang menahanku, karena memang aku bukan tipikal karyawan yang sering meminta cuti atau tidak menyelesaikan target pekerjaan di kantor. Bahkan mungkin atasanku lega saat aku mengajukan cuti setelah melihat pandanganku yang kosong selama sepekan ini.

Ada hal yang semakin aneh rasanya dalam diriku. Setelah dia, Wasa, menghubungi sepekan lalu. Dalam ingatanku, hubunganku dengan Wasa hanya sebatas teman kenal begitu saja. Tidak lebih, tidak kurang. Dalam ingatanku juga, obrolan dan interaksi kami hanya ramah-tamah sebagai teman. Aku tidak pernah memandangnya lebih dari teman. Jika suatu hari kami reunian sekolah dan dia tidak hadir, percayalah aku tidak akan mencarinya. Ini juga aku sadari saat aku lulus (kami satu kampus, berbeda fakultas), aku tidak mengundangnya, bahkan tidak mengingatnya untuk sekadar mengabari. Diluar teman kampus, aku hanya mengabari teman geng sekolahku yang berjumlah 4 orang perempuan dan 4 laki-laki. Mereka berdelapan merupakan orang-orang di malam mingguku, malam libur dan banyak malam lainnya kami habiskan bersama. Wasa, tidak pernah ada dalam pertemanan dekat ku, sejauh yang aku ingat.

Beberapa tahun silam, Wasa pernah menunjukkan gestur marah padaku saat aku seolah tidak memprioritaskan hadir saat teman kami berduka. Lagi, itu teman yang tidak terlalu dekat denganku, aku pikir. Lagipula, saat itu kegiatanku di kampus sedang padat-padatnya.

Besok kita akan kuliah seperti biasa, tapi teman kita tidak berduka selamanya, ucap Wasa saat itu.

Terkadang aku bingung mengapa Wasa merasa seolah kami dekat. Jika ia membangun kedekatan itu untuk urusan asmara, maka semakin tepat aku meresponnya dengan dingin. Dalam ingatanku, Wasa bukanlah laki-laki baik. Ditambah cerita dari teman geng ku, Tia, yang mengatakan ia sebal dengan Wasa karena mencoba mendekati salah satu teman-nya, minta dijodohkan, lalu ditinggalkan dengan ketidakjelasan begitu saja. Gita, yang sudah menikah dengan Heru, teman geng kami, juga mengatakan hal yang sama soal Wasa. Siapapun, asal jangan Wasa. Dia bukan orang yang tepat. Nasihat Gita padaku saat aku menceritakan komunikasi Wasa yang seolah sedang mendekatiku.

Sepertinya, Wasa hanya menjadikanku pilihan dan mencoba-coba. Sementara aku, tidak kepikiran sama sekali sampai seminggu yang lalu.

"Plung." Aku melempar kerikil kecil ke dalam danau. Dekat saja.

Kalau diingat-ingat, sebenarnya ada momen kami jalan berdua. Masalahnya, aku pergi berdua dengan lawan jenis tidak hanya dengannya. Kalau ada yang minta aku temani ke satu tempat, ada kegiatan dan lain halnya, selama memang bisa, aku temani tanpa memandang gender.

Wasa juga meminta hasil makanan yang aku buat untuk tugas kuliah, saat kuposting di media sosial. Dengan senang hati aku memberikannya, karena memang bukan hanya dia yang meminta, ada banyak yang senang bila diberi makanan gratis, bukan?

Rasa lembab semakin menjalar di tempatku duduk. Memang aku tidak memakai alas apapun sejak awal.

Sungguh aku tidak mengerti bagaimana sistem ingatanku bekerja. Biasanya, kalau ada hal yang aku tidak suka, kenangan buruk dan akan memicu perasaan tidak nyaman, aku akan mencoba melupakannya. Dan ternyata aku terbiasa sampai akhirnya momen diantara kenangan buruk itu ikut terhapus begitu saja. akhirnya yang menjadi pengingatku hanya satu, bukti. Itupun aku tidak akan ingat detailnya, hanya jika bukti itu jelas dan tak tersangkal, aku menerimanya. Dan sekarang itulah yang terjadi.

Aku memutus hubungan dengan Wasa secara sepihak saat teman-temanku memberikan pandangan bahwa Wasa selamanya tidak akan tepat bergabung dengan kami. Aku menuruti mereka. Betul, masalahnya ada di Wasa. Sampai pada akhirnya aku membuka kolom percakapan kami berdua di sosial media, dari awal. Sial, ternyata aku pernah menggoda Wasa. Aku pernah mengganggunya dan menunjukkan ketertarikan padanya. Siapapun yang membaca percakapan kami akan menilai bahwa saat itu aku menyukainya. Masalahnya, di linimasa itu, aku sedang punya hubungan dengan orang diluar sekolah dan juga sedang menyukai seseorang di sekolah juga. Siapa yang memulai mencoba-coba bermain api? Akulah perempuan yang jahat, saat itu.

Semua manusia tentu punya penilaian antara satu sama lain. Tentu saja aku menerima jika ada penilaian buruk mengenaiku dari orang lain. Lantas, mengapa aku bisa-bisanya menghakimi Wasa secara sepihak begini.

Tapi aku sudah mengakhirinya. Sekarang aku dan diriku perlu terus berefleksi agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Agar tidak ada Wasa-wasa lainnya dalam kehidupanku.


"Srek, srek" terdengar suara rumput dipijak dari arah belakangku.

"Sera...", seseorang memanggil namaku. suaranya sedikit serak sehingga aku sulit mengenalinya. Katanya kalau sedang sendirian tiba-tiba ada yang memanggil nama kita, jangan disahuti. Aku bergeming.

Terdengat suara seperti plastik dibentang dan diletakkan disebelahku. Seseorang itu lantas duduk diatasnya. Aku menoleh, lalu menghela nafas, lega. Ternyata Tia.

"Astaga, kamu mengagetkanku, Tia. Darimana kamu tau aku disini?" Tanyaku.

"Sini merapat dulu, kebiasaan duduk sembarangan. Nanti kamu masuk angin gimana." Omel Tia.

"Sudah basah juga sampai ke celana dalamku, hehehe." Jawabku sambil menuruti permintaannya. Akupun duduk dialas yang sama dengan sahabat ku ini.

Tia menyodorkan roti dan teh panas. "Kata penginapan kamu keluar pagi-pagi sekali sebelum sarapan." Rasa hangat mulai menjalar perlahan. Aku menerima pemberian Tia. "Kamu itu ya, kamu pikir kamu pinter banget sok-sokan ngilang? kali lain location di hape matiin dulu. Akun google-mu masih nyangkut di laptop aku."

Aku nyengir. Akun e-mail ya, pantas saja Tia menemukanku dengan mudah. Daerah ini memang sudah tempat wisata dengan jaringan yang bagus. Memang sejak awal aku bukannya ingin kabur atau sok misterius. Di formulir cuti aku juga mencantumkan lokasi yang aku tuju. Hanya untuk ke lokasi ini aku benar-benar hanya mengikuti jalan setapak, aku tidak ingat pernah kesini. 

"Pemandangan dari sini sudah banyak berubah ya, sejak kita perpisahan sekolah, dulu." Kenang Tia sambil melihat pemandangan di depan kami. Kabut sudah hampir menghilang semua.

"Iya, setelah erupsi dulu, ternyata malah membuat lahan tandus didepan sana menjadi hutan, ya."

"Sera, ingat tidak kejadian saat kita bertiga disini?"

"Ki-ta..? bertiga? Tidak, rasanya aku baru ke bagian sisi danau ini setelah melewati jalan setapak yang baru diaspal, deh?" aku menanggapi pertanyaannya dengan bingung.

"Ah, ternyata itu malah menjadi kenangan buruk bagimu ya? aku ingatkan deh, disini, kamu menemaniku saat menyatakan perasaan pada Wasa." Tia menerangkan sedikit ingatanku dengan santai. Tapi entah kenapa, kepalaku perlahan berdenyut, sakit. Tia melanjutkan ceritanya,"Beberapa bulan yang lalu, aku cukup sedih saat mengetahui Wasa mendekatimu. Aku juga tidak suka saat dia memintaku mengenalkan temanku padanya. Aku tidak mengerti mau Wasa apa. Setiap ada pesta teman kita, dia selalu mengajakku. Kami sering pergi pesta berdua dan aku hadir juga dibeberapa acara keluarganya. Ibunya sudah bolak-balik memberi kode kepadaku untuk segera menjadi bagian dari keluarganya. Tapi entah kenapa ada keraguan dari Wasa." Cerita Tia ini membuat kepalaku semakin sakit. Tapi sepertinya ia belum ada niat untuk menghentikannya.

"Aku pikir selama ini aku terus-terusan menyukainya secara sepihak. Sehingga aku tidak lagi mengenal rasa cemburu, aku selalu bersiap dengan rasa ikhlas jika ia bukan berakhir denganku. Aku senang setiap kali pergi dengannya. Aku selalu cerita, kan? makanya kadang aku tidak merasa istimewa karena ia juga jalan dengan oranglain, sepertimu, juga." Tia terus melanjutkan ceritanya tanpa memperhatikan perubahan ekspresi diwajahku.

"Dan akhirnya kamu tau, Sera? Dia bersama keluarganya datang kerumahku tiga hari lalu. Itu setelah aku bertanya apa arti dari sikapnya selama ini. Ternyata Sera, dia memperhatikan perasaanku dengan detail. Dia memastikan bahwa teman-teman disekitarku yang terlihat ramah memang bukan karena menyukai dia, karena memang ramah saja. Dan kau termasuk dalam teman ku yang di ujinya itu. Untung ternyata kamu tegas bersikap dan memang tidak ada perasaan apapun padanya. Aduh, lucu sekali ya?"

"3 bulan lagi kami akan menikah, kamu jangan pergi kemana-mana ya? kosongkan jadwal untuk menjadi bridesmaid ku, Sera. Ini perintah! Wajib! aku sudah mengabari semua geng kita. Makanya aku sampai bela-belain cari kamu kesini. Aku tidak sabar menunggu kamu pulang." Tia tersenyum sambil memelukku erat. Ia lalu mengusap pipiku, gemas, seperti yang biasa ia lakukan. Aku membalasnya dengan tersenyum getir. Sepertinya aku akan kembali melupakan tempat ini.

"Kamu kapan check-out? mau pulang bareng kami hari ini, tidak?" Tia tidak menunggu tanggapanku atas ceritanya barusan. 

"Memang kamu kesini sama siapa?" Hanya itu yang bisa aku tanyakan kembali. Rasanya denyut dikepalaku belum menyelesaikan seluruh cerita Tia untuk aku cerna.

"Wasa. Itu dia lagi ngobrol sama manager hotel. Sedang mempertimbangkan lokasi ini menjadi trip liburan keluarga kita setelah acara resepsi."



Ah, sepertinya, aku akan melupakan seluruh tempat ini, Tia. Selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kalau ada yang ga bagus tolong dikasi tau ya, biar penulis bisa menyempurnakan tulisannya :)
kalau ada ide lanjutan cerita juga di terima...
Makasih :D

Tags