Masih dengan secangkir kopi
Sepotong Kisah 1000 Hari di Waktu Itu - Puisi
Secuil saja potongan daun itu aku mengenali
Pencahayaan itu tidak asing
Sekelebat saja, sudah cukup mengulang seluruh kisah disana
Ada seribu hari keberadaanku disana
Selayaknya periode keemasan pada seorang bayi
Begitu pula aku merekognisi seluruh perjalanan disana
Pijakan pertama turun di tanah kuning sedikit berlumpur itu
Berlarian di bukit dengan pohon industri menjulang
Ikut memberikan saran untuk titik lokasi yang memiliki aliran sinyal
Senyum para hartawan dikalahkan oleh penjunjung tanaman
Ramah tamah dan gosip rumahan menyapa hari-hari
Sekadar bertanya sayur apa siang kemarin kami makan
Kadang tawaran itu secangkir teh dan kopi
Kadang pisang goreng panen kebun
Atau sekarung durian hasil perang melawan beruang
Sebentar saja, dengan konflik berkepanjangan
Semua pergi tanpa ada salam perpisahan
Tempat yang indah dengan akhir menyakitakan
Satu persatu secara perlahan, kabar itu datang tanpa ditanyakan
Pepohonan hutan mulai tinggi menjulang
Menyusul buah-buahan yang juga kami tanam
Aku menyimpan memori ini bukan karena mau
Seolah tak bisa lepas dari sana, karena nyatanya
Aku sadar ada bagian hidupku pernah tertinggal disana
Abadi.
Sebab (Puisi)
Ada banyak sebab patah hati
akibat dikhianati
bisa juga karena pergi dalam sunyi
Ada banyak sebab patah hati
akibat ditinggal pergi
bisa juga karena ditinggal mati
Ada banyak sebab patah hati
akibat ditinggal mati
bisa juga kehilangan mimpi
Ada banyak sebab patah hati
akibat kehilangan mimpi
bisa juga karena tak punya kembali
Ada banyak sebab patah hati
akibat tak punya tempat kembali
bisa juga
bisa juga
bisa juga
sebab itu
kali ini aku.
Puingan Ruby - Puisi
Hati kecilku, rasanya hatiku memang kecil
Retak sedikit, hancur sudah berkeping-keping
Hati kecilku, benar-benar kecil dan sempit
Sakit sedikit, lebam semua sepermukaan
Hati kecilku, sungguh terbatas dan tak mampu meluas
Hampa sedikit, melompong kosong rasanya
Bagaimana aku menghalau kehilangan
Bagaimana aku membendung kesedihan
Bagaimana aku menghadang kepedihan
saking kecilnya, tak ada ruang menyembunyikan perasaan
saking kecilnya, tak bisa menutupi raut pilu di wajah
saking kecilnya, tak mampu menahan bahara lara kian ditambah
meski dunia menarik agar melebar, adanya malah terkoyak memencar
terburai, teurai, dan lenyap dalam semu
9/10/2025
aku kehilangan kucing malam ini. aku harap ia kembali besok. aku sangat berharap.
Sebelum Sebuah Jawaban - Cerpen
Dalam pengaruh kafein, aku menolak permintaan mu untuk menyukaimu kembali.
kenapa? kau tanya.
Aku menarik nafas panjang dan merasakan aroma kopi menyeruak didalam indera penciumanku. Kali ini, aroma parfum murah yang kau beli dari steling penjual pulsa langgananmu tertutupi sempurna.
Kamu... tidak menyukaiku? cecarmu tak sabar menunggu jawabanku.
'Bukan tidak suka, aku menyukai nyaris semua...
...hal termasuk hewan kan? Ah leluconmu kali ini tidak tepat dalam pembicaraan kita ini.
Kau seolah menjadi orang yang paling paham tentangku, leluconku, gelagatku, namun yang kau lakukan malah membungkamku. Aku menatap lekat matamu yang memandangku, pandangan yang sama, keyakinan, percaya diri yang setara antara kau dan aku. Sebegitu cocoknya kita dalam berbagai hal, tidak bersaing, justru melengkapi. dan itu yang membuat kita beberapa tahun ini seperti jalan ditempat.
Ternyata benar kata orang-orang. Sikapmu memang hanya karena kamu baik saja, bukan karena kamu suka denganku.
'Kalau aku melakukannya karena memang suka padamu, bagaimana?'
Seperti kau menyukai nyaris semua orang dan hewan-hewan bahkan.. tumbuhan kan?
'Aku tak melihat masa depan diantara kita.'
Juga aku. siapa yang bisa melihat masa depan?
Tekanan ini membuatku merasa dikuliti. Ketika mendapati seseorang yang memahami diri ini, justur aku berharap ia tak sepaham ini.
Aku membaca. Tulisanmu.
Tentang kamu ingin tinggal di pinggiran kota, tentang cita-citamu ingin mengajar anak-anak, tentang mu yang ingin mendukung dan di dukung pasanganmu untuk terus belajar. Tentang mimpimu untuk keluarga, tentang harapanmu sampai kepada akhir kehidupan. Maaf aku tak sengaja membacanya.
Wajahku terkesiap. 'Kapan kau membacanya?'
Sewaktu aku meminjam catatanmu untuk sele-sele. Sekali lagi maaf karena aku tak sengaja membacanya.
'Sebentar.' Aku merogoh sebuah buku dari dalam tas dan menyodorkannya padamu. 'Tulisan itu dari buku ini. Aku hanya mengutipnya sembarangan.'
Sekarang, gantian wajahmu terkesiap.
'Sekarang kau sudah tak membutuhkan jawabanku lagi kan?'
ya.
Kusesap tegukan terakhir v60 yang tersisa. Ah laki-laki, jika memang sudah saatnya mencari mangsa, ia akan memakan semua yang muat kedalam mulutnya. Dan perempuan yang tak siap dimakan, akan mencari 1001 alasan untuk membuatnya semuanya menjadi tidak masuk akal. Yang siap dimakan, akan menjelma menjadi sajian terbaik, terkadang dengan topping sedikit berlebihan. Meski ada beberapa yang memoles diri hanya sampai etalase display.
Perempuan bukan objek kau bilang.
'Iya, benar.' oh, ini masih berlanjut. Aku terlanjur memesan ojek daring.
Lalu kenapa kau berpikir seperti itu?
Sebentar, kau bisa baca pikiranku?
Sejak kemarin. Aku tak mengutarakan perasaan ini kalau tiba-tiba aku tak mendapat keajaiban ini.
Ojekku sudah datang. Dan sekarang aku didera kebingungan hebat.
Pergilah, dan kembali saat kau berhenti memikirkanku, aromaku, penampilanku, kehawatiranmu kepada ku. Karena pikiranmu tentangku begitu berisik.
'Baik aku pergi.' Selamat tinggal. Sepertinya kafein kali ini memunculkan reaksi halusinasi sebab ku konsumsi dalam kondisi stres.
Lalu sekarang aku merasakan kau memelukku, erat. Aduh, ojeknya menunggu.
Hukuman untukmu yang mulai dewasa (Cerpen)
Sinyal-Sinyal Putus (Cerpen)
"...hahaha, iya, iya, pokoknya aku tunggu kamu sampai di Tanjung Pinang baru kita rencanakan jalan-jalan kita yaaa!"
Nurra menjepit telepon di antara telinga dan bahu sambil merapikan berkas-berkas liputannya yang berserakan di meja kayu kosnya. Telinganya mulai terasa panas, percakapan dengan Pika sudah berlangsung satu jam lebih, setelah beberapa kali putus-nyambung memalui jaringan internet dan akhirnya menyerah dengan telepon melalui jaringan seluler biasa demi bisa cerita panjang lebar dengan sahabatnya ini. Dari luar, suara debur ombak memenuhi kamar kecil yang sudah dihuninya selama satu tahun ini. Di dinding, peta lokasi live-in-nya penuh stabillo warna-warni, menandai wilayah dan topik yang sudah ia jajal untuk artikel jurnalistik mendalamnya.
"Iyaaa, pokoknya siapkan tempat untukku sampai 2 minggu disana ya. Aku bener-bener butuh liburan banget kali ini. Lagi burn out." keluh Pika dari seberang telepon, suaranya setengah tertawa setengah sendu.
"Setahun juga boleh, nemenin aku liputan disini. Tiap hari nanti kita makan otak-otak buatan Mak Ngah yang punya kosan aku," Nurra menghibur sambil memandang gantungan kunci dengan lambang pengeras suara, milik angkatan mereka, jurusan komunikasi.
"Boleh juga, buat nambah otakku lagi kalau beneran udah ke-burn semua ya. Eh, Btw… ada yang mau aku tanya, deh." Pika tiba-tiba mematahkan obrolan mereka.
"Apa tuu?" Sahut Nurra langsung.
"Eh, tapi nggak jadi ah. Nunggu aku sampai Tanjung Pinang aja," sahut Pika, suaranya tiba-tiba kecil.
"Kebiasaan deh, nggak mauuu! Sekarang aja, dong. Nunggu minggu depan kamu sampai pasti udah lupa," omel Nurra sambil mengibas sarang laba-laba yang terlihat menempel di ambang pintu.
"Ntar ajaaa, pas aku sampai. Nggak penting juga kok ini."
"Karena nggak penting, malah bikin penasaran. Jangan sampe aku kebawa mimpi!"
Pika menarik napas. "Iyaa, udah. Tapi ini cuma nanya ya... Kamu nggak pernah kepikiran jadian sama Fauzan?"
"....Fauzan? Tiba-tiba?"
Nurra menatap laut lepas melalui jendela kosnya. Angin malam mulai berhembus, membawa bau pantai yang terlihat dari lantai tiga kos an nya.
"Aku nggak tau apa kamu sadar atau enggak, Nurra. Kalian kan deket banget ini. Nggak pernah ada pembicaraan ke situ?" Lanjut Pika membuka bahasan baru.
"Nggak ada sih..." Dia menggaruk lengan yang digigit nyamuk. "Hampir nggak pernah kami nyentuh obrolan urusan asmara."
"Wah, padahal kalian sering banget main bareng kan." Pika mencoba mengulik perlahan, penasaran apakah Nurra memang enggak sadar atau pura-pura enggak mau tau.
"Hmm... pernah sih, sekali ada obrolan kearah sana. Sekitar tahun lalu itu Fauzan, Dito, sama Kak Rahmat tiba-tiba video call grup,
"Tomboi kayak kamu pernah jatuh cinta nggak sih?" tanya Dito suatu malam dalam video call grup. "Pernah. Sekali. Lalu patah hati. Cukup," jawab Nurra sambil terkekeh pelan diakhir karena enggak pernah-pernahnya para bro nya membahas hal seperti ini. "Sekarang aku cuma mau sama orang yang jelas-jelas suka sama aku. Udah lelah one-sided love."
setelah itu kami mengalihkan pembicaraan ke rencana diving di Bintan sekalian buat eksplor, itu awal-awal aku ditugaskan di sini." jawab Nurra.
"Kamu baik, Fauzan juga baik. Aku ngebayangin kalian bagus aja kalau bareng. Apa nggak pernah kepikiran?"
'Teeng!' dari luar terdengar suara tiang dipukul sekali. Menandakan sudah pukul satu malam. Mengingatkannya pada masa-masa mereka liputan malam hari untuk tugas kuliah.
Nurra menghela napas. Fauzan. Teman satu jurusan yang selalu jadi partner outdoornya, yang sekarang entah lagi liputan menantang dimana. Mereka memang terlalu serupa—sama-sama nekat, sama-sama menjadikan adrenalin sebagai bahan bakar hidup.
"Kita cuma teman kampus, Pik. keetulan cocok juga jadi teman main, teman liputan, teman…"
"Teman yang ngasih kamu hadiah-hadiah gear sesuai kebutuhan kamu?"
Nurra memandang pisau lipat pemberian Fauzan yang tergantung di tas ranselnya, salah satu hadiah saat ia mendapatkan tugas liputan in-depth pertamanya.
"Kita sama-sama tahu Fauzan bukan tipe yang clingy. Kalau ada perasaan, pasti udah lama dia ngomong."
"Atau… dia nunggu kamu yang ngomong?" Pika menghela napas. "Ya udah, aku cuma nanya kemungkinan nya aja sih, kalau kamu nggak mau ambil pusing…"
Layar telepon berkedip—notifikasi chat masuk.
Fauzan: "Ra jangan lupa besok jam 9 di Cafe Pelabuhan. Yulia dan Tika udah aku oke buat gabung. Sekilas juga udah aku jelasin soal volunteering bersih pantai."
Dia menatap pesan itu, lalu foto profil Fauzan yang masih memakai helm peliputan. Tiba-tiba, bayangan mereka berdua rappelling di tebing Nusa Penida muncul lagi. "Memang sih…sejauh ini kita selalu bareng karena kebetulan hobi dan kerjaan kita sama," gumamnya.
Tapi Nurra cepat mengusik pikiran itu. Selain video call grup itu, mereka juga pernah meluruskan masalah ini bahwa hadiah-hadiah personal itu memang menyesuaikan saja. Hadiah seperti itu tak hanya diterima oleh Nurra. Soal kedekatan mereka berdua, sepakat karena minat yang sama saja.
Sikapnya tetap biasa sejak itu, masih mengajaknya diving, masih mengkritik tulisan-tulisannya dengan pedas, masih jadi orang pertama yang telepon saat kala Nurra butuh bantuan.
"Ya, pasti aku jadi kepikiran sih karena kamu bahas, Pik. Bohong banget kalau enggak," ujar Nurra jujur.
"Aduh, maaf yaaa. Ya udah, ini udah malem banget, ntar kita lanjut cerita-cerita langsung aja pas aku udah di sana, yaa."
"Iyaaa, see you soon, dear!"
"See yaa, Nurra! Luv u!"
Pika mematikan telepon.
Nurra mengusap telinganya yang terasa panas, lalu mengecas ponselnya yang sudah low battery. Setelah itu, ia menghempaskan tubuhnya ke kasur dan menatap langit-langit.
Di luar, ombak terus menerpa karang. Seperti pertanyaan Pika tadi yang masih mengganjal, kalau ia dan Fauzan memang cocok di mata orang lain, haruskah ia mencoba? Tapi… dari mana mulainya?
Tapi kayaknya enggak deh. Ia tak siap kembali patah hati.
Tribute to Gusti Irwan Wibowo
Rasanya begitu sesak setiap kehilangan hal-hal favorit.
Kenapa tidak sampah-sampah saja yang menghilang.
Justru bintang-bintang cantik cepat sekali perginya.
15 Juni 2025
-
Tatkala membentang tangan diantara angin sepoi-sepoi
Sekelebat saja menelusup udara sedikit berbeda, geli, nyaman,
Dia adalah jenre endikup (enak di kuping)
-
Kuiyakan sambil menggeleng
Tidak dengan mengangguk
Kamu resmi masuk
dalam dunia Bekasi.
-
Naik-naik ke puncak gunung
Tinggi-tinggi, Abadi.
-
Ternyata ia bukan saudaranya Chava,
Ia meniru jalan Nike Ardila.
-
Semua berdoa baik kepada Gusti.
-
Tak ada yang memberitahuku bahwa badan besar memiliki hati yang besar, tawa yang besar, jenaka berkelakar.
-
Sudah ya? Terimakasih telah menjadi baik.
Batas (Cerpen)
"Drrtt... drttt..."
Salma melirik dan mencari arah suara getaran. Ah, ponselnya berbunyi, menampilkan nama "Grity SMA". Meski matanya kembali berfokus pada drama serial yang sedang ia tonton, jemarinya bergegas mengangkat panggilan itu tanpa tendensi apa-apa.
"Halooo, Gritteee~" sapa Salma ramah.
"Iya, halo. Um, Salma lagi di mana?"
"Lagi di rumah. Kenapa? Kamu lagi di sini, ya?"
"Enggak. Ini aku mau minta tolong, pinjam 10 juta..."
Salma langsung mem-pause tontonannya dan berfokus pada panggilan telepon sembari menjawab, "Aduh, Teee... bukannya enggak mau, tapi aku enggak ada."
"Enggak ada banget, ya? Aku lagi butuh banget..."
"Iya, enggak ada, Te. Kemarin ada yang mau minjem 3 juta juga, aku cuma bisa minjemin 500 ribu..."
"Tapi aku butuhnya 10 juta, Salma..."
"Beneran enggak ada. Aku lagi kosong, setahun ini lagi nganggur... udah coba pinjam ke yang lain?"
"Sudah... aku udah coba ke Hans, Aldi, Gina..."
"Dela udah?"
"Aku enggak yakin sih..."
"Tapi kayaknya dia punya tabungan cukup, ya..."
"Ya udah, makasih ya, Salma. Aku coba ke yang lain."
"Iya, Tee. Semoga segera dapat, ya..."
Tuut. Sambungan telepon diputus.
Salma tertegun, merasa bersalah karena tak bisa membantu Grity. Ia sadar bahwa dirinya tak pernah menyiapkan uang dingin, tak punya simpanan, dan hanya bergantung pada bisnis keluarga selama setahun ini.
Ia benar-benar merasa bersalah. Di media sosial, ia selalu menunjukkan dirinya baik-baik saja—bisa nonton, jalan-jalan, main, bisnis keluarga lancar. Namun, kini ia menyadari bahwa tak punya tabungan sendiri membuatnya berpikir ulang. Merenung.
Salma memang tak pernah meminjam uang teman-temannya, kecuali sekadar "pakai dulu" saat makan bersama, titip barang lucu, atau jajanan. Pernah juga ia meminjam uang untuk bayar kuliah, tapi itu karena ia tahu bulan depan proyeknya cair dengan nominal dua kali lipat. Persoalan ini muncul karena ia tak punya simpanan, meski sudah mewanti-wanti beberapa bulan sebelumnya bahwa ia akan butuh uang.
Soal pinjam-meminjam, baginya, ada hal yang harus dikuatkan: mental bahwa uang itu mungkin tak akan kembali. Setelahnya, ia menarik garis—tak mau lagi berurusan dengan orang itu dalam urusan uang dan bisnis. Salma paham betul segala risikonya.
Tapi kali ini, ia merasa sangat bersalah karena benar-benar tak punya uang untuk dipinjamkan. Grity, selama 10 tahun lebih mereka berteman, tak pernah punya masalah finansial. Ini pertama kalinya. Suara Grity yang terdengar putus asa barusan mengisi kepalanya. Salma membuka media sosialnya, melihat foto-foto mereka waktu SMA—Grity yang dermawan, yang menyambutnya saat ia sampai di kota baru, tempat Grity bekerja.
"Harusnya aku bisa bantu," gumamnya, menatap layar laptop yang masih memajang drama favoritnya. Tapi episode kali ini tak lagi menarik. Jarinya mengetik pelan di kalkulator: 500 ribu x 20 bulan. Angka itu cukup untuk jadi dana darurat.
Esok pagi, Salma membuka aplikasi bank dan memindahkan sebagian uang jajannya ke rekening baru dan mengganti nama icon dengan nama "Jangan Sentuh". Ia tak tahu kapan Grity akan membutuhkannya lagi, atau kapan ia sendiri akan terjepit. Tapi setidaknya, kali ini ia tak ingin hanya bisa menggeleng.
"Drrtt... drttt..."
Ponselnya bergetar. Notifikasi dari Grity:
"Sal, aku ada di kota ini weekend ini. Ketemuan yuk, makan siang."
Salma tersenyum, membalas cepat:
"Boleh bangeeet. Aku yang traktir yaaa."
Ia mematikan laptop, lalu menyimpan kalkulatornya di laci. Masih ada sisa uang untuk ditabung hari ini.
Tamak
Duhai kasihku,
Jika benar kau mencintaiku, apa bentuk cinta yang kau tawarkan?
Jaminan udara dari air purifier itu?
Air bersih dari filter batu alam tiruan?
Atau nuansa hijau di taman privat?
Duhai kasihku,
jika benar seperti itu,
aku jadi takut padamu,
bentuk manusia yang mencoba bersaing dengan Ia Yang Maha Kuasa
Duhai kasihku,
sebelum hadirmu, sebelum ku pinta pula pada Nya
Pohon-pohon sudah memberikan udara terbaik kelas satu
Sebelum hadirmu, batu sungai sudah memurnikan air terbaik untuk minum dan mandiku
Sebelum hadirmu, rancangan gunung, hutan, air terjun sudah tersaji di depan mata untuk siapapun bisa melihat
Duhai kasihku,
jika benar kau mencintaiku
berilah aku cinta yang tulus, bukan sajian palsu yang kau tiru terus menerus
Duhai kasihku,
Jika benar kau mencintaiku
setidaknya kau memahami bahwa aku takkan mampu menelan dunia
Duhai kasihku
Jika kau mencintaiku
dan sungguh-sungguh mencintaiku,
seharusnya kau akan mencintai seluruh keturunan kita, kelak.
#SaveRajaAmpat
Tags
- Cerpen (38)
- HST (5)
- Melodi Kata (107)
- SPEAK UP (3)
- Teriakan Kata (7)