Lentera Berdebu

Cerpen Lentera Berdebu - Ini kesekian kali aku melintasi perkebunan sawit yang luas, lalu bertemu hutan, lalu sawit lagi, lalu hutan lagi dan sampailah ke hamparan tanah merah sepanjang mata memandang. Di tengah sana, ada beberapa rumah dari kayu. Itu adalah desa kecil di tengah lahan percobaan ini. Hari itu, aku tiba di desa kecil ini dengan semangat dan harapan tinggi. Setelah menyelesaikan kuliah, aku merasa sudah saatnya untuk memberikan kontribusi nyata. Lembaga swadaya masyarakat tempatku akan memulai karier baru fokus pada pendidikan dan pembangunan di daerah terpencil. Aku tahu tantangan yang menanti, tapi apa yang aku temui di sana melebihi semua ekspektasiku.


Ilustrasi. Sumber : Unsplash.com

Sekolah-sekolah di desa ini hampir tak memiliki peralatan yang memadai. Buku-buku pelajaran nampak langka, dan anak-anak harus berjalan jauh hanya untuk mencari sedikit bahan bacaan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana mereka bisa mengejar mimpi mereka tanpa alat yang sesuai.


Pertemuan pertamaku dengan Keluarga Pak Sutomo membuatku terdiam. Mereka adalah pasangan muda yang memberikan kami tempat tinggal sementara selama masa program. Pak Sutomo adalah petani, sedangkan Ibu Sutomo bekerja sebagai buruh tani. Mereka memiliki dua anak, Satria dan Nisa, yang harus membantu orang tua mereka di ladang atau dengan pekerjaan rumah tangga begitu pulang dari sekolah. Aku melihat betapa mereka harus berjuang keras dalam kehidupan yang keras.


"Budi dan Rina selalu berbicara tentang ingin menjadi dokter dan guru," cerita Ibu Sutomo pada suatu sore. "Tapi dengan keterbatasan di desa ini, rasanya sulit untuk mewujudkan impian mereka."


Kata-kata itu merasukiku. Aku ingin membantu, tapi bagaimana caranya? Pada suatu hari, aku mulai mengajar anak-anak di desa ini setelah pulang sekolah. Mereka lapar akan pengetahuan dan sangat antusias belajar. Namun, aku sadar bahwa usaha ini bukanlah solusi jangka panjang.


Atasanku dikegiatan ini, bang Gani, juga merasakan hal yang sama. Begitu juga dengan Hana yang menjadi rekanku disini. Dengan semangat itu, bang Gani mengupayakan untuk membangun perpustakaan kecil. Dengan dukungan dari teman-teman di kota, aku mengumpulkan buku-buku dan mencari cara agar anak-anak dapat mengakses informasi lebih mudah. Setelah beberapa minggu, perpustakaan itu mulai berfungsi. Anak-anak menghabiskan waktu luang mereka di sana, merasa seperti mereka memiliki dunia baru yang terbuka di depan mata.


"Namanya Perpustakaan Lentera," ucap Bang Gani bangga. "Semoga bisa menjadi cahaya bagi mereka."


Anak-anak kini bisa mengakses lebih banyak pengetahuan, dan aku melihat semangat baru dalam mata mereka. Namun, tantangan masih ada di mana-mana. Tapi, sekurang-kurangnya, kami telah mencoba membuka pintu menuju perubahan.


Perlahan-lahan, lebih banyak orang mulai tertarik untuk membantu. Perpustakaan 'Lentera' diresmikan oleh pejabat setempat. Secara rutin kami juga mengajari keterampilan untuk anak-anak. Para relawan juga datang dari kota untuk memberikan pelatihan tambahan kepada anak-anak. 


Anak-anak semakin bersemangat belajar dan mengejar impian mereka. Walaupun masih banyak rintangan, kami tidak lagi merasa sendirian dalam perjuangan ini. Kami saling menguatkan.


Melihat Budi dan Rina yang semakin dekat dengan impian mereka membuatku merasa senang. Meskipun desa ini mungkin masih terpencil, semangat dan harapan yang kami bangun bersama telah membuka jalan menuju masa depan yang lebih baik. Aku kira begitu.


Hari-hari penuh semangat yang kami lalui bersama anak-anak di desa ini tiba-tiba menjadi gelap. Perpustakaan kecil yang telah kami bertiga bangun dengan susah payah harus tutup akibat konflik yang tak terduga di desa. Keputusan ini tak terelakkan dan hatiku hancur.


Kesulitan di desa ini bukanlah hal baru bagiku. Namun, aku tidak pernah mengira bahwa konflik akan mengambil alih perlahan-lahan. Aku melihat bagaimana perbedaan pendapat di antara beberapa warga desa perlahan merajalela, hingga akhirnya mencapai titik yang tidak bisa diredakan lagi. Keadaan semakin memburuk, dan keamanan kami menjadi terancam. Beberapa keluarga yang memiliki anak kecil juga sudah pindah demi keamanan mereka.


"Kita harus pulang," kata Bang Gani dengan suara serak. "Ini tidak aman lagi untuk kita bertiga di sini. Apalagi kalian berdua Perempuan. Aku gak bisa terus jaga kalian." 


Aku dan Hana mengagguk perlahan.


Kami pulang kembali ke kota. Aku pindah program dan Hana masih membantu bang Gani dari kantor utama. Bang Gani masih berusaha menyelesaikan dengan bolak-balik kota ke desa.

Dengan berat hati, Bang Gani mengambil kembali buku-buku dari perpustakaan. Anak-anak yang biasanya berlari-lari riang di sana kini sudah tidak ada. Aku tahu betapa mereka merasa kecewa dan bingung. Aku merasa seperti telah merobek harapan mereka.


"Anak-anak yang biasanya berlari-lari riang di sana kini sudah tidak ada." Ujar bang Gani melalui sambungan telepon dengan kami berdua. aku tak banyak merespon. Air mataku perlahan sudah jatuh.


Di malam hari, ketika sunyi telah menyelimuti kediamanku, aku duduk di meja dengan tumpukan buku di depan. Aku mulai menulis surat perpisahan. Hatiku berat, dan tangis tak terbendung mengalir saat menulis kata demi kata.


Tapi aku hanya menulis pesan singkat saja.


"Kemanapun angin berlabuh, berusahalah tetap mengepakkan sayap. Tak apa sesekali beristirahat. tapi dengan sayap tetap membentang di atas langit. Salam sayang, Kak Dina. Semoga kita bertemu lagi"


Surat itu aku fotokopi sebanyak anak-anak yang selalu hadir ke perpustakaan Lentera. Sambil melipat surat-surat itu dengan hati sedih, aku merasa bahwa harapanku belum mati sepenuhnya. Aku tahu betapa pentingnya pendidikan dan semangat belajar bagi anak-anak dimanapun mereka berada. Meskipun cahaya perpustakaan telah padam untuk sementara waktu, semangat kemarin itu semoga ada pengaruh untuk suatu hari di Masa depan.


Masked Desires - English Poem

 In a realm of screens and fleeting light,

She danced upon the pixels' flight,

Seeking validation's gentle touch,

Yet within, her heart held a secret clutch.


A yearning soul with whispers deep,

Longing for affirmation's sweep,

Her posts are adorned with crafted glee,

A mask concealing truth unseen.



Oh, the hearts and likes would pour,

A symphony of praises, nothing more,

Yet in her quiet moments of reprieve,

Doubtful shadows she'd perceive.


For she craved validation's artful gaze,

A currency earned in modern days,

But deep within her silent core,

She knew there was something more.


A paradox she bore within,

A battle silent, yet akin,

For in the midst of virtual cheers,

She yearned for solace's tender tears.


Exposure's flame burned bright and high,

Yet left her feeling cold and shy,

A prisoner of the online stage,

Hiding behind a curated page.


Her heart questioned the worth of gold,

That vanity's tale had often told,

Genuine connection was the goal,

Not just hollow praise from every scroll.


In a world where screens deceive,

She longed for truth, for reprieve,

To be seen and loved for who she was,

Beyond the metrics, beyond applause.


In this tale of seeking without end,

May she find a path to mend,

To value self beyond the show,

And let her authentic spirit glow.


For validation sought from afar,

Will never heal the soul's own scar,

But when self-love blooms from deep within,

True validation will truly begin.

Tags